Nasib Masjid-Masjid Kuno di Banyumas

Ada tiga masjid kuno yang telah ditetapkan atau setidaknya terdaftar menjadi cagar budaya.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 19 Mar 2018, 10:03 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2018, 10:03 WIB
Masjid Baitussalam, Cikakak Kecamatan Wangon, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Masjid Baitussalam, Cikakak Kecamatan Wangon, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Wilayah Banyumas raya, Jawa Tengah, berada di antara dua kebudayaan besar, Mataram dan Pasundan. Hal itu menyebabkan kehidupan masyarakatnya pun mengacu kepada dua kebudayaan besar tanah Jawa ini.

Pada masa penyebaran Islam, wilayah Banyumas menjadi titik penting. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah artefak, termasuk masjid kuno berumur ratusan tahun yang menjadi bukti penyebaran Islam yang masih berdiri hingga saat ini.

Artefak itu mulai dari sinkretisme peradaban Islam-Jawa, seperti di Situs Kyai Banakeling, Pakuncen, Kecamatan Jawatilawang, atau masjid kuno Saka Tunggal, Cikakak, Wangon, Kabupaten Banyumas. Tempat ini hingga sekarang masih menjadi titik penting ritual adat masyarakat Islam-Jawa.

Data Banyumas History and Heritage Community (BHHC) atau Komunitas Sejarah dan Peninggalan Sejarah Banyumas mencatat situs itu menjadi bagian dari sekitar 325-an benda diduga cagar budaya yang tersebar di berbagai tempat.

Keberadaan situs yang menunjukkan perkembangan Islam ini tak luput dari perhatian pemerintah. Setidaknya ada tiga masjid kuno yang telah ditetapkan atau setidaknya terdaftar menjadi cagar budaya.

Tiga masjid tersebut yakni, Masjid Saka Tunggal Darussalam, Pekuncen Kecamatan Pekuncen; Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Cikakak, Kecamatan Wangon; dan Masjid Abu Sulaiman, Sudagaran, Banyumas.

Dua Masjid Jadi Cagar Budaya

Pilar utama pada Masjid Saka Tunggal. (Liputan6.com/Nugroho Pandu/Muhamad Ridlo)
Pilar utama pada Masjid Saka Tunggal. (Liputan6.com/Nugroho Pandu/Muhamad Ridlo)

Baru-baru ini, Pemerintah Kabupaten Banyumas menetapkan Masjid Saka Tunggal Darussalam, Dusun Legok, Desa Pekuncen, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas, menjadi cagar budaya. Masjid ini ditetapkan menjadi cagar budaya bersama dengan gedung SMP Negeri 2 Purwokerto.

Dua cagar budaya ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Banyumas pada pertengahan Februari 2018.

Kepala Seksi Sejarah dan Purbakala Bidang Kebudayaan Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinbudpirapar) Banyumas, Carlan, menerangkan dua bangunan itu telah melalui kajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) sebelum turun ditetapkan menjadi cagar budaya.

Penelitian oleh TACB telah dilakukan sejak 2015 lalu. Kesimpulannya, dua bangunan diputuskan bangunan itu layak cagar budaya. Dinporabudpar mencatat ada 59 benda diduga cagar budaya yang dilindungi pemerintah.

Secara bertahap, benda-benda itu akan ditetapkan sebagai cagar budaya setelah diteliti dan memenuhi syarat benda cagar budaya. Tahun ini, Pemerintah Banyumas menargetkan enam atau tujuh diduga cagar budaya ditetapkan menjadi cagar budaya.

"Karena butuh kajian mendalam dari tim untuk menentukan benda itu cagar budaya. Dilakukan secara bertahap," ucapnya kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

Sejarah Masjid Saka Tunggal Pekuncen dan Masjid Nur Sulaiman

Masjid Nur Sulaiman Banyumas dibangun tahun 1755 pada masa pemerintahan Adipati Banyumas Yoedanegara II. (Foto: Liputan6.com/Dinporabudpar Banyumas/Muhamad Ridlo)
Masjid Nur Sulaiman Banyumas dibangun tahun 1755 pada masa pemerintahan Adipati Banyumas Yoedanegara II. (Foto: Liputan6.com/Dinporabudpar Banyumas/Muhamad Ridlo)

Dari catatan sejarah, Masjid Saka Tunggal Pekuncen dibangun tahun 1915 pada masa Bupati Purwokerto Raden Mas Tumenggung Cokronegoro III.

Sebagaimana namanya, konstruksi bangunan Masjid Saka Tunggal unik, yakni hanya meniliki satu pilar atau saka tunggal sebagai penyangga utama bangunan. Tiang kayu di ruang tengah masjid itu masih kokoh berdiri dan utuh hingga saat ini.

Adapun Masjid Nur Sulaiman, Banyumas, telah lebih dulu ditetapkan menjadi cagar budaya. Bahkan, masjid ini telah diakui secara nasional lantaran surat keputusannya oleh Menteri Kebudayaan RI.

Masjid Nur Sulaiman Banyumas dibangun tahun 1755 pada masa pemerintahan Adipati Banyumas Yoedanegara II. Arsitek bangunan ini adalah Bapak Nur Daiman Demang Gumelenm I sekaligus sebagai penghulu masjid yang pertama.

Sebagaimana konsep tata letak bangunan pada masa pemerintahan kerajaan di Jawa, posisi masjid selalu berada di sebelah barat alun-alun sebagai simbol kebaikan, berseberangan dengan letak penjara sebagai simbol kejahatan di sebelah timur alun-alun.

Dikutip dari situs resmi Pemkab Banyumas, dinporabudpar.banyumaskab.go.id, nama Masjid Nur Sulaiman berasal dari nama Nur Daiman.

"Karena tidak adanya sumber tertulis yang pasti, menurut penuturan juru pelihara Benda Cagar Budaya Masjid Nur Sulaiman bapak Djoni M. Faried, nama Nur Sulaiman berarti dari nama Nur Daiman," tulis situs itu.

Status Masjid Saka Tunggal Cikakak, Banyumas

Ritual Punggahan, ritual menjelang masuk bulan Puasa atau Ramadan, penganut Islam Kejawen ke Panembahan Banakeling, Pekuncen Kecamatan Jatilawang, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ritual Punggahan, ritual menjelang masuk bulan Puasa atau Ramadan, penganut Islam Kejawen ke Panembahan Banakeling, Pekuncen Kecamatan Jatilawang, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Berbeda dari dua masjid kuno Banyumas yang telah ditetapkan menjadi cagar budaya, Masjid Saka Tunggal, Baitussalam, Cikakak, Kecamatan Wangon, saat ini statusnya baru terdaftar sebagai cagar budaya.

Masjid yang diyakini sebagai yang tertua di Banyumas ini konon dibangun pada 1522-an Masehi oleh Kiai Musholih, tokoh penyebar agama Islam di Banyumas di masa awal. Tanda-tanda betapa tuanya Masjid Saka Tunggal bisa dilihat dari budaya yang tercipta di lingkungannya dan bisa disaksikan hingga saat ini.

Masyarakat Cikakak, terutama di sekitar masjid, menggunakan penanggalan Alif Rebo Wage (Aboge) yang memadukan kelander Masehi dan Hijriyah yang melandaskan penanggalan pada matahari (Syamsiyah) dan bulan (Qomariyah).

Secara syariah, ritual ibadah yang dilakukan masyarakatnya tak berbeda dengan umat muslim pada umumnya. Hanya saja, penanggalannya berbeda lantaran memakai kalender delapan tahunan (sewindu).

Sama halnya dengan Masjid Saka Tunggal Pekuncen, Masjid Saka Tunggal Cikakak juga berpilar utama satu buah. Keunikan lainnya, di sekitar masjid juga didapati ratusan ekor kera yang telah ada sejak ratusan tahun lampau.

Kini, masjid ini menunggu untuk ditetapkan menjadi cagar budaya lantaran nilai kesejarahannya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya