Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD-Dikdasmen), Jumeri, melaporkan per 13 Agustus 2020, baru 1.410 sekolah di zona hijau dan kuning yang mengadakan tatap muka langsung.
Sisanya, 7.002 sekolah masih menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Jumeri menyampaikan bahwa dari data yang ia sampaikan itu menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang tidak siap untuk melakukan pembelajaran tatap muka.
"Data hari ini, hanya 1.410 sekolah yang sudah tatap muka, 7.002 sekolah masih belajar daring,” ujar Jumeri dalam diskusi virtual ‘Evaluasi Implementasi Penyesuaian SKB Empat Menteri’ Kamis (13/8).
Advertisement
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menetapkan syarat yang harus dipenuhi oleh sekolah jika ingin menerapkan pembelajaran secara tatap muka. Yang pertama, hanya sekolah di zona kuning dan hijau saja yang boleh dibuka. Selanjutnya, Sekolah harus mengajukan izin ke dinas pendidikan setempat.
Dinas pendidikan akan memverifikasi apakah sekolah tersebut sudah siap atau belum dalam menerapkan tatap muka. Bukan hanya harus mendapatkan izin dari dinas pendidikan saja, namun juga harus mengantongi izin dari gugus tugas setempat dan bupati/walikota.
“Dari sini jelas, ternyata yang diberi kesempatan untuk mulai membuka sekolahnya saja, ternyata memperhatikan ketentuan SKB empat menteri,” ujar Jumeri.
Kemendikbud telah melakukan sosialisasi dengan Disdik seluruh Indonesia untuk memastikan tahapan pembukaan kembali sekolah dilakukan sesuai SKB dan mengutamakan kesehatan dan keselamatan.
Jumeri memastikan, sekolah-sekolah yang sudah dibuka, semuanya sudah mematuhi dan protokol kesehatan.
Menurutnya, ada banyak faktor yang membuat sekolah di zona kuning dan hijau memutuskan untuk melanjutkan pembelajaran secara daring. Salah satunya karena rasa khawatir para orangtua terhadap kesehatan dan keamanan anaknya.
"Selain itu, ada juga orangtua yang tidak bisa mengantarkan anaknya ke sekolah. Bila biasanya sang anak diantar supir atau pengasuh, di saat pandemi seperti ini, tidak ada yang mengantar anak ke sekolah," kata dia.
Kondisi-kondisi seperti ini lah yang membuat Kemendikbud bersikap terbuka. Jumeri mengatakan bahwa Kemendikbud memberikan pilihan yang fleksibel kepada orangtua murid.
“Bila orangtua tidak mengizinkan anaknya ke sekolah, lalu kalau peserta didik yang transportasinya sulit, orang tua tidak bisa antar, maka harus PJJ dan sekolah harus melayani PJJ. Nah ini kita tawarkan ke orangtua,” ujarnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Dilema Orangtua dan Guru
Jumeri menyadari kondisi sekarang ini merupakan dilema. Sejak bulan Maret, banyak sekali keluhan dan laporan yang ia terima. Terutama soal PJJ. PJJ dinilai tidak ideal karena banyak anak yang putus sekolah.
Mereka harus membantu orangtuanya bekerja di masa sulit seperti ini. Selanjutnya, banyak orangtua yang mengajukan keringanan iuran sekolah karena merasa, bila tidak ada pembelajaran tatap muka, maka tidak ada lagi proses pembelajaran.
"Banyak yang putus sekolah soalnya harus bantu orangtuanya bekerja, lalu ada persepsi di orangtua, kalau tidak masuk sekolah, maka tidak ada proses pendidikan. Mereka mengajukan keringanan iuran sekolah,” ujarnya.
Dia juga menambahkan bahwa masih banyak orangtua yang tidak bisa membimbing anak-anaknya selama belajar di rumah.
Para guru pun hanya memberikan materi berupa penugasan saja. Sebagian guru bahkan masih tergagap dalam belajar online. Para guru me masih terfokus pada pencapaian target kurikulum, Alhasil, sang anak pun merasa sulit untuk mengikuti PJJ. Ditambah lagi rasa bosan karena terlalu lama di rumah, tidak bertemu dengan sebayanya.
“Guru-guru sebagian masih kasih materi berupa penugasan, anak-anak merasa berat, anak-anak mengalami tekanan secara mental, kejenuhan dan stres karena tugasnya banyak, beruntun dan mereka diisolasi jangka panjang di rumah,” ujarnya.
Advertisement