Buntut Panjang Penembakan Nelayan Pengadang Kapal Tongkang

Akibat penembak nelayan pengadang kapal tongkang belum juga terungkap, mahasiswa yang protes dan polisi kemudian saling rebutan keranda.

oleh Ahmad Akbar Fua diperbarui 23 Jan 2018, 10:32 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2018, 10:32 WIB
Buntut Panjang Penembakan Nelayan Pengadang Kapal Tongkang
Kapal tongkang yang diadang nelayan akhirnya mundur. (Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Liputan6.com, Konawe Selatan - Sosok penembak Sarman (35), nelayan di Desa Tue-Tue, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan Minggu, 14 Januari 2018, hinga kini masih misterius. Padahal, peluru karet dan sejumlah bukti lainnya sudah dikantongi polisi.

Tertembaknya Sarman, diketahui saat ia terlibat aksi penolakan masuknya aktivitas tambang di wilayah perairan tempat mereka melaut. Saat itu, Sarman dan bersama 300 warga lainnya mengadang kapal tambang dengan perahu di tengah laut.

Tindakan polisi yang dinilai lambat memproses kasus penembakan nelayan ini, memancing puluhan mahasiswa dari sejumlah universitas mendatangi Kantor Polda Sulawesi Tenggara, Senin, 22 Januari 2018. Saat demonstrasi, polisi dan mahasiswa terlibat aksi saling dorong.

Sejumlah mahasiswa kemudian diamankan aparat polisi. Beberapa di antaranya, ditarik paksa dari kerumunan peserta demonstrasi dan dibawa ke dalam Polda Sulawesi Tenggara. 

Aksi saling dorong terjadi hingga belasan kali sejak digelar pukul 10.00 Wita hingga pukul 13.00 Wita. Alasannya, mahasiswa ingin bertemu langsung dengan Kapolda Sulawesi Tenggara, Brigjen Pol Andap Budhi Revianto, untuk meminta kelanjutan pengusutan pelaku penembakan nelayan, tetapi tidak diizinkan polisi.

"Kami meminta kejelasan kasus yang sudah ditangani pihak kepolisian, hanya itu saja. Tapi kenapa sampai hari ini kita tidak dipertemukan dengan Kapolda Sulawesi Tenggara," ujar Ahmad Alfian.

Saling Rebutan Keranda

Buntut Panjang Penembakan Nelayan Pengadang Kapal Tongkang
Akibat penembak nelayan pengadang kapal tongkang belum juga terungkap, mahasiswa yang protes dan polisi kemudian saling rebutan keranda. (Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Awal kerusuhan terjadi ketika mahasiswa meminta Kapolda Sulawesi Tenggara mengusut tuntas aksi penembakan nelayan di Desa Tue-Tue, Konawe Selatan. Sebab, peluru karet berwarna hitam yang menembus paha Sarman (35) diduga merupakan peluru dari institusi kepolisian.

Saat itu, sejumlah mahasiswa mengusung sebuah keranda bertuliskan 'RIP polisi'. Aksi berlanjut saat beberapa anggota polisi dan mahasiswa terlibat saling rampas keranda.

Setelah keranda berhasil dirampas, beberapa mahasiswa kemudian diamankan. Aksi berlanjut dengan saling dorong antara mahasiswa dan polisi.

Hingga saat ini, Polda Sulawesi Tenggara belum merilis secara resmi kasus penembakan nelayan yang diduga melibatkan anggotanya. Kapolda Sulawesi Tenggara, melalui Kabid Humas Polda Sulawesi Tenggara, AKBP Sunarto menyatakan masih memeriksa anggotanya.

"Kita masih masih melakukan pemeriksaan, tim sudah diturunkan. Intinya kami bekerja menyelidiki apakah anggota bekerja sudah sesuai prosedur atau tidak," ujar AKBP Sunarto, pekan lalu.

Sebelumnya, Kapolres Konawe Selatan, AKBP Hamka Mappaita menyatakan pengamanan di lokasi terjadinya penembakan karena masyarakat hendak menghalangi masuknya kapal tambang. Aksi masyarakat, menurut Andi Mappaita, diikuti dengan sikap anarkis.

"Sehingga, anggota harus mengeluarkan tembakan peringatan karena saat itu masyarakat sudah membakar salah satu kapal tongkang meskipun kemudian apinya berhasil dipadamkan," ujar Hamka Mappaita, Senin (15/1/2018).

Nelayan Merasa Dirugikan

Nelayan di Konawe Selatan Diduga Tertembak Peluru Oknum Anggota Polisi
Akibat penembak nelayan pengadang kapal tongkang belum juga terungkap, mahasiswa yang protes dan polisi kemudian saling rebutan keranda. (Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Nelayan di Desa Tue-Tue, Kecamatan Laonti, Konawe Selatan, protes karena masuknya perusahaan tambang PT Gerbang Multi Sejahtera mengancam eksosistem laut di wilayah mereka. Selain itu, perusahaan dinilai semena-mena karena tidak memikirkan dampak bagi para nelayan.

Ada sekitar 1.005 hektare tanah nelayan yang dilalui Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT GMS. Sebanyak 120 lebih kepala keluarga merupakan pemilik lahan itu.

Perusahaan menawarkan Rp 350 ribu bagi setiap kepala keluarga yang lahannya dilewati kendaraan tambang. Namun, masyarakat menolak karena tidak setimpal.

"Kita juga tidak mau, bukan hanya tanah yang akan rusak, laut juga akan rusak. Bukan hari ini laut rusak, tapi beberapa bulan kemudian," ujar Yamal, salah satu perwakilan warga Desa Tue-Tue.

Menurut Yamal, wilayah Desa Laonti, merupakan wilayah yang kaya akan ikan. Nelayan hanya membuang jala di pinggir pantai, beberapa jenis ikan akan berhasil ditangkap.

"Tapi, kalau masuk tambang, kami yakin ikan-ikan akan habis, lihat saja," ujar Yamal.

Tidak hanya itu, di lokasi Desa Tue-Tue ternyata berdampingan dengan lokasi wisata Pulau Namu. Pulau itu merupakan salah satu desa yang menjadi aset wisata bahari andalan Kabupaten Konawe Selatan.

"Jika tambang masuk di Tue-Tue, bukan hanya masyarakat yang akan kehilangan banyak ikan, aset wisata juga akan terganggu," ujar Farida, salah satu warga di Desa Namu.

Tanggapan Pemerintah

Ilustrasi Kapal Tongkang
Ilustrasi Kapal Tongkang

Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM Sulawesi Tenggara, Muhammad Hasbullah Idris membenarkan IUP GMS beroperasi di wilayah Desa Tue-Tue. Meskipun mengancam lokasi wisata dan mata pencaharian nelayan, Dinas ESDM tidak bisa mencabut IUP tanpa penyebab jelas.

"Masih ada IUP-nya, belum dicabut. Sebab itu resmi," ujar Muhammad Hasbullah Idris, pekan lalu.

Idris mengatakan, IUP PT GMS ini dibuat oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Konawe Selatan, bukan dari pihaknya, sehingga, pihaknya tidak bisa menggugurkan IUP tanpa sebab.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya