Liputan6.com, Jakarta - Tak bosan-bosan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berteriak agar para Penyelenggara Negara (PN), termasuk anggota DPR, menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Namun nyatanya, aturan yang disuarakan lembaga antirasuah ini dianggap angin lalu.
Data KPK menyebutkan, hingga 6 September 2021, dari 569 anggota terhormat, baru 239 orang yang melaporkan harta kekayaannya. Laporan itu seyogyanya diterima KPK paling akhir 31 Maret 2021.
Baca Juga
Ini bukan pertama kali dilakukan Anggota DPR. Pada tahun 2020, sebanyak 169 anggota parleman juga melakukan hal yang sama, enggan melaporkan harta kekayaannya kepada KPK. Sikap yang berulang ini mendulang dugaan miring dari publik terhadap harta kekayaan yang mereka dapatkan.
Advertisement
"Bisa jadi untuk menyembunyikan hartanya, dugaannya begitu," kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (9/9/2021).
Dia menambahkan, DPR selalu mengatakan tidak ada aturan jelas terkait LHKPN. Padahal LKPN ini ada beleidnya sebelum menjabat selama menjabat dan setelah menjabat.
"Jadi aturan itu aja mereka akali dan tak patuh, jadi saya kira ini komitmennya mereka untuk mengakali aturannya sendiri. Karena bukan LHKPN-nya aja yang tidak dipatuhi tapi juga aturan lainnya padahal yang buat aturannya mereka sendiri," ujar dia.
Lucius menerangkan LHKPN ini bukan sekadar laporan dewan terhadap harta yang dimilikinya saja. Ada kesadaran yang ingin dibangun dalam aturan tersebut.
"Alasan yang paling kuat karena dengan LHKPN ini, anggota DPR selalu diingatkan tiap harta dimiliki dan didapatnya itu dapat mencegah dia dalam penyimpangan anggaran dan menguntungkan diri sendiri," kata Lucius.
Dengan tidak patuh melaporan harta kekayaan, menurut dia, sama artinya secara sadar DPR tak mau mendorong pemberantasan korupsi dengan mengawalinya dari diri mereka sendiri
"Ini menunjukkan korupsi masih ada di DPR dan melekat pada mereka. Dan itu ada pada tata kelola mereka khususnya saat pembahasan anggaran. Masih ada 1-2 Anggota DPR korup dan karena itu merasuki lembaga, maka wajar sebagian anggota tak lapor hartanya karena sangat mungkin harta mereka sumbernya ilegal," jelas Lucius.
Dia meyakini anggota dewan yang duduk di gedung parlemen tersebut merupakan sosok pilihan yang berpendidikan tinggi. Namun begitu, keilmuan yang ada pada mereka tidak mampu mewarnai nilai-nilai komitmen terhadap aturan yang dibuatnya.
"Saya awalnya mikir, masa sih DPR butuh sanksi? Ini kan sederhana cuma laporan. Mereka kan dewasa dan terhormat tapi komitmennya ternyata rendah dan tidak jujur dan akhirnya kita harus anggap mereka sekelas anak TK dan SD yang semua harus ditakutin dengan sanksi bila tak patuh aturan. Jadi sanksi ini perlu dibuat," ujar dia.
Lucius pun mendesak agar para pimpinan di DPR mencari format tepat agar LHKPN ini dipatuhi anggotanya. Dengan melaporkan harta kekayaan, secara tidak langsung memberikan citra positif bagi anggota dan parpolnya lantaran dianggap pro terhadap pemberantasan korupsi.
"Jadi coba inisiatif dari pimpinan DPR dan pimpinan fraksi bisa jadi solusi agar tak harus ubah UU karena ini kan bagi anggota mereka sendiri. Karena mereka adalah citra partai. Jadi fraksi punya kewajiban mencitpakan citra yang baik sebagai partai yang mendukung pemberantasan korupsi," jelas Lucius.
Â
** #IngatPesanIbuÂ
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap 3m #vaksinmelindungikitasemua
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Wasanti juga menyoroti hal yang sama. Dia menilai penyerahan laporan kekayaan anggota DPR merupakan harga mati. Tak ada alasan apa pun bagi pejabat untuk tidak melakukannya.
"Mereka pejabat publik yang digaji dan dibayar menggunakan uang rakyat. Sudah sewajarnya mereka harus melaporkan harta kekayaan agar masyarakat bisa mengontrol. Kan kita bisa lihat itu kalau mereka melaporkan harta kekayaanya per tahun naiknya seberapa," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (9/9/2021).
Dari sini masyarakat bisa mengukur apakah mereka berpotensi korupsi atau tidak. Jika harta yang didapatkan dengan cara tidak menyimpang, para anggota DPR hendaknya tidak perlu takut untuk menyampaikan LHKPN.
"Kalau mereka tidak melakukan (korupsi) itu sebetulnya enggak ada soal untuk melaporkan harta kekayaan mereka. Tidak ada itikad baik sih mas kalau ku pikir. Ada unsur kesengajaan dan kelalaian lah di situ," ujar dia.
Wasanti menilai, dalih yang dikemukakan pimpinan DPR lantaran adanya kebijakan WFH merupakan alasan yang mengada-ada. Karena semua proses penyampaian LHKPN dilakukan secara online.
"Ku pikir enggak ada alasan, karena KPK juga sekalipun WFH semua kan online. Dengan adanya pandemi ini pemerintah kan langsung penyesuaian. Mereka kan rata-rata rapat online. Jadi sebetulnya WFH tdak harus menggugurkan mereka untuk melaporkan harta kekayaan mereka," terang dia.
Karena itu, dia menekankan sebenarnya ketidakpatuhan anggota DPR dalam menyampaikan LHKPN lantaran tak memiliki niat untuk itu. Terlebih semua sistem sudah berjalan secara elestronik.
"Kalau niat mah bisa, orang KPK kan ada layanan online. Toh pegawai KPK itu enggak semua WFH, jadi saya pikir enggak ada alasan WFH," ujar dia.
Agar ini tidak terulang, Wasanti menilai perlu ada sanksi tegas terhadap pelanggar. Sanksi itu sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam menerapkan aturan.
"Harusnya memang dikenakan sanksi. Sanksinya itu memang bukan sanksi tertulis, tapi entah sanksi yang sifatnya denda atau seperti apa ketika mereka tidak melapor. Ini juga bentuk keseriusan negara untuk melakukan pemberantasan korupsi, jadi tidak hanya sanksi tertulis," ujar dia.
"Atau bisa juga KPK mempublikasikan nama-nama yang tidak melaporkan. Itu bisa juga dijadikan kampanye bahwa ini tdak melaporkan, jadi buat pemilihan berikutnya kita bisa bilang ini enggak melaporkan terus kenapa dipilih," imbuh Wasanti.
Terkait LHKPN yang tidak akurat, dia menilai butuh kejujuran pejabat dalam mengisi daftar kekayaan hartanya. Sebab KPK hanya menginput laporan dari mereka.
"KPK hanya menginput laporan mereka. Nah berarti kan ini sebetulnya dibutuhkan kejujuran dari si pelapor ya. Kalau mereka enggak jujur ya gimana? Sedangkan KPK kan hanya menginput dari pejabat itu," ujar Wasanti.
Respons DPR
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad merespons desakan agar anggota yang belum melaporkan LHKPN untuk segera menyampaikannya kepada KPK. Ia menegaskan sudah memerintahkan langsung kepada anggota dewan maupun melalui fraksinya masing-masing.
"Sudah kita sampaikan ke semua, kita sudah sampaikan ke fraksinya juga," kata Dasco pada wartawan, Kamis (9/9/2021).
Dia mengklaim, penyerahan LHKPN butuh waktu lantaran tiap fraksi harus melakukan sosialisasi ke tiap anggota di saat kondisi masih WFH.
"Memang butuh waktu untuk sosialisasi di masing-masing fraksi," katanya.
Dasco menyebut rendahnya anggota Dewan yang menyerahkan LHKPN karena ada masalah teknis. Sebab, para staf dan tenaga ahli yang membantu untuk melaporkan LHKPN, terhambat dengan penerapan WFH.
"Itu LHKPN kan harus dimasukkan pada saat-saat pandemi, nah mereka kan biasanya dibantu oleh TA, oleh staf, nah ini kan kita WFH semua sehingga staf yang membantu itu rata-rata juga pada WFH," ujar dia.
"Karena masalah teknis. Tahun yang sebelumnya bagus itu (LHKPN)," katanya.
Kendati demikian, Anggota komisi II DPR Mardani Ali Sera menilai tak ada hambatan dalam menyampaikan LHKPN. Hanya saja memerlukan ketekunan.
"Di masa pandemi mestinya tidak ada kesulitan juga. Ini bab komitmen," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (9/9/2021).
Dia pun menyayangkan banyak anggota DPR yang tidak menyampaikan LHKPN. Menurutnya, perlu ada pembicaraan untuk mencari solusi bersama atas persoalan tersebut.
"Berulang hampir tiap tahun. Mesti duduk bersama mencari solusi. Bisa dimudahkan prosesnya atau tidak dibuat tiap tahun. Atau dilakukan berbasis permintaan dari aparat," kata dia.
Melaporkan harta kekayaan merupakan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara (PN) sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat 2 dan 3 Undang-undang No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.
Undang-Undang mewajibkan PN bersedia untuk diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. PN juga wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
KPK sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, berwenang untuk melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi.
Advertisement
Banyak Tak Jujur Sampaikan LHKPN
Hampir separuh dari anggota DPR terungkap tak mematuhi aturan terkait laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Berdasarkan data dari kedeputian pencegahan KPK, sebanyak 239 anggota DPR RI belum melaporkan hartanya kepada KPK.Â
"Tercatat pada tanggal 6 September 2021, anggota DPR RI dari kewajiban laporan 569, sudah melaporkan diri 330 dan belum melaporkan 239, atau tingkat persentase laporan baru 58%," ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam webinar bertajuk 'Apa Susahnya Lapor LHKPN Tepat Waktu dan Akurat', Selasa (7/9/2021).
Dalam webinar ini turut hadir Ketua MPR Bambang Soesatyo mewakili unsur legislatif, Menteri BUMN Erick Thohir mewakili unsur eksekutif dan BUMN/BUMND, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mewakili unsur pemerintah daerah, dan Peneliti FORMAPPI Lucius Karus.
Firli mendorong seluruh anggota DPR RI untuk menyampaikan LHKPN secara patuh setiap tahunnya. Tak hanya kepada para legislator, Firli meminta hal tersebut kepada seluruh penyelenggara negara yang masuk dalam kategori wajib lapor (WL).
"Kami sungguh mengajak rekan-rekan penyelenggara negara untuk membuat dan melaporkan harta kekayaannya. Kenapa? karena tujuannya satu, mengendalikan diri supaya tidak melakukan praktek-praktek korupsi," kata Firli.
KPK sebelumnya juga menemukan banyak penyelenggara negara yang tak jujur dalam menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). KPK mendorong agar para pejabat negara yang masuk kategori wajib lapor (WL) agar melaporkan hartanya secara akurat.
"KPK masih mendapati banyak laporan kekayaan yang disampaikan tidak akurat," ujar Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya, Selasa (7/9/2021).
Ipi mengatakan, berdasarkan data KPK per semester 1 tahun 2021 ini, tingkat kepatuhan LHKPN bidang legislatif di tingkat pusat terjadi penurunan kepatuhan. Pada periode sebelumnya tercatat 74 persen bidang legislatif melaporkan hartanya, namun kini menurun menjadi 55 persen.
Meski demikian, secara nasional dari seluruh bidang eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN/BUMD terjadi peningkatan kepatuhan dari 95 persen menjadi 96 persen. Ipi mengatakan, kepatuhan LHKPN menjadi bukti komitmen penyelenggara negara dalam pencegahan korupsi.
"Komitmen tersebut seharusnya didasari pada keyakinan bahwa penyelenggara negara wajib menjaga integritas dengan menunjukkan transparansi dan akuntabilitasnya sebagai pejabat publik," kata Ipi.
Ipi mengatakan, KPK sudah memberikan kemudahan pelaporan secara online, tidak mengharuskan melampirkan semua dokumen kepemilikan harta, serta memberikan bimbingan teknis dan sosialisasi pengisian LHKPN secara regular.
"Sehingga, tidak ada alasan bagi penyelenggara negara untuk tidak melaporkan harta kekayaan secara tepat waktu dan akurat. Menyampaikan LHKPN kini sangat mudah dan cepat," kata Ipi.
Â