Liputan6.com, Palembang - Ramadan yang diisi dengan kegiatan berpuasa dan salat tarawih berjamaah harus diikuti ratusan narapidana (napi) dan tahanan wanita di balik jeruji besi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita, di Jalan Merdeka, Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel).
Dari ratusan napi dan tahanan di lapas ini, Liputan6.com mewawancarai tiga napi dari perwakilan tiga generasi perempuan yang harus melewati Ramadan dengan status sebagai pesakitan.
Baca Juga
Deretan Bisnis Sri Meilina, Ibu Mahasiswi yang Picu Penganiayaan Dokter Koas Unsri di Palembang
Kejanggalan Kasus Penganiayaan Dokter Koas Unsri di Palembang, Sopir Honorer BPJN hingga Dugaan Pelat Mobil Palsu
Hanya Diam Lihat Adik Ipar Meregang Nyawa, Tersangka Peracik Jamu Beracun di Palembang Kabur ke Lampung
Perbincangan pertama diawali dari cerita sedih perempuan generasi pertama, Ida Royani (61). Warga Sungai Ceper, Desa Mesuji, Kecamatan Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel) ini masuk jeruji besi setelah tersandung kasus pembunuhan disertai pengeroyokan.
Advertisement
Dengan mata berkaca-kaca, sang nenek ini menceritakan kisah pilunya yang harus melewati 17 tahun masa tahanan di Lapas Wanita Palembang.
Kisah pedih itu bermula pada 2010 lalu, ketika Makridon (31), anak kelima dan Saidi (27), anak keenam membunuh tetangganya karena pasal penggelapan uang hasil jual kayu di pulau Kalimantan. Kedua anaknya tega membunuh sang tetangga yang juga rekan kerja di Kalimantan, karena diduga tidak mengembalikan uang sang anak sebesar Rp 35 Juta.
"Anak saya yang membunuh, tapi kami sekeluarga yang dipenjara. Padahal saya, suami dan anak pertama saya tidak ikut-ikutan membunuh korban. Tapi kami dituduh membunuh dan saya dijatuhi hukuman 17 tahun penjara. Sekarang sudah enam tahun masa penjara yang saya lewati,” ujar ibu tujuh anak ini sembari tertunduk lesu menceritakan kisahnya, Minggu (26/6/2016).
Sang suami, Sugar (76) dan ketiga anaknya, Murot (31), Makridon dan Saidi juga menjalani hukuman penjara selama 17 tahun di Lapas Mata Merah Palembang. Sejak jeratan hukum menimpa keluarganya, empat anaknya yang tidak tersandung kasus langsung pindah dari desa mereka.
Karena ketakutan, anak-anaknya tinggal berpencar dan sering berpindah-pindah di tiap kabupaten. Bahkan ada yang menyeberang ke provinsi tetangga. Rumah Ida pun tak luput dari amukan keluarga korban. Kini, tidak ada lagi sisa puing-puing rumahnya, karena sudah luluh lantak dihancurkan oleh keluarga korban.
Selama bulan Ramadan, dirinya tidak pernah absen untuk menjalankan ibadah puasa dan salat tarawih berjamaah. Karena sudah lama tinggal di lapas, Ida sudah menganggap semua penghuni lapas sebagai keluarganya, sehingga tidak ada rasa kesepian seperti pada awal dirinya menjalankan masa hukuman.
Setiap setahun sekali sehabis lebaran, Ida sering dikunjungi anak-anaknya. Kesedihannya sedikit sirna saat bertemu sang anak dan melihat cucu-cucunya yang sudah tumbuh besar. Meski sudah ikhlas menjalani masa hukumannya, Ida berharap ada kesempatan bebas dari bilik penjara dalam waktu secepatnya.
"Saya masih merasa sedih, karena tidak ada salah apa-apa tapi masuk penjara. Mungkin ini memang sudah nasibnya. Saya ingin segera bebas, bisa berkumpul lagi dengan anak dan cucu. Walau tidak ada lagi rumah untuk pulang, yang penting saya bisa berkumpul bersama keluarga, bisa menjenguk suami dan anak-anak saya di penjara sana,” ucap Ida sedih.
Ibu Hamil Sang Kurir Narkoba
Perawakan yang kurus, rambut lurus terurai dengan air muka yang datar langsung tergambar dari sosok perempuan generasi kedua, Mulyani (27). Warga asli Aceh ini terjerat kasus pengedaran narkoba antarprovinsi.
Dari pengakuan Mulyani, dirinya tidak tahu bahwa yang barang dibawanya adalah 200 gram paket narkoba jenis sabu. Pada September 2015, saat sedang hamil empat bulan, Mulyani tergiur dengan tawaran temannya, Ida, untuk menjadi kurir paket yang diantarkan dari Aceh ke Palembang.
Jumlah upah yang menggiurkan yaitu sebesar Rp 5 Juta membuat Mulyani nekat melakoni pekerjaan ini tanpa sepengetahuan keluarganya. Padahal, dia sama sekali belum pernah menginjakkan kaki ke kota Palembang. Mulyani merasa harus membantu sang suami, karena upah suami sebagai kuli bangunan, tidak akan mencukupi biaya persalinan dan biaya hidup mereka sekeluarga.
"Saya berangkat dari Kabupaten Birem, Aceh Timur, ke Palembang dengan menaiki bus. Selama perjalanan, saya tidak menaruh curiga bahwa paket tersebut adalah narkoba. Hanya diberitahu, jika sudah sampai di terminal Alang-Alang Lebar (AAL) Palembang, saya akan dijemput dan paketan tersebut langsung dikasih ke Bela. Jika sudah selesai, saya langsung pulang lagi ke Aceh,” ujar Mulyani.
Namun Mulyani ditangkap polisi sebelum bertemu Bela. Ia dicokok saat baru naik ke mobil taksi. Dirinya kaget saat polisi memeriksa barang paket yang dibawanya ternyata adalah narkoba. Dia menduga, Bela yang melaporkannya sebagai kurir narkoba antarprovinsi.
Karena barang bukti ada ditangannya, Mulyani harus menerima ganjaran hukuman 12 tahun penjara. Dengan perasaan yang kalut, Mulyani terpaksa menjalani masa-masa kehamilan dan melahirkannya dibalik jeruji besi.
Kesedihannya pun semakin memuncak. Ketika seusai melahirkan, sang suami datang ke Lapas Wanita Palembang dan membawa anak keduanya pulang ke Aceh. Mulyani yang pertama kali dikunjungi keluarganya, harus pasrah berpisah dari anak keduanya yang baru berusia tiga bulan itu.
“Dikunjungi keluarga ya cuma sekali itu saja, saat suami saya datang dan membawa anak saya pulang ke Aceh. Mungkin tidak ada lagi keluarga yang akan menjenguk, karena jaraknya yang jauh. Sedih sih, kenapa teman saya sejahat itu. Apalagi kondisi sekarang membuat saya harus jauh dari anak-anak yang masih kecil. Pasti kangen (sama anak), tapi apa boleh buat, sudah terbiasa di sini,” ucap Mulyani.
Ramadan tahun ini pun menjadi ramadan pertama yang dilewatinya dibalik jeruji besi. Meski sering disuguhkan pempek, namun Mulyani enggan mencicipi kuliner Palembang tersebut. Makanan itu dianggap asing dilidahnya.
Advertisement
ABG Pelaku Begal
Berbeda dengan dua napi lainnya, Indah Sari (17). Perempuan generasi ketiga di Lapas Wanita Palembang ini sama sekali tidak menunjukkan wajah sedih dan muram. Napi termuda yang tergolong Anak Baru Gede (ABG) ini bahkan bersemangat menceritakan tentang kisahnya hingga terjerat kasus pembegalan sepeda motor.
Hubungan asmara dengan Conis, sang kekasih, membawa Indah pada tindakan brutal pembegalan sepeda motor di bilangan Talang Jambi, Palembang. Awalnya, teman Conis sering menghubungi Indah agar bisa mencari sepeda motor yang bisa dijual.
“Saya sering ditelepon temannya Conis, disuruh mencari sepeda motor agar bisa dijual. Dia juga mengancam dan meneror kalau saya tidak menuruti kehendaknya. Pada malam sebelum penangkapan di bulan Febuari 2016, saya, Conis dan beberapa temannya melakukan aksi pembegalan di kawasan Talang Jambi. Awalnya saya tidak tahu kalau mereka akan melakukan aksi begal motor, karena saya cuma diajak keluar rumah saja,” beber Indah.
Karena aksi pembegalan mereka diketahui warga setempat, dalam waktu singkat, mereka langsung diciduk polisi. Dari enam pelaku, hanya empat orang yang ditangkap polisi, termasuk Indah. Sedangkan dua lainnya, termasuk otak pembegalan tersebut bebas dari tuntutan hukum.
Indah terpaksa putus sekolah, karena harus menjalani masa hukuman penjara selama setahun. Sepanjang empat bulan menghabiskan hari-harinya di bilik penjara, Indah optimistis masih dapat membangun harapan melanjutkan pendidikannya usai bebas nanti.
Perasaan sedih tak jarang menghinggapinya ketika harus melewati bulan ramadan tanpa didampingi keluarga. Indah pun merindukan masakan sang ibunda dengan citarasa yang khas setiap kali menunggu waktu berbuka puasa.
“Biasanya ibu sering masak sambel tahu, ikan dan sayur dan saya rindu masakan ibu. Di sini juga ada, tapi beda rasanya dengan masakan ibu. Kalau sudah bebas nanti, saya ingin melanjutkan sekolah dan kuliah. Saya ingin buktikan kepada orang tua dan semuanya, bahwa pelaku kejahatan juga bisa berubah menjadi lebih baik lagi,” ucap anak kedua dari empat bersaudara ini.