Greenpeace Indonesia: COP27 Belum Beri Kepastian Negara Berkembang Dapat Dana Bantuan

Konferensi iklim COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, yang baru saja berakhir membuat terobosan dengan kesepakatan tentang pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan (loss and damage).

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 21 Nov 2022, 08:00 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2022, 08:00 WIB
Bersepeda dari Jakarta hingga Bali Membawa Pesan Dampak Nyata Krisis Iklim
Didit Wicaksono Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia berbicara saat acara Chasing The Shadow (CATS) kick off tur sepeda leg pertama di Jakarta, Minggu, 16 Oktober 2022. (Veri Sanovri / Greenpeace)

Liputan6.com, Jakarta Konferensi iklim COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, yang baru saja berakhir membuat terobosan dengan kesepakatan tentang pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan (loss and damage).

Greenpeace Indonesia awal yang baik untuk menuju keadilan iklim, kendati masih ada sejumlah catatan yang perlu menjadi perhatian.

"Isu krusial menyangkut pendanaan loss and damage–seperti negara mana yang harus membayar baru akan dibahas dalam COP tahun depan. Ini menandakan masih ada keengganan negara-negara emiter besar untuk membayar biaya kerusakan iklim akibat emisi yang mereka hasilkan selama ini," kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, dalan keterangannya, Senin (21/11/2022).

Selain itu, harusnya ada kepastian negara-negara maju untuk menepati janji mereka. Ini mengingat tak terpenuhinya janji mereka sebelumnya, yakni mengalokasikan US$100 miliar per tahun untuk membantu negara-negara berkembang bertransisi ke energi bersih dan meningkatkan ketahanan menghadapi krisis iklim.

Selain itu, Greenpeace menyesalkan tak disepakatinya tindakan mitigasi yang lebih ambisius dari kesepakatan Glasgow pada tahun lalu. Tak ada komitmen untuk mengakhiri penggunaan semua bentuk energi fosil.

"Sejumlah negara utara dan selatan sebenarnya menyuarakan desakan itu, tetapi ditolak oleh Presidensi COP27 Mesir," jelas Leonard.

Hal lainnya yang patut disesalkan yakni tak tercapainya kesepakatan dan target waktu yang jelas untuk penggandaan dana global untuk membantu negara-negara miskin dan berkembang melakukan adaptasi.

"Sejauh ini, COP27 hanya mengakui bahwa diperlukan setidaknya US$5,6 triliun untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi krisis iklim sampai tahun 2030," kata Leonard.

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


IMF Ungkap Biaya

Dunia membutuhkan rata-rata biaya karbon sebesar USD 75 atau sekitar Rp 1,1 juta per ton pada akhir dekade, untuk tercapainya target pengurangan gas rumah kaca.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, di sela-sela pertemuan iklim COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir.

Dilansir dari US News, Selasa (8/11/2022) Georgieva dalam kesempatan itu juga menyebut, laju perubahan dalam ekonomi riil masih terlalu lambat.

Analisis yang berafiliasi dengan Bank Dunia baru-baru ini juga mengungkapkan bahwa jumlah total komitmen secara global untuk mengurangi emisi yang merusak iklim akan turun hanya 11 persen pada pertengahan abad ini.

"Kecuali jika harga karbon pada lintasan yang setidaknya mendorong rata-rata USD 75 per ton karbon pada tahun 2030, kita sama sekali juga tidak mengeluarkan insentif bagi bisnis dan konsumen untuk beralih," bebernya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya