Liputan6.com, Jakarta - Hasil Survei Indikator Politik menunjukkan, mayoritas publik memilih agar Undang-Undang Dasar atau UUD 1945 tidak boleh diubah. Alasannya, UUD 1945 dinilai mampu memenuhi perkembangan kebutuhan bangsa selamanya.
"Kebanyakan publik 49,1 persen merasa UUD 1945 tidak boleh diubah sama sekali karena mampu memenuhi perkembangan kebutuhan bangsa selamanya," kata Direktur Eksekutif Survey Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi dalam acara Rilis Hasil Survei Indikator Politik dan Diskusi Publik Fraksi NasDem MPR RI, Rabu (13/10/2021).
Sementara, 28,2 persen publik menjawab beberapa pasal UUD 1945 boleh diubah untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan zaman. Sedangkan, 13,8 persen menjawab seluruh pasal UUD 1945 boleh diubah jika tidak lagi mampu memenuhi perkembangan kebutuhan bangsa.
Advertisement
Selain itu, Burhanuddin memaparkan perbandingan antara elite dan publik mengenai waktu yang tepat untuk melakukan amandemen UUD 1945. Pertanyaan yang diajukan ialah 'apakah sekarang sudah saatnya dilakukan kembali perubahan terhadap UUD 1945'?
Hasilnya, 28,1 persen elite menyatakan sudah saatnya UUD 1945 diubah. Sementara, publik menjawab 18,8 persen.
Berikutnya, ada 69 persen elite yang menjawab belum saatnya UUD 1945 diubah. Sedangkan, publik sebanyak 55 persen.
"Mayoritas 69 persen elite menilai belum saatnya dilakukan kembali perubahan terhadap UUD 1945. Di kalangan publik mayoritas juga belum saatnya, namun lebih rendah," kata Burhanuddin.
Â
Penarikan sampel
Penarikan sampel survei untuk responden publik menggunakan metode multistage random sampling dan jumlah sampel sebanyak 1.220 orang. Wawancara dilakukan pada tanggal 2 sampai 7 September 2021.
Survei ini dengan asumsi metode simple random sampling, ukuran sampel 1.220 responden memiliki toleransi kesalahan atau margin of error +-2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional.
Sedangkan, untuk survei elit ditujukan kepada pemuka opini nasional dan daerah sebanyak 313 orang dari 16 wilayah di Indonesia. Mereka terdiri dari akademisi, redaktur media, organisasi masyarakat, tokoh agama, budayawan, lembaga swadaya masyarakat dan pusat studi kebijakan.
Wawancara survei elite dilakukan secara tatap muka dengan protokol kesehatan yang ketat maupun via zoom pada tanggal 1 sampai 30 september 2021.
Â
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement