Kelompok Penyandang Disabilitas Mental Minta KPU Harus Mendata Semuanya

Yeni menilai, KPU dinilai dari awal tidak ingin memasukkan para pengidap disabilitas mental dalam DPT.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 24 Nov 2018, 20:43 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2018, 20:43 WIB
Ilustrasi Pemilu 2019
Badut berbentuk kotak suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), ondel-ondel, dan marching band ikut meramaikan pawai Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Minggu (23/9). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Perwakilan Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Damayanti menilai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mendata semua pemilih pengidap disabilitas mental. Dari data Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan versi pembaharuan, diklaim belum menjangkau semua pemilih pengidap disabilitas mental.

"Ada yang belum terdaftar," kata Yeni Damayanti dalam diskusi Jaminan Hak Pemilih Penyandang Disabilitas, di Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Sabtu (24/11/2018).

Yeni menilai, KPU dinilai dari awal tidak ingin memasukkan para pengidap disabilitas mental dalam DPT. Karenanya, para kelompok pegiat disabilitas mental bersuara ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk mendapatkan hak mereka sebagau warga negara.

"Mereka kami 'paksa', jadi saat mereka tidak terdaftar kami lapor ke Bawaslu lalu Bawaslu bikin workshop khusus terkait ini, dan KPU keluarkan surat edaran untuk KPU di daerah untuk mendata mereka itu dimulai 2 bulan lalu," jelas dia.

Menurut data dipegang Yeni, riset kesehatan dasar jumlah orang gangguan jiwa atau pengidap disabilitas mental terbagi dua. Pertama gangguan psikotik, dan emosional.

Jumlah gangguan jiwa emosional ada sekira 14 juta orang dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia, sedangkan psikotik 400 ribu jiwa.

"Jadi data dulu mereka semuanya, kalau hari H mereka tidak hadir karena sedang gangguan (jiwanya) yang penting hak pilih tidak hilang di awal karena sudah ada di DPT," kata Yeni.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Harus Didata

Komisioner Bawaslu Affifuddin mengingatkan agar penyandang disabilitas harus didata agar bisa memilih pada Pemilu 2019. Terlebih, jika mereka sudah mempunyai KTP.

"Intinya begini ini soal pendataannya, tidak boleh mereka itu tidak didata, sepanjang mereka WNI sudah 17 tahun lebih maka mereka didata dulu. Kalau ada keputusan dokter yang mereka dianggap disabilitas berat, itu dia hilang tidak bisa menggunakan hak pilih," kata Afif, Jakarta, Rabu 21 November 2018.

Menurut dia, tidak akan ada masalah jika penyandang disabilitas ikut Pemilu 2019. Karena, mereka pasti akan dibimbing oleh pendamping pada saat pencoblosan berlangsung nanti.

"Tapi kalau mereka bisa didampingi, temen-temen grahita kan bisa didampingi, itu juga faktanya dulu ada pihak-pihak yang mendampingi segala macam. Jadi jangan sampai orang di-excludeduluan sebelum dimasukkan data, tapi orang ini dimasukkan dulu baru dikeluarkan. Jadi bukan ditafsirkan berat dulu," ujar Afif.

Dia pun menjelaskan, KPU harus mendata terlebih dahulu terhadap seluruh penyandang disabilitas atau difabel. Karena tidak semua para disabilitas tak diperbolehkan untuk memilih, tapi jika hanya disabilitas saja bisa untuk ikut memilih.

"Undang-undang dan putusan MK 135 itu, ini dianggap berpotensi menghilangkan hak konstitusional warga. Jadi yang sekarang jadi domain KPU mendata mereka. Berat atau tidak bukan domain KPU. Itu nanti saat pemilihan tidak bisa menggunakan hak pilih karena dianggap berat. Tapi mereka yang ringan-ringan boleh," jelasnya.

"Tapi kalau yang ringan di data saja tidak ada, ini repot. Kejadian kemarin di pilkada, dicek ke KPU Jabar atau Kota Bekasi, ada 400 pemilih di panti dimasukkan ke saya, saya lapor KPU RI KPU provinsi, intinya kemudian sikap KPUnya diberi keterangan 400 orang ini berat," sambung Afif.

Afif pun mengungkapkan, dalam hal ini juga sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi yang harus bisa menyelamatkan hak pilih masyarakat pada pemilu nanti.

"Ini kan penghilangan sistematis, jangan sampai, asumsi kami juga tidak semuanya berat. Ini juga menyesuaikan dengan keputusan MK yang orientasi utamanya menyelamatkan hak pilih dan menghilangkan potensi orang hilang hak pilih karena pendataan," ujar Afif.

Untuk bisa mengetahui mana yang boleh dan tidak boleh adalah dokter spesialis disabilitas atau ahli dalam kejiwaan. "Itu nanti dokter spesialis, untuk mengukur berat tidaknya itu tentu di pihak dokter yang dinilai mampu dan punya keahlian kejiwaan," ucapnya.

"Kami juga diskusi panjang lebar dengan aktivis kesehatan mental. Jadi orientasinya adalah menyelamatkan potensi kehilangan hak pilih karena teknis pendataan," tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya