Kedo-Kedo, Tangkap Ikan Ramah Lingkungan ala Suku Bajo Wakatobi

Cara menangkap ikan yang merupakan kearifan lokal itu kini hanya ditekuni satu kelompok Suku Bajo di Wakatobi.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Apr 2017, 07:05 WIB
Diterbitkan 15 Apr 2017, 07:05 WIB
Kedo-Kedo, Tangkap Ikan Ramah Lingkungan ala Suku Bajo Wakatobi
Warga suku bajo mencari batu sebagai bahan pondasi bangunan di Desa Mola Kabupaten Wakatobi, Sulteng. Mola salah satu Bajo Darat yang sebagian besar warganya tidak lagi hidup di laut.(Antara)

Liputan6.com, Wakatobi - Nelayan Suku Bajo di Desa Mola, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, mempertahankan kearifan lokal menggunakan kedo-kedo yang merupakan cara menangkap ikan ramah lingkungan.

"Alat pancing ini dipakai sejak jaman kakek-nenek kami dulu. Bahannya dari benang sutra, marlo, dan benang emas. Ini ramah lingkungan, kami pakai untuk menangkap ikan di wilayah karang," kata Ketua Kelompok Nelayan Kedo-kedo Sanggeh Kami Hartono (45) dalam Media Trip Pengenalan Aplikasi Marine Buddies dan Kampanye #TemanTamanLaut di Taman Nasional Wakatobi bersama WWF Indonesia di Wakatobi, dilansir Antara, Senin, 10 April 2017.

Kedo-kedo yang aslinya menggunakan serabut kelapa, sambung Hartono, mulai  menghilang pada 1960-an, dan semakin menghilang pada 1989 saat cara-cara tidak ramah lingkungan seperti pengeboman, penggunaan potasiun, dan kompresor digunakan untuk menangkap ikan.

Saat ini, tinggal satu kelompok Suku Bajo yang terdiri atas 14 nelayan yang masih berkaitan saudara di Mola yang mempertahankan kedo-kedo untuk menangkap ikan-ikan karang seperti sunu merah atau tung sing, ikan putih, sunu hitam, moraba, kakap hingga barakuda.

Dengan cara tangkap itu, ujar dia, penghasilan bersih yang diperoleh cukup lumayan. Nilainya bisa mencapai Rp 40 juta hingga Rp 50 juta per tahun atau sekitar Rp 4 juta per bulan.

Pendapatan ini, kata dia, sebenarnya mengalami penurunan jika dibanding 2010 sebagai dampak dari penggunaan kompresor dan potasium untuk menangkap ikan.

Jika sebelum 2010, per hari bisa mendapat hingga empat ekor ikan dengan ukuran hingga enam kilogram (kg) per ekor kini maksimal hanya mendapat dua ekor saja yang dihargai antara Rp 110.000 hingga Rp 195.000 per kg sesuai jenis ikan.

Fasilitator WWF Indonesia di Wangi-wangi sekaligus pendampingan di Kelompok Sanggeh Kami Samran mengatakan kondisi saat ini memang sulit untuk mengajak nelayan Bajo lainnya untuk ikut bergabung dalam kelompok ini.

Padahal, lanjut Samran, nelayan mendapat manfaat ikut dalam kelompok terkait kepastian untuk melaut. Mereka bisa tetap menangkap ikan saat kondisi keuangan belum ada karena bahan bakar dan alat tangkap tersedia. Keuntungan lain dengan ikut dalam kelompok adalah mereka akan mendapat posisi tawar untuk penetapan harga ikan dari pengepul.

"Karenanya, kita coba dekati lagi ke mereka. Sejauh ini, ada empat kelompok yang terbentuk dengan berbagai jumlah anggota, dan mereka menggunakan cara-cara ramah lingkungan untuk menangkap ikan," ujar dia.

Kelompok-kelompok tersebut, antara lain Kelompok Sanggeh Kami, Kelompok Mitra Sunu, Kelompok Tuna Bersinar didampingi WFF Indonesia, dan Forum Nelayan pada Kauang Sama yang didampingi Balai Taman Nasional Wakatobi.

Selain kedo-kedo, juga ada cara tangkap yang merupakan kearifan lokal yang ramah lingkungan lainnya seperti nonoke, ulur-ulur, dan mbuang-mbuang.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya