Adili Sengketa Pilkada, MK Diharap Tidak Jadi Mahkamah Kalkulator

MK dianggap telah menunjukkan sikap progresif dan moderat terkait keberadaan ambang batas selisih suara dalam penanganan perselisihan hasil pilkada.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Feb 2021, 22:09 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2021, 22:09 WIB
Sidang Sengketa Pilpres
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman didampingi sejumlah Hakim Konstitusi memimpin sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6/2019). Sidang itu memiliki agenda pembacaan materi gugatan dari pemohon. (Lputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyebut sudah terdapat aturan terbaru yang mengatur Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa perkara perselisihan Pilkada lebih mengarah ke substansi. MK tidak lagi sekadar memutuskan perkara ke sisi formal dan materiil gugatan.

"Jadi tidak lagi seperti kalkulator semata yang menghitung angka-angka," ujar Feri saat dihubungi, Kamis (4/2/2021).

Menurut Feri, atas ketentuan itu MK wajib mendetail dalam memutuskan perkara kecurangan Pilkada. Misalnya ketika sebuah Pilkada terdapat kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif.

"Tentu Mahkamah hendak menyigi permasalahan substansi dalam Pilkada, terutama terkait kecurangan penyelenggaraan baik yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) maupun kecurangan yang mempengaruhi hasil Pilkada," ujar dia.

Sebelumnya, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini meyakini Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan sikap progresif dan moderat terkait keberadaan ambang batas selisih suara dalam penanganan perselisihan hasil pilkada. Ia meyakini MK tidak akan terjebak pada sekadar masalah angka perolehan suara.

"Saya menyakini MK tidak menjadikan ambang batas sebagai persyaratan legal standing atau kedudukan hukum pemohon dalam mengajukan permohonan perselisihan hasil Pilkada," kata Titi.

Dia menilai MK telah berupaya mewujudkan keadilan substantif melalui Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 dan PMK Nomor 7 dan 8 Tahun 2020 yang tetap memberi kesempatan pada pemohon untuk menyampaikan dalil-dalinya terlebih dahulu.

"Saya apresiasi langkah MK tersebut dan berharap dalam persidangan MK terus menggali agar penyelesaian perselisihan hasil pilkada benar-benar bisa memberikan keputusan yang bukan sekadar menghitung angka-angka namun juga memastikan mereka yang menjadi calon terpilih adalah paslon yang memenangi pilkada dengan cara-cara yang jujur, adil, demokratis, dan konstitusional," kata Titi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Pilkada Banjarmasin

Sejumlah calon dari pemilihan kepala daerah juga berharap MK melihat pokok persoalan perselisihan pada hal-hal yang subtantif. Salah satunya yakni pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarmasin Ananda-Mushaffa Zakir yang meminta Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi pasangan petahana Ibnu Sina-Arifin Noor dan membatalkan hasil rekapitulasi KPU Kota Banjarmasin 2020.

"Dalam Pilkada Banjarmasin 2020 terjadi politik uang terstruktur, sistematis dan massif, diduga dilakukan Petahana. Kami telah melaporkan ke Bawaslu Kota Banjarmasin dan itu terbukti," ujar Sulaiman Sembiring, pengacara Ananda-Mushaffa Zakir dari Kantor Widjojanto, Sonhadji & Associates (WSA), Minggu (31/1/2021).

Sulaiman menyayangkan hasil keputusan Bawaslu yang membuktikan adanya politik uang tidak menjadi dasar bagi lembaga penyelenggara pemilu mendiskualifikasi pasangan Ibnu Sina-Arifin Noor.

Ia menduga Bawaslu Kota Banjarmasin melakukan tindakan unprofessional conduct karena menyatakan ada fakta pidana politik uang yang dilakukan Ibnu Sina-Arifin karena terbukti melanggar Pasal 187A UU Pilkada tapi justru menghentikan laporan ini dan tidak menjadikannya sebagai temuan agar dapat ditindakanjuti.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya