[OPINI] Ekonomi Indonesia Sebenarnya Seperti Apa?

Untuk memahami deregulasi dan prospek ekonomi Indonesia ke depan, kita harus tahu dulu latar belakangnya.

oleh Liputan6 diperbarui 07 Jan 2016, 17:03 WIB
Diterbitkan 07 Jan 2016, 17:03 WIB
Darmin Nasution
Opini Darmin Nasution

Liputan6.com, Jakarta - Untuk memahami deregulasi dan prospek ekonomi Indonesia ke depan, kita harus tahu dulu latar belakangnya. Sebetulnya apa yang kita hadapi sekarang di perekonomian adalah gabungan dari dinamika global dengan apa yang kita bangun paling tidak selama beberapa belas tahun terakhir, setelah krisis Asia tahun 1998.

Sebetulnya boleh dikatakan, ekonomi kita sudah mulai pulih dari dampak krisis 1998 pada 2004-2005. Saya ingat waktu itu, saya masih menjabat sebagai Dirjen Pajak pada awal 2006. Kala itu kemudian terjadi krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) tahun 2007 dan dampaknya pada perekonomian kita baru muncul pada 2008.

Kejadian tersebut sebetulnya pengaruhnya cukup dalam pada perekonomian Amerika Serikat. Dan semangat untuk melakukan reformasi struktural itu juga tinggi.

Jika kita masih ingat, tahun itu dan beberapa tahun sesudahnya, ada banyak demo-demo bahkan orang menginap di Wall Street untuk memprotes gejolak yang kemudian dikaitkan dengan sektor keuangan yang sudah  bergerak terlalu jauh.

Di sana sendiri memang cukup kuat pandangan bahwa sektor keuangan --yang berkembang dengan berbagai instrumen dan derivatifnya-- melahirkan ketimpangan yang boleh dikatakan luar biasa.

Menariknya, Amerika Serikat kemudian mampu mencari jalan keluar dengan kebijakan quantitative easing  (pelonggaran moneter). Implikasi dari kebijakan itu adalah pemerintah Amerika kemudian mengeluarkan likuiditas besar-besaran untuk membeli berbagai aset di dalam perekonomiannya untuk melakukan penyelamatan.

Tidak lumrah

Sebetulnya itu langkah yang tidak lumrah di dalam khasanah ekonomi dan keuangan karena tingkat suku bunga kemudian didorong mendekati nol. Nah, sebagai hasilnya, pasokan dolar AS meningkat secara tajam.

Ibarat air bah, dia mencari tempat-tempat yang lebih rendah untuk mengalir. Artinya, dia mencari tempat investasi yang memberikan imbal hasil yang relatif menarik dan itu tempatnya, pada umumnya, di negara-negara berkembang.

Saya ingat periode itu, karena waktu itu saya adalah Gubernur Bank Indonesia (BI). Yang namanya dana itu bergelombang-gelombang datang dan mendorong rupiah menjadi kuat sekali bahkan pernah mencapai Rp 8.500 per dolar AS.

Kala itu, kita bersama-sama Menteri Keuangan sebetulnya sudah menyadari bahwa ini enggak boleh terlalu jauh, karena pada saatnya dia pergi, kita akan menghadapi masalah lagi. Berkah harga komoditas sudah tidak ada lagi. Harga-harga komoditas sekarang turun, termasuk harga bahan bakar minyak (BBM).

Lalu barulah kita sadar bahwa kita tidak membangun industri manufaktur. Nah, sayangnya memang pada waktu itu, pemerintah juga cukup menikmati gelombang masuknya dolar AS. Karena begitu dolar AS masuk, dia mau tidak mau ditukar ke rupiah dan pasokan rupiah juga meningkat dengan cepat.

Imbasnya, kredit perbankan pertumbuhannya setahun bisa 40 persen. Itu luar biasa sekali. Sayangnya saat itu tidak tercapai kesepakatan kalau arus masuk dolar ini harus agak ditahan karena kita juga menerbitkan surat utang yang memerlukan demand (permintaan).

Nah, dalam periode yang sama terjadi pula siklus naik, siklus meningkat dari harga komoditi hasil sumber daya alam (SDA). Bersamaan juga dengan bangkitnya ekonomi Tiongkok dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan terhadap hasil-hasil SDA semakin meningkat. Dan boleh dikatakan itu suatu super siklus dalam konteks harga dan permintaan dari hasil-hasil SDA.

 

Kondisi Sektor Manufaktur

 Industri manufaktur tidak didorong

Sebetulnya kalau kita boleh mengulang sejarah, periode itu semestinya dimanfaatkan untuk mendorong lahirnya industri manufaktur. Nah, kenapa itu tidak terjadi?

Karena pertumbuhan ekonomi kita lumayan tinggi pada waktu itu, sudah di atas 6 persen. Dan harga komoditi yang terus meroket membuat neraca pembayaran, transaksi berjalan surplus. Jadi ideal sekali memang terlihat bahwa pertumbuhan yang relatif tinggi dibarengi dengan transaksi berjalan yang surplus. Sehingga ya apalagi kurangnya? Kira-kira begitu.

Jadi tidak cukup lagi motivasi untuk mendorong lahirnya sektor industri manufaktur. Bukan berarti tidak lahir, tapi tidak berkembang. Ada, tetapi sektor yang memanfaatkan permintaan dalam negeri. Jadi kalau dilihat investasi di sektor industri pada waktu itu--apakah investasi dari luar ataukah dari dalam negeri--diarahkan ke pasar dalam negeri.

Walaupun begitu, transaksi berjalan tetap positif. Tentu hal ini tidak bisa berlangsung terus menerus begitu. Siklus itu akhirnya mulai terganggu dan terus menurun dimulai dengan pindahnya krisis ke Eropa. Kita melihat bahwa Uni Eropa sempat terancam pecah karena ada persoalan internal. Tapi kemudian memang tekanan krisis pindah ke sana.

Saya ingat siklus naik itu mulai berbalik menjadi siklus turun, di sektor komoditi SDA, sejak krisis Yunani terjadi. Itu terjadi pada kuartal IV 2011. Sejak itu, sampai sekarang yang kita hadapi adalah siklus turun dari sektor SDA.

Apa langkah pemerintah?

Nah, kira-kira dengan latar belakang seperti itu. Pada waktu pemerintahan baru naik, apa yang dihadapi sebetulnya adalah kita tidak memiliki sektor industri yang cukup untuk digerakkan, sementara sektor penghasil  SDA merosot seiring dengan penurunan harga yang berlaku sampai hari ini dan bahkan sampai tahun depan.

Dengan kondisi ekonomi yang seperti ini, apa yang dilakukan pemerintah?

Semua menyadari perlambatan ekonomi kemudian terjadi di dalam negeri dan perlambatan itu sudah mulai terlihat sejak 2012.

Secara global, yang pertama-tama sebetulnya mungkin begini penjelasannya. Untuk menjawab situasi demikian, di ranking pertama yang harus dilakukan adalah mendorong ekspor. Sayangnya, tidak ada yang bisa didorong karena hasil sumber daya alam yang diandalkan sedang merosot.

Industrinya tidak cukup kuat, tidak cukup basis untuk itu. Ya, sehingga pilihan sudah tinggal dua lagi urutannya. Pertama, investasi terutama mengundang investor dari luar. Kedua, pengeluaran pemerintah.

Diakui atau tidak, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita kemudian didesain sangat optimis karena semangat untuk mendorong kegiatan ekonomi itu kembali melalui belanja barang pemerintah.

Sedangkan dalam hal investasi, disadari bahwa dunia memang sedang tidak begitu berminat untuk melakukan investasi.

Satu-satunya cara adalah mencoba menawarkan infrastruktur yang kemudian ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan atau bahkan negara-negara lain. Jadi bukan mekanisme pasar yang normal yang ditempuh.

Menawarkan pembangkit listrik 35.000 MW, misalnya. Kita mengundang investor dari China, dari Jepang dan dari Timur Tengah. Juga menawarkan pembangunan pelabuhan dan kereta api. Ingatkan tentang rencana pembangunan kereta api cepat, termasuk kereta api ringan?

Intinya adalah mengundang dana masuk. Itu bisa terjadi, tapi tidak bisa cepat. Investasi ratusan juta dolar AS untuk satu investasi, pasti memerlukan waktu bahkan meminta berbagai kemudahan. Baru investornya tertarik.

Jika kita ingat, harapan terhadap peranan pengeluaran pemerintah itu cukup tinggi. Bukan hanya terlihat dari target APBN yang cukup ambisius, tetapi pada waktu kuartal II 2015, ada suatu harapan bahwa dana akan keluar pada akhir kuartal III 2015.

Ya, jangan anggap langsung keluar pada kuartal II juga. Saya rasanya sudah mulai bergabung di pemerintahan pada waktu itu, pada Agustus-September 2015.

 

Reformasi struktural dan deregulasi

 Kenapa repot?

Harapan pertumbuhan akan didorong naik oleh pengeluaran, terlalu optimistis. Keluar angka pertumbuhan 4,7 persen, tepatnya 4,67 persen. Nah, pada waktu itu sebenarnya disadari betul kalau kita sangat memerlukan investasi masuk. Kita harus menarik investasi masuk.

Caranya bagaimana? Reformasi struktural, deregulasi. Kita praktis tidak punya hal lain lagi selain mencoba mengundang investor dengan memberikan sweetener (pemanis). Ekonomi perlu tumbuh untuk menyerap tenaga kerja.

Ada analis yang mengatakan, “Kenapa kok repot-repot? Enggak apa-apa kan pertumbuhan 4-5 persen? Oke, memang situasi sedang begini.”

Ya memang tidak apa-apa. Tapi untuk menyerap 2,5 juta tambahan angkatan kerja setiap tahun, belajar dari pengalaman, kita perlu pertumbuhan di atas 6 persen.

Nah, itu dia. Kecuali kita terima pengangguran akan makin banyak. Atau ekonomi kita sebenarnya cukup lentur. Jadi jangan dianggap ekonomi kita itu begitu kaku sehingga hanya bisa menyerap tambahan angkatan kerja kalau pertumbuhannya 6,5 persen atau bahkan 7 persen.

Kalaupun pertumbuhan 5 persen, dia serap juga, tapi menyerapnya melalui sektor informal. Jadi, orang tetap berkerja. Kalau enggak kerja, ya enggak makan dia. Jadi bagaimana caranya? Ya apa sajalah di sektor informal, terima saja.

Ada satu gejala yang relatif positif, yaitu di sektor pertanian. Jumlah rumah tangga pertanian, Rumah Tangga Petani istilahnya, selama periode 2003- 2013 jumlahnya turun.

Secara absolut turun jumlahnya, karena beberapa hal. Pertama, kita punya saluran tenaga kerja dalam bentuk TKI. Kedua, di pihak lain, memang proses perpindahan penduduk dari sektor pertanian ke sektor modern itu sudah berlangsung lama walaupun pelan. Sebetulnya, indikasinya tidak susah.

Perhatikan saja, apalagi ibu-ibu ini pasti tahu, mencari pembantu rumah tangga belakangan ini makin susah. Apalagi dari Jawa. Iya kan? Dapatnya dari Lampung. Di rumah saya, malah ada pembantu sekarang dari mana? Dari Nusa Tenggara Timur (NTT).

Itu adalah petunjuk memang jumlah orang di sektor pertanian mulai turun. Itu berita bagusnya. Jadi walaupun secara total jumlah angkatan kerja yang masuk mencari kerja kira-kira 2,5 juta per tahun, akan tetapi pertambahannya itu tidak melulu dari sektor pertanian. Mereka datang ke perkotaan, hal ini terlihat dari data jumlah Rumah Tangga Petani yang terus menurun.

Kalau Anda lihat data sensus pertanian 2003-2013 akan terlihat dengan jelas betapa mereka-mereka yang mengolah tanah dengan luas di bawah 1.000 meter itu mulai pindah. Itu gejala baik atau gejala buruk? Ada yang mengira,

“Wah itu bahaya, kalau turun bagaimana?”

Memang harus turun! Negara yang berkembang, jumlah orang di sektor tradisional, sektor pertanian, itu arahnya turun.

Kalau enggak, ekonomi negara itu tidak bergerak sama sekali, dan itu akan membuat ruang lebih longgar di sana. Orang bekerja sedikit berkurang dengan jumlah luas tanah yang sama.

Jangan pesimis

Nah, kira-kira latar belakang dari semua ini adalah gabungan dari cerita saya di atas. Ada satu lagi yang mau saya tambahkan. Mudah-mudahan Anda jangan jadi pesimis kalau saya cerita begini.

Maksudnya bukan itu sebenarnya, tapi mencoba membacanya seobyektif mungkin. Satu lagi yang kita saksikan sejak 2012 sampai sekarang adalah ekonomi kita, walaupun terjadi perlambatan pertumbuhan, tapi turunnya tidak drastis.

Jadi sebetulnya ekonomi kita dilihat dari segi pertumbuhannya tidak terlalu volatile, tidak terlalu naik turun, relatif stabil. Turun tetapi tidak drastis. Namun di pihak lain, kalau Anda lihat kurs, kalau Anda lihat nilai tukar itu volatile sekali.

Dilihat dari tahun 2012 sampai sekarang, sebentar-sebentar ada kecemasan. Iya kan? “Kecemasan” bahasa Indonesia, bukan bahasa Malaysia. Kalau bahasa Malaysia, “Kecemasan” lain artinya. Ruang Kecemasan, dia bilang, artinya adalah Ruang Gawat Darurat.

Investasi seharusnya dibiayai oleh tabungan. Tapi karena tabungan dalam negeri kita rendah, kita harus meminjam dari luar negeri. Di masa Orde Baru, Debt Service Ratio (DSR) Indonesia dijaga tidak lebih dari 20 persen. Saat ini, DSR kita lebih dari 50 persen.

Kenapa kita begitu volatile di keuangan khususnya nilai tukar dan tingkat bunga? Karena di sana, sebetulnya kita sangat kurang. Secara globalnya kira-kira begini. Semua orang tahu, investasi itu harus dibiayai dengan tabungan, dibiayai dengan tabungan.

Masalahnya, kemampuan kita membentuk tabungan agak jauh di bawah kebutuhan investasi kita. Kalau itu terjadi, maka pilihannya hanya tinggal dua.

Kita rela menerima pertumbuhan yang rendah supaya bisa dibiayai oleh investasi yang berdasarkan tabungan kita. Masalahnya adalah, kita perlu pertumbuhan yang agak tinggi, 6 persen lebih itu.

Terus bagaimana? Kita harus pinjam. Kita harus mengundang dana dari luar kalau pinjam sudah tidak cukup. Dan memang tidak cukup. Pinjaman bukan hanya oleh pemerintah ya.

Utang Indonesia

Pinjaman melonjak

Kalau kita perhatikan, pertumbuhan pinjaman yang paling cepat justru oleh swasta ke luar negeri. Sehingga sejak dua tahun yang lalu, pinjaman swasta sudah melebihi pinjaman pemerintah.

Dan yang namanya Debt Service Ratio (DSR)--rasio antara pembayaran bunga dan pokok utang yang jatuh tempo dibagi dengan ekspor-- sudah meningkat dengan cepat.

Dulu di zaman orde baru, kita memelihara DSR jangan lebih dari 20 persen. Dia kemudian mencapai 30 persen pada waktu kita krisis 1998. Sekarang angkanya sudah tinggi sekali. Sudah berada pada angka 50 persen lebih.

Swasta pinjam. Pemerintah pinjam. Enggak cukup juga. Undang investasi asing, enggak cukup juga. Kita harus mengundang dana segar dari luar, yang main di pasar modal dan main di surat utang.

Sehingga, komposisi kepemilikan surat utang kita, 38 persen merupakan dana asing, padahal ini surat utang dalam negeri. Di pasar modal kita ada dana asing mungkin 60 persen. Di negara lain berapa? Di Thailand itu kira-kira 12-14 persen.

Maka, tidak heran kalau ada dana asing pergi sedikit, langsung kursnya goyang. Paket deregulasi dimaksudkan untuk menangkal perlambatan ekonomi yang masih terus terjadi. Investasi dipermudah dan kepastian usaha semakin jelas. Ekspor didukung dan ekonomi rakyat digerakkan.

Kembali ke persoalan apa yang kemudian kita lakukan menghadapi volatilitas dan perlambatan di bidang keuangan, kurs dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Penjelasan tadi menunjukkan, diperlukan sesuatu yang agak cepat menunjukkan hasil.

Ya secepat-cepatnya yang dilakukan adalah paket-paket deregulasi. Jadi, kalau kita perhatikan paket-paket deregulasi, yang pokok pertama dan banyak dilakukan adalah menyangkut investasi, ekspor dan termasuk di dalamnya persoalan seperti infrastruktur.

Jadi kita mengeluarkan peraturan pemerintah untuk proyek-proyek strategis. Dalam paket deregulasi, kita mengeluarkan perubahan peraturan perundangan untuk harga gas, investasi, kawasan industri, kemudahan dalam peraturan untuk kawasan ekonomi khusus.

Yang namanya kawasan itu ada beberapa, ada inland free trade, ada lagi nanti pusat logistik berikat. Itu semua kawasan. Kenapa itu semua agak fokus pada kawasan, karena biasanya yang makan waktu lama adalah izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Kalau sudah ada AMDAL kawasan, tidak perlu lagi izin satu per satu. Rencana Detil Tata Ruang (RDTR)-nya pun sudah sangat rinci, termasuk RDTR-nya sudah ada di kawasan, berbeda dengan investasi di luar kawasan.

Untuk infrastruktur juga begitu. Kita bahkan sudah mulai mengumumkan adanya Perpres untuk pembangunan kilang. Anda tahu? Kita membangun kilang terakhir 25 tahun yang lalu. Ada banyak orang yang senang tidak ada kilang di sini, sehingga perlu waktu lama agar kita bisa membangun kilang lagi.

Harga komoditas tahun ini relatif masih rendah. Penerimaan pajak juga tidak bisa didongkrak karena kita mengandalkan penerimaan pajak perusahaan, bukan perorangan. Di saat ekonomi melambat, keuntungan perusahaan pun turun dan penerimaan pajak kita terganggu.

Kalau kita lihat bulan-bulan terakhir tahun 2015, sebetulnya ada indikasi bahwa ekonomi mulai menggeliat. Perhatikan misalnya pertumbuhan yang sedikit membaik, neraca perdagangan yang  memang ironisnya agak defisit. Tetapi itu menunjukkan impornya mulai bergerak. Itu adalah indikasi ekonomi mulai menggeliat.

Jadi sebenarnya di 2016 kebanyakan ahli dan peneliti memperkirakan belum ada peningkatan harga-harga komoditas. Situasi itu masih tetap akan kita hadapi. Yang kedua, pengalaman kita menunjukkan kalau ekonomi melambat penerimaan pemerintahnya melambatnya lebih cepat. Jadi dia tidak simetris, kalau ekonomi naik, naik juga penerimaan.

Kenapa begitu? Karena yang mendominasi penerimaan pajak kita berasal dari perusahaan. Kalau perusahaan, begitu ekonomi melambat profitnya langsung turun drastis dan berarti penerimaan negara juga melambat.

Berbeda kalau penerimaan didominasi oleh pajak perorangan, seperti di negara yang lebih maju. Negara yang lebih maju ditandai dengan besarnya penerimaan dari personal income atau gaji perorangan. Yang namanya gaji, biar ekonomi melambat, jaranglah gaji turun. Kalau gaji diturunkan, ngamuk orangnya. Biasanya yang terjadi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK), bukan gajinya yang turun.

Akibatnya apa, kalau suatu negara penerimaannya sudah didominasi oleh pajak perorangan maka dia lebih simetris naik dan turunnya. Nah bagaimana ke depan?

Ke depan yang kita lakukan adalah meneruskan apa yang relatif berhasil pada tahun 2015. Di satu pihak kita mendorong lebih jauh pelaksanaan dari investasi infrastruktur. Supaya berhasil, ya memang perlu perbaikan peraturan, deregulasi dan sebagainya. Seperti apa misalnya?

Kita sudah mengeluarkan formula untuk upah minimum sehingga bisa diprediksi, walaupun belum 100 persen comply setiap provinsi, tetapi sekarang kita punya formula sehingga bisa diprediksi tahun 2016 akhir berapa kenaikan gaji buruh. Tinggal dikalkulasi berapa pertumbuhan ekonomi dan berapa inflasi.

Apa kelebihannya kalau bisa diperkirakan dan dihitung? Investor jauh lebih mudah mengambil keputusan, akan beda dengan kalau investor menduga-duga, tahun depan bagaimana ya?

Nah kalau kita bisa melakukan hal yang sama, misalnya untuk tarif listrik, kapan dan berapa kenaikan tarifnya, tentu akan makin memberikan kejelasan dan kepastian kepada investor.

Salah satu area yang belum kita sentuh untuk deregulasi adalah perizinan di daerah. Mau tidak mau, kita harus masuk ke area itu, mungkin sedikit lebih ramai, karena pemerintah otonom yang dihadapi. Kita perlu mendorong kegiatan `Menabung Nasional`. Juga program-program Keuangan Inklusif dan sistem logistik nasional.

Tahun depan terus terang pajak belum bisa diharapkan melakukan perbaikan yang berarti. Kalau realisasi tahun 2015 dipakai sebagai tahun dasar basis untuk penerimaan tahun 2016 yang ada di APBN sekarang, pertumbuhan penerimaannya meledak lagi, naik sangat tinggi.

Oleh karena itu walaupun ada rencana menjalankan tax amnesty, kelihatannya APBN 2016 harus agak cepat diamandemen. Jangan sampai seperti tahun 2015, selalu dibilang nanti bisa segini, tahu-tahu hasilnya lain. Kepastian dan kejelasan harus ada.

Kalau bisa dibuat APBNP lebih cepat, itu akan menolong dan risiko menjadi lebih kecil. Bagaimanapun, APBN tetap menjadi salah satu sumber untuk mendorong pertumbuhan, di samping investasi.

Aktivitas Ekspor

Mendorong ekspor

Sekarang bagaimana dengan ekspor? Ekspor hasil manufaktur yang pertumbuhannya tinggi itu bisa dihitung dengan jari. Yang pertama alas kaki sepatu, yang kedua adalah perhiasan, yang ketiga adalah alat angkutan. Itu menunjukkan betapa industri manufaktur kita tidak cukup solid, dan memang itu agak ketinggalan selama 10-15 tahun terakhir.

Nah, kalau situasinya begitu, apa yang bisa dilakukan. Pemerintah sebetulnya melihat situasi ini. Promosi ekspor harus dikembangkan. Promosi dalam bentuk lembaga yang sifatnya nasional, untuk mendorong ekspor hasil kayu, mebel, mungkin tekstil yang sampai sekarang belum bisa berkembang dengan baik.

Ini adalah salah satu langkah yang akan dikembangkan pada 2016. Pada tahun 2015 di kuartal terakhir, pertumbuhan ekonomi kita juga tidak akan terlalu bagus.

Tentu kita berharap kuartal empat pertumbuhannya bisa lebih sedikit, tapi kalaupun lebih, tidak akan bisa mencapai 5 persen, mungkin di angka 4,8-4,9 pesen, sehingga sepanjang tahun 2015 pertumbuhannya mungkin hanya di 4,7 persen lebih sedikit.

APBN 2015 menggariskan pertumbuhan 5,3 persen, bisakah itu dicapai? Itu hanya bisa kalau investasinya berjalan lebih baik di 2016; infrastruktur, industri dan ekspornya juga bisa jalan. Kalau itu bisa terjadi, maka 5,3 persen bisa dicapai.

Untuk ke depan saya juga ingin menyampaikan bahwa sebetulnya ekonomi kita memang belum membaik benar, neraca perdagangannya, tapi perdagangannya mulai defisit lagi. Kenapa?

Karena kita tidak cukup menghasilkan bahan baku dan barang modal. Kalau bicara bahan baku dan barang modal, yang paling besar di dalam impor kita sebetulnya ada di tiga kelompok besar. Yang pertama kelompok petrokimia. Yang kedua kelompok besi dan baja. Dan yang ketiga kelompok kimia dan farmasi.

Oleh karena itu orang bijak ya kan bayar pajak katanya. Orang bijak mestinya tahu kalau itu penting, harus dikembangkan. Oleh sebab itu, pemerintah memang mencoba mendorong betul perkembangan tiga kelompok industri yang besar ini.

Nah, ada hal yang sebetulnya menarik bagi kita, yaitu pengeluaran kita untuk BPJS khususnya jaminan kesehatan itu cukup besar setiap tahun. Padahal kebutuhan kita akan farmasi, hasil farmasi dan alat kesehatan, obat dan alat kesehatan, itu 90 persen masih diimpor.

Sebetulnya orang bijak mestinya tahu kalau pengeluarannya akan banyak di situ, ya dia dorong supaya industrinya berkembang supaya jangan impor terus.

Di tahun baru ini, kita akan menyusun berbagai langkah termasuk deregulasi, tapi bisa juga regulasi, agar pemakaian obat di pelayanan-pelayan kesehatan yang dibiayai negara itu akan dibuat standarnya. Sehingga lebih memakai hasil dalam negeri, selain mendorong investasi dalam bidang ini, termasuk dalam bahan-bahan obat.

Bahkan sebenarnya walaupun belum ketemu benar bentuknya, pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW akan sayang sekali kalau berlalu begitu saja. Kita hanya mengimpor pembangkit listrik begitu saja.

Mestinya kalaupun yang ada sekarang yang akan dibangun diimpor, tapi perlu ada aliansi strategis antara swasta atau BUMN kita dengan investor yang masuk untuk mengembangkan atau apakah industri besi dan baja, atau yang namanya spare part untuk pembangkit listrik dan sebagainya. Sebetulnya kita tidak perlu lari terlalu jauh, sudah ada di dalam area ini.

Transformasi Struktural

Transformasi struktural

Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, kita semua tahu ekonomi kita menghasilkan ketimpangan yang lebih buruk dari negara lain.

China juga buruk sebenarnya, tapi dibanding dengan negara yang seimbang dengan kita, ketimpangan di dalam perekonomian kita ya memang ukuran yang ada gini ratio (ketimpangan pendapatan di suatu negara atau daerah).

Gini ratio kita memang relatif timpang, padahal 20-30 tahun yang lalu, Indonesia membanggakan diri sebagai negara yang pertumbuhan tinggi, gini ratio rendah. Nah perlu dilakukan hal besar untuk menjawab ini.

Oleh karena itu yang sedang kita persiapkan dengan Kementerian Agraria, OJK, Menkominfo, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian adalah membuat satu desain besar untuk mendorong financial inclusion.

Nanti akan dikaitkan dengan sertifikasi tanah rakyat secara besar-besaran. Ada 40-60 persen tanah rakyat kita yang belum disertifikasi. Di pihak lain, kita punya kredit usaha rakyat (KUR) yang akan mencapai Rp 100 triliun lebih dengan bunga 9 persen.

Kita juga punya dana desa Rp 40 triliun lebih tahun depan, dikombinasi dengan agent bank, kalau di OJK namanya Laku Pandai. Itu sebenarnya terjemahan dari agent bank.

Maksudnya, ya supaya jangan setiap bank harus bikin kantor sampai di desa-desa, tapi pakailah warung, pakailah toko yang menjual voucher, yang menjual dengan standar dan perjanjian tertentu, dia bisa bertindak sebagai agen dari bank.

Di pihak lain kemudian ada e-commerce, e-money dan macam-macam. Saya belum ingin menjelaskan semua. Ini mestinya sekaligus meningkatkan jumlah dana yang ada di perbankan, sehingga pertumbuhan kredit kalau meningkat 30 persen  lagi --bukan tahun depan tentu saja--itu bisa diimbangi dengan pertumbuhan dana masyarakat.

Karena sekarang ini hampir semua petani kita soal jual beli hasil dan semua kebutuhannya secara tunai, tidak pernah menggunakan bank, sehingga dananya tidak pernah mampir di bank. Sekaligus juga kita harus mendorong sistem logitik nasionalnya.

Ini adalah blok dari sebagian financial inclusion, tapi sifatnya korporat. Unilever punya sistem logistik secara nasional, Indomart punya, Alfamart punya. Tapi sistem logistik dari pedesaan ke kota belum lahir.

Sistem logistik nasional ini penting supaya jangan 50-60 pesen dari harga produk pertanian atau kerajinan, habis diambil oleh logistiknya, oleh jaringannya. Sementara petaninya, hanya dapat 40-50 persen.

Nah semua ini adalah blok besar untuk mendorong transformasi struktural sekaligus juga akan memperbaiki tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Saya tutup sampai sekian.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya