Liputan6.com, Jakarta - Para mahasiswa yang tergabung dalam Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) Nusantara memutuskan tidak menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR, pada Senin (30/9/2019).
Koordinator Pusat BEM Nusantara, Hengky Primana mengaku, pihaknya belum mengeluarkan instruksi untuk turut dalam aksi di rapat paripurna terakhir DPR RI. Sikap itu diambil BEM Nusantara karena khawatir adanya penumpang gelap ketika berunjukrasa di hari terakhir masa tugas anggota DPR RI periode 2014-2019.
Advertisement
"Dari BEM Nusantara tidak turun berdemo di depan Gedung DPR. Kita berembuk dengan teman-teman, saya melihat aksi 23-24 banyak penumpang-penumpang gelap, nah itu yang kita khawatirkan (demo hari ini)," ucap Hengky saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Senin (30/9/2019).
Advertisement
Baca Juga
Hengky tidak mempermasalahkan, apabila ada elemen masyarakat lain yang turut menggelar aksi bersama mahasiswa pada hari ini. Selama mengusung visi yang sama dengan para mahasiswa, maka ia mempersilakan turut bergabung.
"Selagi masih bisa saling menjaga ketertiban ya bagus, asal jangan sampai ada misskomunikasi yang membuat hal yang tidak di inginkan terjadi. Sebenarnya yang saya khawatirkan ada framing terkait gerakan mahasiswa, walaupun yang saya tahu gerakan itu murni," beber Hengky.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Tempuh Judicial Review
Mengenai undangan pertemuan dengan Presiden Jokowi, mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR) ini meyakinkan kesiapan BEM Nusantara untuk berkomunikasi. Namun, tidak dalam waktu dekat ini.
"Pak Jokowi juga terlalu mendadak mau ngajak mahasiswa. Kalau saya dari BEM Nusantara ingin ada dari Sabang sampai Merauke perwakilan teman-teman menyampaikan langsung kepada presiden. Karena yang berjuang bukan hanya di Jakarta, tapi setiap daerah juga kan berjuang," paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Hengky mengemukakan bahwa BEM Nusantara lebih sepakat menempuh judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU KPK. Menurutnya, hasil JR tidak bisa diganggu gugat.Â
Ia berpendapat, Perppu yang diterbitkan Presiden Jokowi bisa saja ditolak oleh DPR. Dampaknya, bisa memunculkan konflik berkepanjangan antara eksekutif dan legislatif.
"Kami tidak menolak secara keseluruhan, tapi ada poin-poin dalam RUU KUHP dan UU KPK yang harus direvisi lagi. Nah, rencananya kami akan menempuh judicial review sesuai jalur hukum yang ada di Indonesia, karena bagi saya itu adalah keputusan mutlak ketika sudah diputuskan oleh MK," tutup Hengky.
Advertisement