Liputan6.com, Banyumas - TKI Parinah kembali ke Tanah Air. Pada Rabu malam, pukul 18.05 WIB, ia tiba di Bandara Soekarno Hatta. Pesawat Garuda GA 87 membawanya terbang pulang dari London, Inggris.
Perempuan asal Banyumas itu langsung menelepon keluarganya. "Inyong liren disit," Parinah memberitahu keluarganya dengan bahasa Jawa ngapak. Ia mengaku akan istirahat sebentar sebelum ke Cilacap, ke rumah anaknya.
Sementara itu di kampung halaman, sejak Rabu pagi, Parsin (33), anak kedua TKI Parinah, tak enak makan. Detak jantungnya tak beraturan, sejak ditelepon perwakilan Disnakertrans Banyumas. Ia mendapat kabar bahwa ibunya akan segera tiba.
Advertisement
Baca Juga
Parsin terdengar gagu saat menyampaikan kabar bahagia itu kepada anggota keluarga lainnya. Bahkan, putra TKI Parinah itu nyaris menyusul ibunya ke Jakarta, tapi dicegah.
"Takutnya sisipan di jalan. Parsin sampai Jakarta, sedangkan ibu sampai rumah," ujar kakak ipar Parsin, Marlito, kepada Liputan6.com.
Sudah 18 tahun Parsin tak bertemu ibunya. Bahkan, sejak 2005, komunikasi dengan perempuan yang melahirkannya itu terputus. Surat dari keluarga tak pernah sampai ke tangan Parinah. Hanya surat dari London yang tiba di alamat yang dituju.
Suatu hari di tahun 2005, Parinah menulis dalam suratnya, "Bagaimana suami dan anak-anakku? Apa kalian sudah tidak mau sama aku? Mengapa aku kasih surat berkali-kali tidak ada jawabannya?"
Dalam suratnya, Parinah mengaku sengsara di negeri orang. Ia meminta nomor telepon, milik siapa pun, demi bisa berkomunikasi dengan keluarganya.
Ternyata belakangan diketahui, surat-surat balasan dari keluarga diduga ditahan oleh pihak majikan. Butuh waktu lama bagi Parinah untuk pulang.
Saat dihubungi, Kepala Disnakertrans Banyumas, Agus Widodo, mengonfirmasi, TKI Parinah sampai di Bandara Soekarno Hatta sekitar pukul 19.00 malam WIB.
"Diperkirakan Parinah akan sampai di rumah pada Kamis pagi. BNP2TKI Serang yang ditunjuk untuk mengantarkan Parinah, sesuai dengan wilayah kerjanya," kata Agus, Rabu (11/4/2018) kepada Liputan6.com.
Agus menjelaskan, kasus perbudakan TKI Parinah terbongkar berkat laporan dari Parsin awal tahun 2018. Meski terbilang telat, laporan itu bisa ditindaklanjuti berkat kerja sama dari berbagai pihak.
"Penyelesaiannya sebenarnya mudah. Sayangnya keluarga terlalu lama melapor, padahal alamat jelas. Tetapi alhamdulillah semua proses sudah selesai," ujarnya.
Belakangan, TKI Parinah bahkan sudah bisa dihubungi. Saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan oleh Parsin, ia terharu. Lewat video call, perempuan itu terlihat berlinang air mata.
Saat ditanya keadaannya oleh Parsin, sang ibunda mengaku sudah jauh lebih baik. Nyeri pinggul yang diderita seperti diceritakannya dalam surat, berangsur sembuh.
"Alhamdulillah sehat, kemarin-kemarin sering ronsen, tapi sekarang sehat," katanya.
Nasib Tragis Setelah Pindah ke Inggris
Parinah bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di keluarga Alaa M Ali Abdallah sejak 1999 di Arab Saudi. Ia lalu tercatat pindah ke Inggris pada 28 Mei 2001, mengikuti kepala keluarga tersebut yang pindah tugas dokter ke Inggris.
Ketika di Arab Saudi, Parinah bebas berkomunikasi dengan keluarganya. Kiriman nafkah pun lancar, tetapi situasi berbanding terbalik setelah keluarga majikan pindah ke Inggris.
Parsin mengatakan, ibunya menjelma bak anak pingit. Ibunya tak diperkenankan menghubungi keluarga di Indonesia.
"Saya dan keluarga bingung mencari kabar ibu, semua teman-teman sudah putus komunikasi, penyalur TKI yang memberangkatkan juga tidak tahu. Pernah coba telepon nomor yang ditulis di surat, tapi tidak jelas bicara apa langsung dimatikan," kata Parsin saat ditemui di rumahnya.
Sepanjang 2005–2018, kabar terakhir yang diketahui Parsin ialah ibunya mengirimkan gaji 1.000 pound sterling kepada ayah tirinya, Sikin. Lagi-lagi, berbalas surat hanya satu arah dari Inggris saja.
Surat balasan dari keluarga tak kunjung sampai ke tangan Parinah. Hampir 13 tahun berlalu, Parinah dan keluarganya tak bertukar sapa sedikit pun hingga tiba sepucuk surat dari Parinah datang pada 28 Januari 2018.
"Harapan baru terpantik, alamat kerja ibu terpampang jelas di lembar surat itu," kenang Parsin.
Esoknya, Parsin bersama adiknya mengadu ke Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP4TKI) Cilacap. Lintas institusi negara bergerak. Puncaknya, 5 April 2018, Kepolisian Brighton mengeluarkan Parinah dari rumah majikannya atas permintaan KBRI London.
Meski demikian, Parinah mengaku tidak pernah diperlakukan kasar. Hanya saja tiada jalan baginya pulang. Kerinduannya kian memuncak.
"Orangnya baik, tidak pernah diperlakukan kasar, tapi saya tidak boleh pulang," ujar Parinah, seperti diceritakan sang putra.
Dia senang sebentar lagi akan menginjakkan kaki di kampung halaman. Satu sesalnya, haknya bekerja selama ini belum di tangan.
Saat tinggal di Inggris, ia hanya mendapatkan gaji satu kali sebesar 1.000 pound sterling. Gaji itu pun dikirimkan kepada keluarganya di rumah.
"Tapi dulu sekali sudah lama, setelah itu tidak pernah menerima lagi," katanya.
Parinah sering menanyakan gaji kepada majikannya. Namun, jawaban yang didapatkan selalu berupa harapan kosong. Majikan menjanjikan gaji akan dibayarkan ketika dia pulang.
"Jangan diambil sekarang, nanti kamu tidak punya pegangan kalau sudah tua," ucapnya menirukan jawaban majikan.
Majikan Akan Diseret ke Pengadilan
Kepolisian Brighton, Sussex, Inggris, akan menyeret majikan yang mempekerjakan TKI Parinah ke pengadilan setempat dalam waktu dekat. Majikan TKI Parinah akan diseret dengan dugaan pelanggaran pasal pidana Modern Slavery Act atau perbudakan modern menurut hukum yang berlaku di Inggris.
"Kasus Parinah sudah ditangani oleh Kepolisian di Brighton, Sussex. Pihak kepolisian dalam waktu dekat akan menyeret majikan ke Pengadilan dengan tuduhan melakukan modern slavery," kata Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI London Gulfan Afero lewat pesan singkat kepada Liputan6.com.
Gulfan melanjutkan, Parinah juga sudah membuat pernyataan kepada pihak Kepolisian Brighton bahwa dirinya belum mendapatkan gaji sebagaimana mestinya dari pihak majikan. Pernyataan itu dicantumkan dalam kesaksian Parinah yang akan diserahkan kepada Pengadilan untuk proses hukum lanjutan.
"Parinah akan menagih kompensasi berupa gaji yang belum dibayarkan dan hak-hak lain yang belum diperoleh dari pihak majikan melalui pengadilan setempat," papar Gulfan.
Saat ini, Gulfan Afero memastikan bahwa KBRI London akan terus melakukan pengawalan dan perbantuan hukum terhadap kasus yang menimpa TKI Parinah, meski perempuan asal Banyumas itu telah kembali ke Tanah Air.
Kasus tersebut masih dalam proses penanganan Kepolisian Brighton, sebelum dilimpahkan ke Kejaksaan dan Pengadilan setenpat dalam waktu dekat.
"KBRI London tetap menjalin komunikasi dan koordinasi intensif untuk memonitor penyelesaian kasus tersebut di Pengadilan. Saat ini pihak kepolisian masih melengkapi berkas perkara kasus tersebut sebelum dilimpahkan kepada penuntut umum," ujar pejabat KBRI London itu.
"Harapan kami, setidak-tidaknya Parinah harus mendapatkan gaji yang belum dibayar sesuai dengan standar di Inggris serta berbagai kompensasi lainnya. Semua itu menunggu keputusan dari pengadilan setempat.
Menurut kebijakan saat ini, upah minimum pekerja di Inggris adalah sekitar 7,85 pound sterling per jam atau sekitar Rp 153.171
"Kasus baru akan dilimpahkan ke pengadilan sekitar awal musim panas nanti di Inggris atau sekitar bulan Juli 2018," tambahnya.
Saat ini, KBRI London belum mengetahui motif dan alasan jelas mengapa pihak majikan melakukan perbuatan tersebut. KBRI London menduga telah terjadi unsur-unsur praktik perbudakan modern sesuai hukum setempat.
"Menurut dugaan kami, pihak majikan berupaya untuk menutupi kewajiban majikan membayar gaji sesuai dengan ketentuan Upah Minimum Regional di Inggris, pembayaran asuransi, serta pengaturan terkait jam kerja dan hak-hak lembur serta cuti Parinah," kata Gulfan Afero.
"Kami juga menilai bahwa pihak majikan berupaya mengekang Parinah dan menjauhkan dirinya dari pergaulan publik, tetangga, dan pihak keluarganya di Indonesia.
Alasan majikan melakukan itu, menurut penilaian Gulfan, agar praktek-praktek yang memenuhi unsur perbudakan modern terhadap Parinah itu tidak terendus oleh tetangga atau publik.
Advertisement
Pola Pikir Majikan yang Salah?
Sementara itu, Wahyu Susilo Direktur Eksekutif Migrant Care mengatakan, kasus yang menimpa TKI Parinah disebabkan oleh mindset objektivikasi yang tertanam dalam pola pikir majikan.
"Para TKI kita dianggap sebagai objek atau properti yang bisa dibawa majikan ke mana-mana, bahkan hingga kontrak kerjanya sudah habis," kata Wahyu.
Kasus tersebut juga memperlihatkan bahwa banyak tenaga kerja Indonesia yang terisolasi dan berkomunikasi dengan pihak keluarga di Tanah Air, apalagi, pemerintah RI.
Selain itu, ada faktor lain yang melatarbelakangi peristiwa semacam itu bisa terjadi. Menurutnya TKI Parinah termasuk WNI yang sudah menjadi TKI pada kala pemerintah RI belum memiliki mekanisme perlindungan yang responsif.
"Dulu, pemerintah RI juga kerap tidak atau enggan merespons pengaduan-pengaduan TKI yang hilang kontak," jelasnya.
Sebaliknya, Wahyu memuji pemerintahan sekarang ini yang notabene lebih pro-aktif dalam menangani pengaduan-pengaduan hilang kontak.
Wahyu Susilo menyarankan bahwa ada sejumlah hal yang harus dilakukan oleh berbagai pihak agar kasus seperti TKI Parinah tidak terulang lagi.
Pertama, pihak keluarga TKI yang kehilangan kontak harus segera melapor ke otoritas RI terkait.
"Apalagi sekarang beberapa lembaga pemerintah sudah memiliki platform komprehensif seputar pelaporan TKI yang tertimpa musibah di luar negeri, seperti Kementerian Luar Negeri, BNP2TKI, dan Kementerian Tenaga Kerja RI," jelasnya.
Sedangkan, para TKI di luar negeri juga harus mawas diri terhadap status kontrak kerja masing-masing. TKI harus lebih proaktif terkait kontrak kerja masing-masing.
"Kalau ada kendala, segera laporkan ke perwakilan RI di negara setempat dan pihak keluarga di Tanah Air," imbuhnya.
Terakhir, Wahyu mengimbau agar perwakilan RI di negara asing juga harus pro-aktif melakukan outreach serta menerima dan menindaklanjuti laporan TKI yang tertimpa musibah.