15 Tahun Berlalu, Luka Korban Bom Bali I Masih Dalam

Para korban Bom Bali I berharap pemerintah menaruh perhatian pada dampak luka dalam yang diderita mereka.

oleh Dewi Divianta diperbarui 01 Nov 2017, 07:03 WIB
Diterbitkan 01 Nov 2017, 07:03 WIB
Bom Bali 1
Para korban Bom Bali I berharap pemerintah menaruh perhatian pada dampak luka dalam yang diderita mereka. (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Liputan6.com, Denpasar - Minggu malam, 12 Oktober 2002, sekitar pukul 01.00 Wita, bom meledak di Jalan Legian Kuta. Bom Bali yang mengguncang Paddy’s Pub dan Sari Klub itu menewaskan 202 orang. Kini, 15 tahun telah berlalu dan para korban masih berjuang untuk tetap bangkit.

Meski selamat, banyak di antara mereka mengalami luka berat. Hingga kini, proses pengobatan masih terus dilakukan. Dengan semangat hidup yang tersisa, korban terus bangkit dari keterpurukan.

Kisah inspiratif para korban Bom Bali menjalani hidup agar lepas dari situasi sulit direkam dengan baik oleh Ni Komang Erviani, salah satu penulis buku “Luka Bom Bali”. Dalam acara bedah buku dan diskusi yang digelar di Warung Kubu Kopi itu, Erviani menilai perekonomian Bali yang sempat terpuruk akibat peristiwa itu, kembali pulih bahkan semakin meroket.

Indikatornya sederhana, kata jurnalis di The Jakarta Post itu, jalanan di kawasan Kuta semakin macet, hotel-hotel baru terus bertumbuh, vila-vila semakin menjamur. Perlahan tapi pasti, kata perempuan yang karib disapa Ervi itu, masyarakat Bali mencoba mengubur kenangan buram itu.

Hanya sebuah monumen di lokasi ledakan itu yang tersisa. Monumen Bom Bali itu bahkan kini menjdi tempat wisata wajib bagi wisatawan asing dan domestik saat berkunjung ke Bali. "Banyak di antara mereka bahkan selfie di depan monument dengan ekspresi kegembiraan," kata Ervi, Senin, 30 Oktober 2017.

Tak ada yang salah dengan itu semua menurutnya. Semua orang harus terus melangkah maju ke depan. Namun bagi sejumlah orang, peristiwa itu tak pernah bisa dilupakan. Masih ada luka yang terus dibawa. Tak hanya luka fisik, katanya, tetapi juga luka psikis.

"Sebagian orang mungkin sudah bisa melupakan peristiwa tragis itu, tapi tidak bagi mereka. Peristiwa itu telah mengubah total hidup mereka. Masih ada luka-luka yang harus mereka rasakan, luka yang terlupakan oleh kita semua," ujarnya.

Pengamat sosial budaya dari Universitas Udayana, Prof Nyoman Darma Putra menilai buku yang ditulis oleh Ervi sesungguhnya bukan untuk terus menyemai luka para korban. Sebaliknya, buku ini menjadi kisah inspiratif bagaimana para korban bisa terus bertahan dengan kondisi yang ada. Di matanya, buku yang ditulis dalam dua bahasa itu akan melengkapi pustaka bagi para peneliti kelak.

"Memang selayaknya sebuah peristiwa itu direkam dengan baik, tak hanya sekadar dari sisi mengupas luka korban, tetapi juga bagaimana kisah inspiratif mereka bertahap dengan kondisi yang ada," kata Nyoman Darma.

Dua penyintas Bom Bali bersuara, Thiolina Marpaung dan Jatmiko mengaku masih merasakan kegetiran meski peristiwa itu telah 15 tahun berlalu. Keduanya sepakat pemerintah belum hadir memenuhi kebutuhan mereka.

Mereka merasa luka-luka yang ditinggalkan akibat peristiwa itu masih membekas hingga kini. Baik Thiolina maupun Jatmiko, masih harus menjalani perawatan medis dengan merogoh kocek pribadinya.

"Saya harus mengganti retina mata saya yang sewaktu kejadian rusak akibat mata saya kemasukan pecahan kaca," kata Theolina yang diamini Jatmiko.

Sementara, Jatmiko selalu tak kuasa menahan tangis jika harus mengenang perisitwa itu. Air matanya selalu tumpah mengingat mata pencarian mereka hilang akibat peristiwa itu.

"Saya selalu begini (menangis) tiap kali mengingat peristiwa itu. Kejadian itu peristiwa yang sangat monumental dalam hidup saya. Peristiwa itu mengubah hidup saya menjadi kelam," katanya.

Theolina dan Jatmiko berharap pemerintah hadir di tengah hidup mereka. Tujuannya, agar mereka, para korban, dapat kembali memutar roda ekonomi yang terenggut sejak peristiwa itu terjadi.

Sejak Bom Bali terjadi, mereka mengalami luka fisik serius. Pekerjaan sulit mereka dapatkan. Dalam situasi itu, keduanya berharap pemerintah bisa memfasilitasi mereka dan para korban lainnya dalam memutar roda ekonomi menyambung hidup.

"Kita sangat mengharapkan pemerintah hadir di tengah-tengah kita bagaimana mereka membantu kami kembali mencari nafkah. Selama ini, kami seperti dibiarkan sendiri di tengah keterbatasan kami karena luka fisik akibat peristiwa itu," kata Jatmiko diamini Theolina.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya