Pilih Rektor atau Komisaris, Pak Ari?

Diketahui, ternyata Rektor UI Ari Kuncoro menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI).

oleh RinaldoYopi Makdori diperbarui 30 Jun 2021, 00:01 WIB
Diterbitkan 30 Jun 2021, 00:01 WIB
Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof Ari Kuncoro merangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan BUMN. (Istimewa)
Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof Ari Kuncoro. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Jajaran rektorat memanggil pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) buntut unggahan di media sosial BEM UI soal Jokowi: The King of Lip Service pada Minggu (27/6/2021) petang.

Sejumlah kalangan menilai bahwa pemanggilan BEM UI tersebut terkesan berlebihan. Apalagi dilakukan di hari libur. Mengingat, kritik mahasiswa terhadap pemerintah merupakan hal yang wajar.

Alih-alih ingin menekan BEM UI, belakangan yang menjadi sorotan adalah sosok Rektor Universitas Indonesia. Diketahui, ternyata Rektor UI Ari Kuncoro menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Hal ini diungkap mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz dalam unggahan di akun Twitter pribadinya.

"Rektor UI, Prof Ari Kuncoro itu Wakil Komisaris Utama BRI. Sebelumnya Komut BNI. Jadi paham kan kenapa pimpinan UI itu sangat sensitif dengan isu yg berkaitan dengan penguasa ? @BEMUI_Official tetaplah tegak #BEMUI," cuit Donal seperti dikutip pada Selasa (29/6/2021).

Hal ini juga dipastikan dalam laman resmi BRI yang menunjukkan bahwa alumnus Brown University, Amerika Serikat (AS) itu telah menjabat wakil komisari utama BRI sejak 2020 silam. Sampai saat ini Ari masih aktif menduduki posisi tersebut.

Posisi Ari ini kemudian dipertanyakan, karena jika mengacu pada Statuta UI yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia, hal tersebut merupakan tindakan haram.

Pada Pasal 35 Statuta UI disebutkan bahwa rektor dilarang merangkap jabatan pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta. Berikut bunyi lengkap Pasal 35 pada Statuta UI:

Rektor dan Wakil Rektor dilarang merangkap sebagai:

a. pejabat pada satuan pendidikan lain, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat;

b. pejabat pada instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah;

c. pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta;

d. anggota partai politik atau organisasi yang berafiliasi dengan partai politik; dan/atau

e. pejabat pada jabatan lain yang memiliki pertentangan kepentingan dengan UI.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon turut berkomentar soal kabar Rektor UI Ari Kuncoro yang merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama di Bank Rakyat Indonesia (BRI). Fadli menyarankan Ari Kuncoro memilih jabatan sebagai rektor atau komisaris BUMN.

"Bagaimana tak bangkrut, byk pejabat rangkap jabatan n pendapatan dr negara. Rektor UI pilih salah satu aja, mau jadi Rektor atau mau jd Komisaris BUMN?," tulis Fadli melalui akun Twitter pribadinya, dikutip Selasa (29/6/2021).

Tak hanya Fadli, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera juga mengkritik rangkap jabatan Ari Kuncoro. Ia menilai, rangkap jabatan Ari sebagai Wakil Komisaris Utama BRI tidak masuk akal. Sebab Statuta UI jelas melarang rektor rangkap jabatan di BUMN.

Sebagai Rektor UI, kata Mardani, Ari seharusnya menjadi contoh moral dan intelektual kampus.

"Posisi rektor itu cermin moral dan intelektual kampus. Mesti jadi contoh. Kedua, perangkapan yang terjadi sesuatu yang tidak masuk di akal. Statuta jika belum berubah mestinya dijadikan rujukan," ujar Mardani melalui pesan singkat, Selasa (29/6/2021).

Mardani menilai, perlu diusut rangkap jabatan Rektor UI ini. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Dikti serta Kementerian BUMN perlu bersuara.

"Kementerian Dikti dan BUMN perlu bersuara. Menjelaskan ke publik," kata dia.

Tidak menutup pula rangkap jabatan serupa terjadi di universitas lain. Anggota DPR RI ini menilai, hal ini perlu menjadi momentum pembenahan BUMN.

"Publik harus mengawal semua proses ini secara transparan. Dan bukan tidak mungkin ada kondisi serupa di tempat lain. Dan ini bisa jadi momentum merapikan BUMN," ujar Mardani.

Liputan6.com sendiri sudah berusaha mengontak pihak BRI melalui pesan singkat dan telepon, namun hingga saa ini pihak BRI masih bergeming. Demikian pula, saat dimintai klarifikasi soal ini, pihak UI masih belum memberikan jawaban.

Pun demikian dengan pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) kompak tak merespons soal tersebut.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Dikritik Mahasiswa, Jokowi Santai

Jokowi Apresiasi Peluncuran Tadex
Presiden Jokowi.

Sebelumnya, unggahan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) soal meme Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menyebut "Jokowi: King of Lip Service" berbuntut pemanggilan jajaran BEM Kampus Kuning itu oleh pihak rektorat.

Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra mengatakan, dalam pemanggilan pada Minggu petang, 27 Juni 2021 itu, pihaknya ditanya oleh rektorat apakah bisa menghapus postingan meme soal Jokowi tersebut.

"Kemudian pihak rektorat juga bertanya, apakah bisa postingan tersebut takedown? Kami menyatakan tidak mungkin atau tidak bisa," ujar Leon kepada Liputan6.com, Senin 28 Juni 2021.

Menurut Leon, pihak kampus tak menjelaskan alasan ihwal permintaan untuk menurunkan postingan tersebut. Setelah itu, pihak rektorat menjelaskan ke jajaran BEM UI bakal membahas hasil pertemuan itu ke level atas.

"Kemudian pihak rektorat menyampaikan bahwa akan membahas hasil klarifikasi dari kami kepada tingkat universitas," ujar dia.

Selain ditanya soal itu, di sana Leon dan rekannya juga diminta untuk mengklarifikasi maksud dan tujuan meme tersebut. Di hadapan pihak rektorat, Leon menerangkan bahwa maksud unggahan itu adalah untuk mengkritik ucapan Jokowi supaya bisa seiman dengan kebijakannya.

"Kami jelaskan tujuan kami itu untuk mengkritik agar Pak Jokowi bisa memastikan bahwa pernyataan-pernyataan beliau sesuai dengan realita di lapangan pada pelaksanaannya," ujar Leon.

Presiden Joko Widodo pun merespons kritik yang disampaikan mahasiswa yang tergabung di BEM UI tersebut. Jokowi menyebut kritik soal King of Lip Service tersebut biasa saja.

"Saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa. dan ini negara demokrasi, dan kritik itu boleh-boleh saja. Saya kira biasa saja," kata Jokowi dalam keterangan pers berupa rekaman video yang diterima wartawan, Selasa (29/6/2021).

Menurut Presiden, hal itu tidaklah masalah, karena dirinya sudah sering dijelek-jelekkan.

"Itu kan sudah sejak lama ya, dulu ada yang bilang saya ini klemar-klemer, ada yang bilang saya itu plonga-plongo, kemudian ganti lagi saya ini otoriter, kemudian ada juga yang nomong saya bebek lumpuh, baru-baru ini ada yang bilang saya ini bapak bipang (babi panggang), terakhir ada yang menyampaikan the king of lip service," kata Jokowi.

Kritik tersebut, Jokowi menegaskan, tidak boleh dihalangi oleh pihak universitas. Karena kritik mahasiswa adalah bagian dari penyampaian pendapat dan ekspresi.

"Universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk bereskpresi,"tegas Jokowi.

Kendati demikian, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut mengingatkan tentang budaya tatakrama masyarakat timur.

"Ingat kita ini memiliki budaya tatakrama, budaya kesopan santunan," kata Jokowi.

Peretasan dan Pemanggilan

5 Fakta Terkait Unggahan BEM UI Sebut Jokowi The King of Lip Service
BEM UI (Sumber: Instagram/bemui_official)

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyesalkan aksi peretasan terhadap akun media sosial beberapa pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang merupakan buntut unggahan meme Jokowi: The King of Lip Service.

Menurut dia, meme yang diterbitkan BEM UI melalui akun media sosialnya itu merupakan sebuah bentuk kritik mahasiswa kepada pemerintah. Untuk itu tidak semestinya kritik mendapatkan intimidasi apalagi sampai teror berupa peretasan.

"Kritik dari mahasiswa terhadap pemerintah adalah bagian krusial dari kehidupan warga dalam berekspresi dan berpendapat. Tanggapan kritis seperti ini seharusnya mendapat dukungan, bukannya diminta dihapus oleh universitas atau mendapat pembalasan seperti peretasan," ucap Usman dalam keterangannya, Selasa (29/6/2021).

Mantan Aktivis 98 ini berpendapat, dugaan peretasan yang dialami beberapa aktivis mahasiswa dan pengurus BEM UI juga merupakan bagian dari pembungkaman kritik yang dapat melanggar hak atas kemerdekaan untuk berekspresi dan berpendapat.

Dia mengatakan, jika Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak ingin dicap sebagai "King of Lip Service", maka harus menunjukkan ucapannya dengan komitmen nyata berupa kebijakan yang melindungi dan menjamin kemerdekaan berekspresi dan berpendapat. Termasuk melindungi mereka yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah.

"Pemerintah juga harus memastikan bahwa aparat penegak hukum mengusut kasus ini secara transparan, akuntabel, dan jelas. Semua pelaku peretasan wajib diproses dengan adil, transparan, independen, dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku berdasarkan bukti yang cukup," pungkas Usman Hamid.

Sedangkan pengamat politik Ray Rangkuti menilai, pemanggilan jajaran Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) oleh pihak rektorat terkait meme Jokowi: The King of Lip Service merupakan tindakan yang berlebihan. Sikap rektorat Universitas Indonesia dinilai tidak mencerminkan lembaga akademis.

"Kampus berdiri memastikan bahwa kebebasan berpikir dan berpendapat adalah yang utama, lainnya adalah berikutnya. Jadi, pemanggilan itu seperti menjadikan kampus petugas politik dibandingkan petugas bagi terjaminnya kebebasan berpendapat. Tentu hal ini disayangkan," ujar Ray kepada Liputan6.com, Selasa (29/6/2021).

Menurut Ray, pemanggilan BEM UI itu tidak tepat. Apalagi disebutkan untuk memberi penjelasan. Ia mengatakan, hal itu seperti bahasa "penguasa" dengan yang "dikuasai". Bukan bahasa akademis yang sepatutnya berkembang di dalam dunia kampus.

"Berdialog atau berdiskusi adalah bahasa ajakan yang tepat. Dengan begitu, penghormatan atas perbedaan pandangan, kebebasan berpendapat tetap terjamin," kata dia.

Dia mengatakan, fungsi utama kampus, yakni menyuburkan kebebasan berpendapat, menumbuhkan kritisisme, dan alur berpikir yang rasional. "Mereka harus jadi petugas bagi terselenggaranya kebebasan akademik. Bukan sebaliknya, menjadi petugas pengamanan berpikir dan berkreasi," jelas Ray.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya