Liputan6.com, Jakarta - Perwakilan Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Damayamti mengkritisi aturan penyandang disabilitas mental wajib membawa surat dokter untuk bisa menggunakan hak pilihnya di Pemilu. Menurut dia, hal itu merupakan diskriminasi dan menyalahi aturan perundangan.
"Bahwa itu bentuk diskriminasi, tidak ada persyaratan itu dalam undang-undang manapun, baik UU Pemilu, UU Disabilitas, konfensi internasional yang menyatakan itu," kata Yeni dalam diskusi Jaminan Hak Pemilih Pendang Disabilitas, di Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Sabtu (24/11/2018).
Baca Juga
Yeni menjelaskan, penyandang disabilitas mental bersifat periodik. Artinya, jika sedang terjadi gangguan secara otomatis yang bersangkutan dipastikan tidak akan memberi hak suara ke TPS.
Advertisement
Kendati sebaliknya, bila gangguan tidak terjadi maka penyandang disabilitas mental dapat secara baik untuk memberikan hak politiknya, memilih pasangan yang dikehendakinya secara sadar.
"Penyandang disabiltas mental itu kan sifatnya periodik dan episodik, jadi dalam kondisi relapse posisi mereka sama dengan kondisi demikian (sedang mengalami gangguan) jadi mereka secara otomatis tidak mau datang ke TPS karena kondisinya yang memang lagi memungkinkan, jadi tidak usah ada surat dokter itu," kritik dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pernyataan KPU
Kritik ini bermula dari pernyataan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi. Dia mengatakan, penyandang disabilitas mental wajib membawa surat rekomendasi dari dokter untuk bisa menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Dalam surat itu menyatakan, bahwa penyandang disabilitas mental sedang dalam kondisi sehat, dan menjadi syarat mereka dapat menyumbangkan suaranya di Pemilu 2019.
"Kalau dia sehat dan bisa mendapatkan rekomendasi dari dokter kejiwaan, nah itu boleh memilih. Tapi kalau misalnya enggak mendapatkan rekomendasi tetap enggak bisa memilih," kata Pramono di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin 19 November 2018.
Advertisement