PDIP Ingatkan untuk Bisa Maju, Indonesia Harus Meletakkan Nasibnya di Tangan Sendiri

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang menyinggung soal pasal 33 UUD 1945 yang merupakan muara pemikiran founding father Soekarno-Hatta.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Des 2022, 16:06 WIB
Diterbitkan 21 Des 2022, 16:06 WIB
Hasto
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. (Foto: Dokumentasi PDIP).

Liputan6.com, Jakarta Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang menyinggung soal pasal 33 UUD 1945 yang merupakan muara pemikiran founding father Soekarno-Hatta.

Menurut dia, sebelum membacakan Teks Proklamasi, Bung Karno berpidato singkat yang mengingatkan sebagai bangsa harus berani meletakkan nasib di tangan sendiri.

Hal ini disampaikan saat dirinya hadir dalam acara bedah buku yang berjudul "Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta" di Universitas Terbuka Convention Center, Pamulang, Tangerang Selatan, Rabu (21/12/2022).

"Kalau sekarang dikit-dikit kita welcome pada kepentingan asing, kita berarti memutarbalikkan mental penjajahan kembali eksis. Ketika elite lebih percaya pada asing dibanding bangsa sendiri, termasuk percaya pada para peneliti kita, artinya pejabat tersebut melarutkan diri dalam kepentingan-kepentingan dan menjadi aktor dari asing tersebut," kata Hasto.

Dia mengingatkan, harus mulai membangun rasa percaya diri, namun bukan ke arah anti asing.

"Itulah maka harus kita bangun rasa percaya diri. Apa yang saya sampaikan bukan sikap anti asing, namun serap sehebat-hebatnya iptek mereka, bagi kemajuan bangsa. Sebab tidak ada bangsa maju tanpa sistem pendidikannya maju," beber Hasto.

Sementara, Sejarawan Bonnie Triyana mengingatkan, pada 1945 saat Indonesia merdeka, jumlah penduduk Indonesia sekitar 61 juta dan 75 persen lebih buta huruf.

Maka strategi Bung Karno bagaimana mengubah bangsa Indonesia yang sepenuhnya merdeka adalah pertama-tama drngan menegakkan supremasi ilmu pengetahuan.

“Jadi penting universitas, pentingnya pendidikan. Pengetahuan menjadi cara dan modal untuk meraih kemajuan. Kedua aspirasi kebudayaan. Semua punya ekspresi yang sama. Kemudian kebijakan berbasiskan pengetahuan. Kebijakannya teknokratik, yang berdasarkan riset dan berbasis pengetahuan,” kata Bonnie.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pemersatu

Bonnie juga menyatakan Bung Karno sebagai pemersatu dan tidak membentur benturkan. Salah satu contohnya adalah dalam pidato 17 Agustus 1964. Dia memberi pesan kepada masyarakat Tionghoa, yang dulu terbelah menjadi dua.

Pertama yang mendukung asimilasi total, misalnya kalau mau jadi Indonesia harus ganti nama dan lainnya. Yang kedua adalah tidak asimilasi total atau integrasi wajar yakni menjadi Indonesia tanpa menghilangkan ciri-ciri sebagai Tionghoa.

“Bung Karno bilang, asimilasi total dan integrasi sama baiknya. Karena yang penting adalah bersatu membebaskan Indonesia dari rasialisme yang merupakan warisan dari kolonialisme itu,” kata Bonnie.

“Dari berbagai temuan riset saya. Bung Karno itu mengutamakan harmoni. Walaupun tahun 1965 bisa bertahan mempertahankan kekuasaannya, Bung Karno memilih mengalah demi keutuhan bangsa Indonesia,” pungkasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya