Liputan6.com, Yogyakarta - Makan sayur lodeh di rumah eyang, terutama saat pagi hari, boleh jadi menjadi nostalgia yang selalu dirindukan masyarakat urban saat ini. Aroma khas dapur dengan tungku kayu, meja makan kayu, dapur dengan interior ala rumah desa, dan alunan musik keroncong lewat pelantang suara membuka ingatan tentang masa lalu yang tidak pernah dilupakan.
Nah, Waroeng Kopi Klotok mencoba menawarkan sensasi itu kepada para pelanggannya sejak Desember 2015. Tempat makan yang berlokasi di Jalan Kaliurang Kilometer 16, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini terbilang berhasil.
Baca Juga
Sebab, bangunan berwujud rumah desa yang dibangun di atas lahan seluas 400 meter persegi itu tidak pernah sepi pengunjung. Mereka rela mengantre dan berbagi meja untuk menikmati suasana dan masakan sayur lodeh ala eyang sepuasnya mulai pukul 07.00 sampai 22.00 WIB.
"Menu lodeh kami angkat di tempat yang representatif, dengan konsep rumah eyang di desa, zaman sekarang kebanyakan eyang sudah tinggal di kota," ucap Sri Handayani pemilik Waroeng Kopi Klothok kepada Liputan6.com, beberapa hari lalu.
Advertisement
Sayur lodeh yang disajikan pun cukup beragam, mulai dari lodeh tempe hingga jipang. Ada pula alternatif sayur tanpa santan yang setiap hari berbeda, seperti sayur asem, sop, dan oseng-oseng.
Lauk-pauk yang bisa dipilih meliputi tempe goreng dan telur dadar krispi. Nasi yang disediakan juga ada dua macam, yakni putih dan merah. Semua itu diletakkan di sebuah meja kayu yang berfungsi seperti meja makan di rumah.
Tidak ketinggalan, sambal terasi yang masih berada di cobek juga diletakkan di meja makan yang sama. Soal rasa, lodeh di tempat ini tidak bisa diremehkan. Gurih dengan tingkat kekentalan santan yang pas, tidak terlalu encer ataupun menggumpal.
Pengunjung mengambil makanan secara prasmanan layaknya bertandang ke rumah eyang dan mengobrak-abrik dapur untuk menyantap menu favorit. Uniknya, di Waroeng Kopi Klotok, nasi dan sayur bisa dimakan sepuasnya di tempat dan cukup membayar Rp 11.500.
"Kalau ada yang nongkrong dari pagi sampai malam dan mau makan terus tetap harga nasi dan sayur dihitung net, Rp 11.500. Harga lauk-pauk yang bervariasi, mulai dari Rp 1.500 sampai Rp 4.900," tutur Yani, sapaan akrab perempuan berusia 54 tahun itu.
Ada tiga ruangan besar yang terdiri dari meja kursi yang bisa dipilih pengunjung. Tempat favorit adalah di teras sebelah utara. Pemandangan sawah dan kebun yang terhampar dengan udara yang masih steril dari polusi. Tempat itu banyak dipilih pengunjung untuk menikmati sore dengan ditemani segelas kopi klothok dan pisang goreng. Kudapan itu kondang di Waroeng Kopi Klotok.
Menurut Yani, dia membuat pisang goreng yang renyah, lembut, dan empuk dengan jenis pisang kepok kuning. Tepungnya pun tidak sembarangan, kulit pisang goreng diberi telur dan vanila, sehingga menghasilkan aroma yang sedap dan rasa yang legit.
Sementara kopi klothok dibuat dari Kopi Lampung yang direbus lagi bersama dengan air baru disajikan. "Kopi yang direbus bisa mengurangi kadar asam, sehingga relatif lebih bersahabat bagi penderita asam lambung," kata ibu empat anak ini.
Buat menikmati seporsi pisang goreng yang terdiri dari dua potong besar pisang, pengunjung cukup merogoh kocek Rp 6.500. Sedangkan segelas kopi dibanderol harga Rp 5.000.
Ia juga menerapkan sistem semua pesanan dimakan di tempat alias tidak boleh dibungkus dan dibawa pulang. Pertimbangannya, jangan sampai pelanggan yang datang ke tempat makannya merasa sia-sia karena sudah melewati perjalanan jauh dan tidak kebagian menu favorit.
Pemesanan tempat bisa dilakukan selama hari kerja. Hanya saja, tidak berlaku di hari libur atau akhir pekan.
Yani menyebutkan Waroeng Kopi Klotok memiliki 35 karyawan yang terbagi dalam dua shif dan sudah bekerja sejak pukul 05.00 WIB. Persiapan meracik bahan dilakukan pada malam hari menjelang tutup.
"Jadi sewaktu pagi hanya tinggal memasak dan memasukkan bumbu saja," ujar perempuan yang memilih mengundurkan diri pekerjaannya selama 28 tahun sebagai karyawan bank swasta dan memilih wirausaha kuliner Yogyakarta, terutama menu sayur lodeh.