Liputan6.com, Yogyakarta - Mardi duduk di kursi roda. Difabel korban gempa Bantul 12 tahun lalu itu sejak 2009 memiliki pekerjaan tetap. Kondisi fisiknya tidak memungkinkan ia bekerja serabutan seperti dulu.
Laki-laki berusia 50 tahun itu duduk menghadap meja yang di atasnya terdapat alat bor bubuk. Mulai pukul 08.00 sampai 16.00 WIB, ia mengerjakan beragam pesanan kriya. Kursi kayu, mainan edukasi anak, speaker bambu, dan sebagainya sudah menjadi makanan sehari-hari Mardi.
Pekerjaan yang dilakukannya setiap hari kerja, Senin sampai Sabtu, menghasilkan karya yang tidak sepele. Kebanyakan pesanan datang untuk diekspor. Karyanya tidak hanya terpasang di etalase toko, melainkan juga pameran-pameran internasional.
Advertisement
Baca Juga
Orang akan mengira, apresiasi yang diperolehnya pun tak kalah besar. Pendapatannya diperkirakan sangat layak. Namun, ternyata itu hanya dugaan.
Mardi mengungkapkan dalam satu bulan ia menerima bayaran Rp 500.000. Sempat pertanyaan diulang, pendapatan itu untuk membayar hasil kerja satu minggu atau satu bulan.
"Sebulan itu," jawabnya getir beberapa waktu lalu.
Difabel asal Canden, Jetis, Bantul itu berharap, penghasilannya bisa setara dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Apalagi, ia juga bekerja selayaknya pekerja pabrik dengan jumlah jam kerja yang sama.
Ia mengaku nilai pendapatannya lebih besar ketika bekerja serabutan. Meskipun demikian, ia tetap menjalani pekerjaan saat ini karena harus memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Pasca-gempa 2006, ia hanya tinggal bersama dengan sang istri. Anaknya meninggal sebagai korban bencana alam itu.
Sempat sebuah LSM mendampinginya sebagai difabel korban gempa. Setelah mendapat pelatihan, ia pun ditempatkan di Yayasan Mandiri, tempatnya bernaung sekarang.
Â
Pemberdayaan Difabel
Mardi adalah satu dari 18 difabel yang bernaung dan mencari nafkah di Yayasan Mandiri Bantul. Tempat itu memang memberdayakan para difabel lewat kegiatan kriya.
Mereka memperoleh pesanan dari orang-orang untuk membuat kerajinan kayu maupun mebeler. Hasilnya tidak hanya dipasarkan di dalam negeri, melainkan juga luar negeri.
"Jumlah difabel yang bekerja di sini menurun, dulu sampai 25 orang," ujar Anton Gunawan, Kepala Produksi Yayasan Penyandang Cacat Mandiri Sewon, Bantul.
Alasannya, difabel yang tidak lagi bergabung sudah mandiri dan menjalankan usahanya sendiri. Anton tidak menampik, penghasilan bulanan yang diberikan kepada para difabel memang minim. Namun, hal itu tidak lepas dari kondisi keuangan yayasan.
Menurut Anton, Yayasan Mandiri sudah tidak mendapat pendanaan dari lembaga keuangan manapun, sehingga pesanan yang diterima juga untuk membiayai operasional yayasan.
Ia juga bercerita setiap kali ada pesanan, berusaha dikerjakan semaksimal mungkin untuk menjaga kualitas karya.
"Alhamdulillah, selama ini orang selalu ada yang datang pesan dan setiap bulan selalu ada pesanan," kata Anton.
Â
Advertisement
Bantuan dari Jepang
Yayasan Mandiri dibangun pasca gempa Bantul dan diresmikan pada 2009. Gedungnya bantuan dari Jepang, sedangkan peralatan dan isinya dibantu oleh palang merah Malaysia.
Dua tahun sebelum gempa Bantul, sebagian difabel yang bernaung di Yakkum keluar dan berdiri sendiri. Awalnya, mereka mendirikan usaha di Kretek lalu pindah ke Gabusan setahun kemudian.
"Ada gempa dan ada tawaran bantuan, syaratnya ada struktur kepengurusan, akhirnya kami mendirikan Yayasan Mandiri," ucap Anton.
Yayasan Mandiri mengajarkan keterampilan kepada para difabel yang bernaung di dalamnya. Difabel yang belum bergabung dan ingin belajar juga bisa mendaftar.
Secara teknis, mereka dipersilakan untuk magang dan dilihat perkembangannya.
Sebagian besar difabel yang bergabung berasal dari masyarakat menengah ke bawah. Selain korban gempa, yayasan ini juga menampung difabel korban kecelakaan.
Saksikan video pilihan berikut ini: