Liputan6.com, Semarang - Hans Ruedi Wieler, seorang wisatawan asal Swiss, terpana melihat selembar kain yang dipajang di pojok Gallery Batik Semarang 16, di Semarang, beberapa waktu lalu.
Dia bercakap bersama Imelda, temannya, tentang proses pembuatan kain yang terpampang di depannya.
"That's amazing. I think the painter has a supra natural imagination (Ini luar biasa, pelukisnya memiliki imajinasi supranatural)," kata dia sambil membolak-balik kain itu.
"The creator explain this imagination of this motif from a local mythe (Kreatornya menjelaskan imajinasi motif ini dari mitos lokal) ," kata Imelda.
Percakapan dua wisatawan asing itu mewakili puluhan wisatawan yang berkunjung ke Sanggar Batik Semarang 16. Batik yang berdiri tahun 2005 ini memang dikenal memiliki terobosan dalam pembuatan motif. Nyaris tiap pekan ada motif baru yang diluncurkan.
Menurut Sophie, manajer operasional Sanggar Batik Semarang 16, motif-motif yang dikembangkan sanggar itu sudah didaftarkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Sebagian lagi masih proses.
"Untuk menjaga agar kami tak dituding menjiplak. Meski seringkali kami mendapati motif-motif kami yang ditiru," kata Sophie kepada Liputan6.com, Senin (15/2/2016).
Advertisement
Baca Juga
Baca Juga
Sophie bercerita tentang motif Wewe Gombel yang mengundang kekaguman para wisatawan asing. Motif itu sebenarnya motif lama, yakni motif yang diriset berdasarkan folklore dan legenda kampung-kampung di Semarang.
"Motif itu dicipta sekitar tahun 2007. Kami melakukan riset terhadap cerita rakyat yang masih dipercaya. Termasuk legenda-legenda berdirinya kampung-kampung purba di Semarang," kata Sophie.
Riset tentang wewe gombel itu didapat dari seluruh penjuru masyarakat Semarang yang mempercayai mitos wewe gombel di masa lampau. Di masa saat masyarakat tak dibuat penasaran dengan tayangan hantu-hantu di televisi.
Dari riset itu diperoleh cerita bahwa wewe gombel adalah makhluk astral dengan penampakan sosok perempuan berambut panjang tergerai dan payudara sangat besar.
Dalam mitos yang dipercayai masyarakat Semarang, kegemaran wewe gombel adalah menculik anak kecil saat petang dan disembunyikan di antara buah dadanya yang besar.
"Tapi sebagai motif, kami harus memadukan unsur mitos itu dengan estetika batik. Karenanya kami padu dengan ornamen lain, sehingga tak menyeramkan," kata Sophie.
Hevearita Gunaryanti Rahayu, wakil walikota terpilih Semarang, bahkan juga meminta agar pengembangan motif di sanggar yang membina ratusan warga dan melahirkan banyak pengrajin batik di Semarang ini tetap berbasis pada nilai ke-Semarang-an.
"Ekonomi kreatif itu tak melulu soal berapa harga selembar kain batik. Saya bangga Semarang punya sanggar batik yang mengembangkan konsep pesisiran yang lebih realis dan naturalis," kata Hevearita atau biasa disapa mbak Ita.
Jika di masa lalu, anak-anak dibuat ketakutan dengan sosok wewe gombel, ternyata hal itu bisa direduksi dengan kehadiran motif ini. Meskipun diakui Sophie, bahwa mayoritas pembeli motif ini justru dari wisatawan asing.
Tiap pengunjung yang datang ke Sanggar Batik Semarang 16 memang tak langsung disuguhi kain yang sudah jadi. Mereka akan dibawa berkeliling melihat proses yang dilalui hingga menjadi motif yang mencengangkan.
Jika wisatawan itu dari negara manca, biasanya waktu kunjungan menjadi lebih lama. Mereka mempelajari bagaimana menenun kain secara manual, kemudian membuat sket motif secara manual, mencanting atau melukis motif dengan lilin, hingga pewarnaan dan jadi kain.
"Mereka sangat menghargai setiap proses. Bahkan mereka selalu bertanya bagaimana proses kreatif sebuah motif dibuat sampai eksekusi menjadi selembar kain," kata Sophie.
Batik Semarang bukan hanya sehelai kain. Ada proses panjang pembuatannya. Di selembar kain itu pula hidup mitos-mitos yang pernah diyakini masyarakat sebelum tergusur tren modern. Batik Semarang adalah salah satu inisiatif mengabadikan mitos dan folklore yang hidup di masyarakat.
Advertisement