Liputan6.com, Jakarta - Perlambatan ekonomi Indonesia yang terjadi setahun terakhir tak terlepas dari perlambatan ekonomi dunia. China membawa pengaruh besar, khususnya pada harga komoditas dunia yang merupakan bahan baku industri di China.
Harga komoditas yang menurun tajam di 2014 memukul penerimaan negara yang berakibat turunnya PDB nasional. Penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sempat menyentuh angka R p14.700 pun makin membuat masyarakat harus mengencangkan ikat pinggang.
Sebelumnya, dua peristiwa penting pernah melanda Indonesia, yakni krisis moneter 1997 dan krisis finansial global di 2008 lalu.
Lantas bagaimana kinerja properti Tanah Air di tiga peristiwa ekonomi penting tersebut? Berikut ulasannya, seperti dinukil dari laman Rumah.com.
Krisis Moneter 1997
Senior Vice President of Research and Consultancy Coldwell Banker Commercial, Tommy Bastami menuturkan, krisis 1997 merupakan krisis terbesar yang pernah melanda Indonesia yang menyebabkan PDB terjun menjadi minus 13 persen, tingkat suku bunga yang tinggi, serta nilai tukar rupiah menukik. Pengaruhnya pun sangat besar bagi sektor properti.
Di sektor apartemen, 1997 merupakan puncak permintaan apartemen strata title dengan permintaan 8.700 unit per tahun. Namun saat krisis terjadi, permintaan drop menjadi 1.500 unit saja.
Di sisi suplai, pembangunan apartemen mangkrak di sana-sini akibat biaya yang membengkak dan tertutupnya pintu investasi. Kondisi ini terus berlanjur hingga 2001.
Di sektor ritel, pada 1997 pasokan di Jabodetabek mencapai 1,1 juta meter persegi. Akibat kerusuhan massa, pasokan terjun ritel menjadi 60 ribu meter persegi sementara tingkat hunian hanya 78 persen. Namun, sektor ini kembali pulih pada 1999 dengan mencatatkan permintaan sebesar 139 ribu meter persegi.
“Sektor ritel paling sensitif terhadap perubahan ekonomi dan sosial, namun paling cepat pulih dibanding sektor properti lain,” kata Tommy.
Sektor perkantoran Jakarta pun tengah mengalami pertumbuhan tinggi di 1997 dengan permintaan 340.000 m2. Krisis 1997 membuat demand turun drastis dan membuat okupansi mencapai 735.000 m2. Pembayaran yang selalu menggunakan Dolar juga harus dikaji ulang lantaran Rupiah semakin melemah.
Krisis Finansial Global 2008
Krisis Finansial Global 2008
Kendati tak separah krisis moneter 1997, krisis finansial global 2008 juga berdampak bagi sektor properti Tanah Air. Permintaan apartemen di 2007 mencapai 13.400 unit dengan suplai 13.800 unit.
Saat krisis terjadi, permintaan apartemen mencapai minus 39 persen yang berlanjut hingga 2010. Belajar dari krisis moneter, pengembang terlihat berhati-hati mengembangkan apartemen, sehingga menunda peluncuran proyek hingga kondisi membaik.
Sektor ritel pun terpengaruh, meski dengan cepat mengalami perbaikan. Di 2007 permintaan ruang ritel di Jabodetabek 310 ribu meter persegi. Saat krisis, terjadi penurunan 41 persen, tetapi segera membaik di 2009 dengan kenaikan 11 persen.
Di sektor perkantoran Jakarta, permintaan mencapai puncaknya di 2008 dengan angka 280 ribu meter persegi. Kendati sempat melemah akibat krisis, kinerja perkantoran Jakarta kembali membaik di 2009.
“Krisis 2008 berpengaruh pada ekonomi global namun tak membuat properti dalam negeri terpuruk. PDB yang turun, suku bunga yang cukup tinggi, nilai tukar rupiah yang sempat berada di angka Rp 11.000 memang sempat memengaruhi kinerja properti, namun tidak berlangsung lama. Harga komoditas ekspor Indonesia yang berada di puncak, membuat PDB cepat pulih,” papar Tommy.
Advertisement
Perlambatan Ekonomi Nasional
Perlambatan Ekonomi Nasional
Pelemahan ekonomi yang terasa mulai 2014 membuat permintaan apartemen sedikit terkoreksi, apalagi dengan adanya kebijakan Bank Indonesia terkait LTV (loan to value). Konsumen apartemen pun meresponnya dengan melakukan sikap hati-hati.
Tidak hanya lokasi dan konsep, faktor reputasi developer juga menjadi pertimbangan sebelum membeli. Permintaan di 2015 lebih stabil dibanding 2014, terutama di proyek-proyek besutan developer dengan reputasi baik.
Sektor ritel Jakarta tak banyak mengalami pergerakan lantaran kebijakan moratorium yang digagas Pemprov DKI Jakarta. Pasokan terbesar disumbang Tangerang sebesar 750 ribu meter persegi, sementara Bekasi, Depok, dan Bogor memasok 191 ribu meter persegi. Meski terjadi penurunan di sektor fashion dan gadget, namun permintaan ruang ritel tahun ini masih tumbuh 91 ribu meter persegi.
Di sisi lain, sektor perkantoran mulai erasakan dampaknya. Permintaan kumulatif di kuartal III 2015 turun 1,3 persen dibanding kuartal sebelumnya. Permintaan umumnya datang dari relokasi perusahaan—yang ingin menghemat biaya—ke gedung dengan biaya sewa lebih murah. Perlambatan ekonomi juga membuat penyelesaian proyek tersendat, terutama gedung dengan pre-commitment rendah.
Perlambatan ekonomi yang terasa mulai 2014 belum secara signifikan berpengaruh pada sektor properti, jelas Tommy, meski harga dan tingkat permintaan tidak mengalami kenaikan berarti. Indikator ekonomi tahun ini jauh lebih baik dibanding 1997 namun sedikit lebih buruk dibanding 2008.
“Harga komoditas yang rendah, kondisi ekonomi dunia yang menurun, serta regulasi baru pemerintah akan menekan pertumbuhan properti dan membuat perlambatannya lebih lama dibanding 2008,” pungkas Tommy.