Liputan6.com, Semarang Sore di Jalan Baskoro Raya Tembalang, Semarang seperti biasa. Ramai para mahasiswa kost mencari makan. Mulai dari warung penyetan untuk sekedar membeli tempe penyet dengan sambal yang banyak, hingga makanan ringan seperti cilok dan batagor.
Di sela keramaian itu, tiba-tiba para mahasiswa kost itu dikejutkan kehadiran sesosok mahluk kecil berbulu warna hitam. Kucing. Iya hanya seekor kucing liar. Kucing yang biasa mencari sisa makanan dari kebaikan hati pengunjung warung.
"Tapi itu kok perutnya merah ya?" kata Gina Mardani, salah satu mahasiswa kost yang sedang antre dilayani penjaga warung.
Advertisement
"Iya. Itu perutnya berlubang. Kasihan," kali ini Friska Aprilia, teman Gina lebih detail mengamati.
Sambil menunggu dilayani, dua mahasiswa itu berusaha menangkap kucing liar yang terluka itu. Dua mahasiswa semester akhir yang tengah menyusun skripsi itu kemudian seperti lupa diri. Tanpa koordinasi mereka mengepung kucing itu. Lupa akan pesanan makanan di warung.
"Saya lihat kucing itu, saya langsung membayangkan betapa perihnya luka itu. Apalagi sedemikian besar," kata Gina.
Baca Juga
Kehadiran kucing liar yang terluka itu, nyaris menjadi teror dalam ritme hidup dua mahasiswa itu. Sampai di rumah yang memang tak jauh, mereka masih berusaha melempar pandangan ke segala arah. Makanan tempe goreng dengan sambal yang sangat banyak itu nyaris tak disentuh hingga tengah malam.
"Iya. Kasihan. Jadi nggak doyan makan kalau ingat," kata Gina.
Seminggu berlalu. Setiap hari Gina dan Friska bergantian memantau keberadaan kucing liar yang terluka itu. Mereka bahkan sudah mencari bantuan dengan Wahyu dan Wulan. Dua orang yang biasa membantu segala kebutuhan anak-anak kost dengan ringan tangan.
Berbagai cara dan jebakan dipasang. Kucing dengan perut bolong itu masih sigap menghindar. Gina Mardani dan Friska Dwi Aprilia nyaris frustasi. Mereka menyerah. Gina menjelaskan sikap menyerah itu harus diambil dengan landasan keyakinan bahwa niat baik saja belum tentu didukung alam. Namun setidaknya sudah ada niat baik, sudah ada usaha sungguh-sungguh untuk mewujudkan niat itu.
Â
Â
Klinik Tutup
"Di tengah keputusasaan itu, tiba-tiba telepon saya berbunyi. Ada panggilan dari Mbak Wulan. Intinya mengabarkan bahwa kucing yang bolong perutnya itu masuk rumahnya dan Mbak Wulan mengorbankan pakaiannya ketika keranjang pakaian digunakan untuk menangkap. Mbak Wulan nggak berani ngangkat," Gina kepada Liputan6.com.
Gina langsung mendatangi tempat kucing itu tertangkap. Bahkan ia juga langsung telepon sebuah klinik hewan di Ungaran, sekitar 25 km dari tempat kostnya, dengan pulsa ponsel yang tersisa.
Namun Gina juga tak berani sendirian. Ia harus menunggu Friska pulang kerja. Kucing itu sudah sukses ditaklukkan atas bantuan Wahyu yang menenangkannya dengan kelembutan.
"Mas Wahyu yang menangkap. Begitu datang, Friska langsung pesan taksi online. Sampai di klinik, dokternya sudah tutup karena memang janjian kan jam 18.00 WIB Kami bingung," kata Gina.
Berembug dengan sopir taksi online, akhirnya mereka berburu klinik hewan yang masih buka. Mereka kembali menembus hujan kembali ke Semarang. Ditemukanlah klinik Happy Pretty dan kucing itu langsung ditangani dokternya.
"Kami bingung saat harus mengisi formulir nama kucing, Akhirnya kami sepakat memberi nama Kopi. Dokter Anita juga langsung menangani tanpa banyak tanya," kata Gina.
Meskipun merasa beruntung karena taksi online yang berubah rute dan tujuan, namun Gina dan Friska merasa beruntung. Si pengemudi taksi online itu juga tidak komplain, bahkan rela kalaupun poin harus turun, sebab ketika mau mengajukan penjadwalan rute ulang, ternyata telepon customer service tak diangkat.
"Nggak papa mbak. Ini kan menolong mahluk Tuhan juga," kata Ari Zuhri, sang pengemudi. Ari ternyata pecinta kucing juga. Di rumahnya sang anak memelihara seekor kucing kampung pula.
Â
Advertisement
Galang Dana dan Sosok Misterius
Keajaiban masih terus berlanjut, saat berada di Klinik Happy Pretty itu, Gina dan Friska berkenalan dengan seorang ibu. Mereka berkenalan dan sosok iu itu ternyata adalah seorang penyelamat kucing-kucing liar juga. Dengan ringan ibu-ibu itu menandatangani dokumen rawat inap si Kopi.
"Biar saya tandatangani pakai nama saya. Kalau pakai nama saya kan pembayaran nanti bisa dicicil," kata ibu itu.
Gina dan Friska makin kaget ketika mendapati bahwa ibu-ibu misterius yang memperkenalkan diri bernama Tante Sandy memang seorang penyelamat kucing liar. Sudah berlangganan di klinik tersebut.
"Ini beliau sedang dalam proses menangkap seekor kucing yang matanya lepas satu di pasar Kobong. Namun meski dokumen ditandatangani beliau, kan saya dan Friska yang membawa ke klinik, jadi kami tetap bertanggungjawab," kata Gina.
Perhitungan kasar, Kopi harus dirawat inap hingga sepekan, di mana biaya rawat inap, jasa dokter, dan obat antara Rp 50 ribu - Rp 100 ribu per hari. Saat ini mereka berdua mencoba mengumpulkan dana melalui akun sosial media.
Gina dan Friska juga sudah bersiap-siap menyisihkan uang saku mereka. Bahkan makanan rutin nasi tempe penyet dengan sambal sangat banyak itupun kemungkinan akan berkurang frekwensinya. Mereka berdua selain sibuk menyusun skripsi, juga sibuk mencari donasi dan orang yang bersedia mengadopsi.
"Perkiraan dokternya kemarin sekitar Rp 450 ribu. Semoga semesta merestui dan skripsi kami lancar. Siapa tahu ada doa seekor kucing yang dikabulkan," kata Gina Mardani yang tengah menyusun skripsi di Jurusan Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Undip ini.
Demikian juga dengan Friska Dwi Aprilia, mahasiswi jurusan Hubungan International FISIP Undip ini berharap sedikit kisah dengan Kopi, si kucing yang bolong perutnya itu tak mengganggu jadwal belajarnya.