Liputan6.com, Jakarta Pratiwi Pudjilestari Sudarmono, namanya akan selamanya terukir sebagai astronot perempuan pertama di Indonesia, meski meledaknya pesawat ulang-alik Challenger, 28 Januari 1986 telah membuatnya batal berangkat ke luar angkasa pada 24 Juni 1986.
Walaupun misi wahana antariksa Columbia dibatalkan oleh NASA, Pratiwi mengaku dirinya tetap menjalani pelatihan. Salah satu pelatihan astronaut yang harus dijalani adalah mempelajari struktur kendaraan luar angkasa yang akan dinaiki.
"Yang berat itu mempelajari sistem kerja pesawat ulang-alik. Bagi saya, seorang dokter dan ahli laboratorium, cukup sulit," tutur Pratiwi di webinar bersama Komunitas Tintin Indonesia, Sabtu (19/9/2020) dilansir Antara.
Advertisement
Menurut peraih gelar doktor bidang biologi molekuler dari Universitas Osaka ini, kesempatan untuk melihat bumi dari kejauhan menarik banyak minat dari beragam kalangan kala itu.
Dia menuturkan, saat itu Indonesia mendapat kesempatan mengirim wakilnya untuk naik pesawat ulang-alik bersamaan dengan peluncuran satelit Palapa, Kementerian Riset dan Teknologi bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mendiskusikan siapa orang yang tepat.
"Banyak calon para tentara. Sebagian besar di antaranya para pilot pesawat pemburu, ada yang dari penerbangan Angkatan Laut. Banyak juga remaja, mahasiswa sampai ibu rumah tangga," ujar ilmuwan kelahiran Bandung, 31 Juli 1952 ini.
Ketika Indonesia diizinkan melakukan riset ilmiah berkenaan dengan misi luar angkasa tersebut, para ilmuwan dilirik sebagai kandidat yang bakal diberangkatkan.
Jadi, lanjut Pratiwi, bukan cuma kemampuan fisik dan mental yang dipertimbangkan, melainkan juga kemampuan mengenai riset ilmiah. Penelitian itu bernama Indonesian Space Experiment.
"Maka dibuka kesempatan untuk ilmuwan lebih dulu, untuk mengajukan penelitian luar angkasa," beber Pratiwi yang menjadi Spesialis Muatan di misi wahana antariksa STS-61-H.
Kemudian Universitas Indonesia meminta Pratiwi turut serta memasukkan proposal penelitian.
"Waktu itu diminta, kalau tidak diminta, siapa yang mau mengerjakan?" seloroh Pratiwi.
Penelitian yang diusulkan oleh Pratiwi saat itu adalah riset untuk melihat ketahanan fisik manusia di luar angkasa. Riset itu dilatarbelakangi cita-cita NASA menempatkan koloni manusia di luar angkasa.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Melakukan Penelitian di NASA
Salah satu nilai tambah yang membuat penelitian Pratiwi disetujui adalah karena penelitiannya tidak membutuhkan alat besar yang bisa memakan ruangan di pesawat ulang-alik.
Dengan sendirinya, penelitian yang pakai alat besar dan berat tidak bisa (di)ikut(kan). Setelah penelitiannya disetujui, Pratiwi pun didorong untuk mendaftarkan diri.
"(Ke luar angkasa) sesuatu yang sangat menantang waktu itu. Namun demikian, atas dorongan dari banyak pihak dan izin keluarga, saya ikut daftar," ucapnya.
Meski misi ke luar angkasa batal, Pratiwi tetap menjalani penelitian di Amerika Serikat. Sejak Challenger meledak, fokus Pratiwi bergeser untuk penelitian yang dilakukan di kompleks NASA, Amerika Serikat.
Advertisement