Jaksa Kembalikan SPDP Firli Bahuri, Pakar Hukum Sarankan Ini

Menurut dia, Kejati DKI Jakarta mengembalikan SPDP kepada penyidik PMJ, karena tidak ada kelanjutan dari petunjuk-petunjuk sebelumnya.Sehingga, Jaksa tidak mau terbebani perkara ini.

oleh Tim News diperbarui 04 Jan 2025, 13:42 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2025, 09:55 WIB
Firli Bahuri
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri seusai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri, Jakarta pada Rabu (27/12/2023). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Prof Suparji Ahmad menilai pengembalian Surat Perintah Dimulai Penyidikan (SPDP) perkara dugaan pemerasan mantan Ketua KPK Firli Bahuri terhadap Syahrul Yasin Limpo (SYL) oleh jaksa peneliti pada Kejati DKI Jakarta menunjukkan kegagalan penyidik Polda Metro Jaya (PMJ) memenuhi petunjuk Jaksa dalam melengkapi alat bukti pada berkas perkara Firli Bahuri.

Oleh sebab itu, Prof. Supardji menyarankan penyidik PMJ mengeluarkan SP3 atas kasus Firli Bahuri, karena tidak memenuhi alat bukti materiil.

“Kalau memang tidak ditemukan alat bukti atau tidak cukup alat bukti, konsekuensinya perkara ini dihentikan,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (4/1/2025).

Prof. Supardji menjelaskan, ada tiga hal yang menjadi alasan SP3 diterbitkan, yakni tidak cukup alat bukti, bukan peristiwa pidana, penyidikan dihentikan demi hukum karena kadaluarsa atau tersangkanya meninggal dunia.

“Dalam kasus Firli Bahuri, kalau tidak cukup alat bukti, ya konsekuensinya perkara ini harus dihentikan,” tegasnya.

Menurut dia, Kejati DKI Jakarta mengembalikan SPDP kepada penyidik PMJ, karena tidak ada kelanjutan dari petunjuk-petunjuk sebelumnya.Sehingga, Jaksa tidak mau terbebani perkara ini.

Selain itu, Prof. Supardji juga menilai pengembalian SPDP oleh Kejaksaan kepada penyidik menunjukkan adanya pelambanan dalam memenuhi petunjuk dari Jaksa.

“Kalau tidak ada alat bukti, Jaksa akan kesulitan. Sebab, Jaksa nanti yang bertanggung jawab dalam persidangan. Kalau Jaksa tidak bisa membuktikan dalam persidangan, ini menjadi pertarungan reputasi mereka. Bahkan, ini bertentangan dengan rasa keadilan,” papar Prof. Supardji.

Terkait alat bukti, Prof. Supardji mengatakan proses hukum dalam penyidikan maupun persidangan merupakan sebuah konstruksi fakta berdasarkan alat bukti yang didukung barang bukti.

Dia menegaskan bahwa dalam proses hukum, fakta tidak bisa direkayasa, tetapi hanya direkonstruksi. Karena itu, fakta tidak bisa bersifat imajinatif atau asumtif, tetapi harus sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

“Untuk menemukan satu fakta materil harus berdasarkan alat bukti yang berkualitas atau alat bukti yang memiliki kesesuaian dengan peristiwa pidananya,” ungkapnya.

 

Terkait Pidana Suap atau Gratifikasi

Firli Bahuri Diperiksa Dewan Pengawas KPK
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri usai menjalani pemeriksaan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa (5/12/2023). Firli Bahuri memenuhi panggilan kedua Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk menjalani pemeriksaan dugaan pelanggaran etik terkait pertemuan dengan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Terkait tindak pidana suap atau gratifikasi yang disangkakan kepada Firli Bahuri, kata Prof. Supardji, harus ada pembuktian yang memenuhi unsur materiil sebagaimana disarankan oleh Jaksa.

“Harus benar-benar ada alat bukti yang menunjukkan peristiwa pidana korupsi itu. Misalnya, saksi yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami secara langsung atas terjadinya dugaan penyuapan, gratifikasi atau pemerasan. Itu harus ada bukti, kapan dan dimana dilakukan. Nah, ini yang bicara adalah saksi, yang bicara adalah alat bukti berupa surat atau petunjuk,” katanya.

Lantaran penyidik PMJ tidak menemukan alat bukti yang kuat, kata Prof. Supardji, Jaksa tidak punya keyakinan tentang kebenaran materiil. Itu sebabnya, Jaksa mengembalikan berkas perkara Firli Bahuri kepada penyidik PMJ.

Sejatinya, menurut Prof. Supardji, kasus yang disangkakan kepada Firli Bahuri sederhana kalau memang penyidik menemukan alat bukti seperti petunjuk dari Jaksa.

Yang jadi pertanyaan, kata dia, kenapa penyidik tidak bisa melengkapi berkas perkara itu. Apakah memang tidak ada alat bukti atau alat buktinya belum ditemukan?

“Kalau memang ada alat buktinya, perkara ini sebetulnya simpel. Misalnya, jelas waktunya, jelas tempatnya, jelas orang-orang yang bisa diperiksa. Ternyata belum dapat kan. Bisa jadi karena memang tidak ada alat buktinya,” kata Prof. Supardji.

“Alat bukti itu tidak dicari, tapi ditemukan. Artinya, alat bukti tidak bisa dikondisikan, tapi harus betul-betul nyata adanya,” pungkasnya.

Infografis

Infografis Ketua KPK Firli Bahuri Tersangka Pemerasan Syahrul Yasin Limpo. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Ketua KPK Firli Bahuri Tersangka Pemerasan Syahrul Yasin Limpo. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya