Liputan6.com, Medan - Pahlawan dari Aceh, Cut Nyak Dhien, memberikan inspirasi bagi aktris Sha Ine Febriyanti. Ia pun tergerak untuk memperkenalkan cerita Cut Nyak Dhien kepada khalayak ramai melalui pentas monolog di 10 kota.
Di Kota Medan, Ine mementaskan monolog Cut Nyak Dhien di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan, Selasa, 28 Agustus 2018. Dimulai pukul 19.00 WIB, Ine mementaskan monolog Cut Nyak Dhien hingga pukul 20.00 WIB. Selama satu jam pertunjukkan, Ine berhasil membius para penonton.
Ine mengaku, pertunjukan seni salah satu media paling efektif untuk menyuarakan, mempresentasikan, atau menyampaikan sebuah opini. Semakin baik apresiasi masyarakat terhadap seni, maka semakin maju peradaban sebuah bangsa.
Advertisement
Baca Juga
"Berangkat dari hal itu, saya tergerak untuk berbagi talenta di bidang seni pertunjukan dengan mengadakan roadshow yang menghadirkan Pentas Monolog Cut Nyak Dhien dan mengadakan workshop atau diskusi di sepuluh kota di Indonesia," kata Ine.
Didukung Bakti Budaya Djarum Foundation, kegiatan ini diselenggarakan di 10 kota di Indonesia. Mulai dari tanggal 27 April 2018 di Gianyar, Bali kemudian berlanjut pada bulan Mei ke Makassar, Solo, dan Surabaya.
Di bulan Juni, Cut Nyak Dhien bertandang ke Kudus kemudian berlanjut ke Tasikmalaya dan Bandung pada awal Juli dan Medan di akhir Agustus, serta Padang dan berakhir di Padang Panjang pada September 2018.
Ine menyebut, Cut Nyak Dhien, sebagai seorang pejuang dan juga seorang ibu, melalui cerita sejarahnya banyak memberikan inspirasi. Inilah yang menggerakan Ine untuk memperkenalkan cerita Cut Nyak Dhien kepada khalayak ramai.
"Kita belajar tentang keberanian, prinsip serta perlawanan sekuat-kuatnya dan tak henti dari sosok Cut Nyak Dhien," ujarnya.
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Ibu Sejati
Dalam monolog ini dituturkan Cut Nyak Dhien dari hutan Sumedang, tempatnya menjalani masa-masa pengasingan hingga tutup usia pada 6 November 1908. Pentas monolog ini juga didukung Subdit Seni Pertunjukan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Panitia Makassar International Writers Festival (MIWF) 2018, Swiss-Belhotel Makassar, serta komunitas-komunitas teater di daerah.
Karya ini disutradarai dan dimainkan langsung Sha Ine Febriyanti dan dipentaskan pertama kali pada tahun 2014 di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, dan dibawa berkeliling ke beberapa kota di Indonesia Pada 2015. Tahun ke-109 kepergian Cut Nyak Dhien, monolog ini dipentaskan kembali pada 16 November 2017 di Bentara Budaya, Jakarta, dan Kuala Lumpur pada 7 Februari 2018.
Medan merupakan kota ke-9 penyelenggaraan Pentas Monolog Cut Nyak Dhien oleh Ine Febriyanti. Selain pentas monolog, juga dihadirkan workshop yang ditujukan bagi generasi muda yang memiliki bakat dan minat terhadap seni teater, khususnya monolog.
Pentas Monolog Cut Nyak Dhien mengangkat sisi perempuan Cut Nyak Dhien sebagai seorang istri dan ibu yang juga goyah ketika kehilangan menghampiri kehidupannya. Dikenal sebagai seorang perempuan pejuang perkasa, Cut Nyak Dhien tak pernah menunjukkan kepedihan hati maupun dukanya saat ditinggal pergi orang yang dikasihinya, sang suami, Teuku Ibrahim ataupun Teuku Umar.
"Cut Nyak Dhien memiliki prinsip harus tetap terlihat tegar di depan anaknya, sebagai seorang ibu, juga di depan mereka yang membutuhkan tuntunan dan kepemimpinannya," terang Ine.
Simak video menarik berikut di bawah:
Advertisement
Kelembutan Wanita
Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, Renitasari Adrian menambahkan, nama Cut Nyak Dhien sudah tidak asing lagi terdengar. Sejak berada di bangku sekolah dasar, Cut Nyak Dhien sudah diperkenalkan sebagai seorang perempuan pejuang perkasa dari Nanggroe Aceh Darussalam.
"Ine mengenalkan sisi lain Cut Nyak Dhien dalam monolog ini. Pentas ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih dalam mengenai sosok Cut Nyak Dhien, serta menginspirasi masyarakat luas melalui semangat dan kegigihannya," ucap Renita.
Dalam catatan sejarah, Cut Nyak Dhien acap kali gelisah ketika suaminya pamit ke medan perang dan tak terdengar kabar keberadaannya. Meski dirinya memahami risiko yang akan dihadapi suaminya berhadapan dengan para khape di medan juang, Cut Nyak Dhien tetaplah perempuan yang punya rasa, hatinya hancur, dan menangis kala yang datang adalah kabar duka.
Pasca kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bangkit untuk meneruskan jejak dan semangat juang sang suami. Ia bergerilya bersama pasukannya hingga dirinya ditangkap dan dijauhkan dari tanah kelahirannya, diasingkan ke pulau Jawa.