BMKG Terus Amati Rentetan Gempa di Selat Sunda

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terus memonitor rentetan gempa yang terjadi secara beruntun di Selat Sunda sejak Minggu (7/6/2020) malam.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 09 Jun 2020, 01:12 WIB
Diterbitkan 09 Jun 2020, 01:12 WIB
Ilustrasi gempa bumi
Ilustrasi gempa bumi (Photo: AFP/Frederick Florin)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terus memonitor rentetan gempa yang terjadi secara beruntun di Selat Sunda sejak Minggu (7/6/2020) malam.

"Saat ini BMKG masih terus memonitor apakah fenomena kegempaan di Selat Sunda ini hanya sebatas gempa swarm biasa yang kemudian berakhir dengan sendirinya, atau kemungkinan berlanjut sebagai gempa pendahuluan (foreshocks)," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono di Jakarta, Senin (8/7/2020).

Jika sampai Senin (8/7/2020) malam tidak ada aktivitas lagi, kata Daryono, maka sangat kecil kemungkinan merupakan gempa pendahuluan.

"Harapan kita aktivitas itu hanyalah gempa swarm biasa dan berakhir tanpa ada sesuatu yang tidak diharapkan," ujar dia seperti dikutip dari Antara.

Pada Minggu (7/6/2020) malam di wilayah Selat Sunda BMKG mencatat adanya rentetan aktivitas gempa tektonik yang terjadi secara beruntun.

Gempa pertama terjadi pada pukul 19.04 WIB dengan megnitudo 2,9. Enam belas menit kemudian terjadi lagi gempa dengan magnitudo 3,3. Aktivitas gempa ini terus terjadi sambung menyambung. Rentetan gempa tektonik ini memiliki magnitudo yang bervariasi. Magnitudo gempa yang paling besar 3,9 dan yang paling kecil 2,9 membentuk grombolan atau kluster episenter.

Menariknya lagi, kata dia, bahwa kluster seismisitas ini terletak pada pusat gempa dengan magnitudo 5,0 yang terjadi pada Sabtu 11 April 2020 lalu.

Jika mencermati lokasi sebaran episenter terkait dengan peta tektonik Selat Sunda, tampak bahwa rentetan aktivitas gempa ini terletak pada jalur Sesar Semangko yang menerus ke laut.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Terjadi 9 Gempa

Namun demikian, ujar Daryono, struktur sesar di zona ini tampaknya sudah bukan lagi didominasi sistem sesar mendatar (strike slip fault), tetapi sudah berubah menjadi beberapa struktur sesar turun (normal fault) karena adanya mekanisme pull-apart yang membentuk basin/graben Selat Sunda.

Graben Selat Sunda ini terbentuk karena adanya fenomena peregangan dampak dari bagian Pulau Sumatra yang bergerak searah jarum jam dengan menjadikan zona Selat Sunda sebagai prorosnya.

Hingga Senin pagi tercatat ada sembilan aktivitas gempa tektonik yang mengkluster di Selat Sunda.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya