Liputan6.com, Jakarta Bunga tak pernah membayangkan akan melahirkan anak di usianya yang masih muda. Keinginannya untuk bersekolah di Bandung untuk meraih mimpi berubah menjadi pengalaman yang kelam dan pahit karena kasus pemerkosaan.
Bunga, bukan nama sebenarnya, merupakan anak dari keluarga yang berasal dari Garut, Jawa Barat.
Baca Juga
Dia sempat tak mau berkomunikasi dengan keluarga semenjak pulang dari pondok pesantren tempatnya mengenyam pendidikan. Dia hanya mengurung diri di kamar. Kedua orangtuanya pun merasa kebingungan.
Advertisement
Saat ditanya, Bunga hanya menangis. Kata yang diucapkannya cuma, "Takut".
IN dan IL kedua orangtua Bunga langsung memeluk anak perempuan semata wayangnya itu.
"Mamah takut, Mamah takut. Sambil nangis dia, itu yang dikatakannya, enggak ada yang lain, takut, takut," kata IN kepada Liputan6 SCTV.
Kedua orangtua Bunga, terus mempertanyakan ketakutan yang dirasakan anaknya. Anak perempuannya berubah tak seperti biasanya. Bunga biasanya manja kepada orangtuanya ketika pulang dari Bandung. Kali ini tidak.
IN juga melihat ada perubahan dari postur tubuh anaknya. Perubahan itu awalnya hanya disimpan dalam hati. Ibu empat orang anak ini terus berpikir positif mengenai sejumlah perubahan yang terjadi dalam diri anaknya.
Ketakutan akan perubahan postur tubuh anaknya pun terjawab saat Bunga akhirnya bersuara dan bercerita jujur tentang apa yang dialaminya.
"Dipeluk sama ibunya, sama saya, sama pamannya. Nah, akhirnya dia mengaku, saya sudah punya anak, usia anak saya satu tahun setengah sekarang ini sudah dua tahun," ucap IL, ayah Bunga.
Sebagai orangtua, IN dan IL pun tak tahu menahu kapan anaknya hamil dan melahirkan. Mereka juga tidak tahu bagaimana bunga menghidupi anaknya di pesantren.
Hati keluarga Bunga langsung hancur melihat anaknya mengalami pemerkosaan. Apalagi pelakunya yaitu guru sekaligus pemilik pondok pesantren. Bunga bersekolah di Pondok Pesantren Manarul Huda milik Herry Wirawan.
Ayah dan ibunya Bunga menaruh harapan besar kepada anaknya, yaitu kesuksesan seusai menyelesaikan pendidikan. Namun, kejadian tak diinginkan pun terjadi. Akibatnya trauma dan ketakutan seringkali menghampiri Bunga.
Â
Tangisan Histeris Bunga
Setiap teringat aksi bejat yang dilakukan Herry, Bunga akan menangis hingga dua hari ke depan. Kadang kala tangisan itu berubah menjadi teriakan histeris. Sebagai seorang ibu, IN pun merasa hancur.
"Kalau saya enggak inget Tuhan mungkin saya juga udah bunuh diri," jelas dia.
Korban Herry tak hanya Bunga, tapi ada lainnya. Dari sejumlah korban tersebut delapan di antaranya melahirkan sembilan anak. Para siswa yang akhirnya mondok di pesantren Herry merupakan rekomendasi dari orang terdekatnya.
Misalnya Bunga, dia memilih bersekolah dari Garut ke Bandung atas rekomendasi dari AEP tetangganya. Latar belakang pendidikan Herry menjadi pertimbangan utama. AEP juga merasa bersalah kepada sejumlah korban Herry.
"Saya merasa dizalimi merasa dibohongi sama dia, saya bersalah merasa berdosa kepada anak-anak yang menjadi korban dan juga kepada orang tuanya," kata dia.
Sebagi pemilik pondok pesantren, Herry memaksa para korban untuk melakukan apa yang diinginkannya. Beberapa kali para korban terus melakukan penolakan.
Â
Advertisement
Bisikan yang Tak Terdengar
Namun, acap kali korban tak bisa menolak setelah Herry membisikkan kata-kata halus ke telinga santriwatinya. Pengakuan itu disampaikan oleh pengacara korban dari LBH Serikat Petani Pasundan, Yudi Kurnia.
Korban pun tidak tahu menahu bisikan apa yang dilakukan Herry.
Bahkan beberapa di antaranya korban tengah sakit dan tetap dipaksa. Bisikan tersebut oleh sejumlah korban dapat disebut sebagai mantra.
"Penolakan ada tapi anehnya kata si korban, saya bilang enggak mau, enggak mau nah enggak tahu dibisikin apa jadi si anak itu jadi nurut padahal hati enggak nerima tapi saya jadi ngikutin," kata Yudi saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (12/12/2021).
Untuk menutupi aksinya, Herry memisahkan para korban yang tengah hamis dengan santriwati lainnya. Herry juga memiliki sejumlah lokasi untuk melancarkan aksinya. Seperti halnya lokasi asrama, sekolah hingga lokasi khusus atau disebut basecamp.
Lokasi khusus tersebut ditempati untuk para korban yang hamil dan telah melahirkan hingga kondisinya pulih kembali.
"Jadi ada dua tempat di situ ada tempat nginep dan sekolah yang di Cibiru itu. Dan satu lagi di Cibiru Hilir yang di Cileunyi itu basecamp untuk orang yang sudah melahirkan ngurus anak di situ, beda tempat," ujar dia.
Â
Tak Akui Anak
Kemudian saat akan melahirkan, Herry akan meminta salah satu santriwatinya untuk mengantarkan korban ke bidan terdekat dan dipesankan transportasi online. Bidan yang menangani sempat menaruh curiga, sebab korban datang melahirkan tanpa didampingi suaminya.
Korban dan temannya hanya mengaku bila suaminya saat ini sedang dinas di luar kota. Herry juga sempat ditanyai oleh keluarganya terkait adanya anak-anak di tempatnya mengajar. Dia berdalih bayi dan beberapa balita merupakan anak yatim piatu yang diasuh di pesantrennya.
"Padahal anak santri dan anak dia dibilang ke yang lain itu anak pungut seolah-olah itu jadi panti asuhan nya di basecamp," ucapnya
Advertisement