Liputan6.com, Bandung - Warga Ujungberung heboh dalam beberapa waktu terakhir. Bukan karena penemuan jasad atau kebakaran hebat, melainkan karena kasus rumah Eko Bandung. Eko Purnomo, 37 tahun, tak bisa menjual rumahnya yang terletak di RT 05 / RW 06, Desa Pasirjati, Kecamatan Ujungberung.
Penyebabnya, rumah warisan milik Eko ini tidak memiliki akses jalan. Sebenarnya, terkurungnya rumah Eko di tengah pembangunan rumah-rumah tetangganya bukanlah kejadian baru. Namun, sudah terjadi sejak 2016.
Baca Juga
Eko mengklaim rumah miliknya berdiri pertama kali di kawasan tersebut, kala belum ada pola pembangunan rumah. Namun, setelah warga lain datang untuk membangun rumah, persoalan terjadi. Akses jalan rumah Eko tertutup.
Advertisement
Berbagai upaya telah dilakukan Eko untuk mendapatkan akses jalan itu kembali, termasuk mengurus ke lembaga terkait ganti rugi. Eko bahkan mencoba menyampaikan surat kepada Presiden Joko Widodo ketika orang nomor satu di Indonesia itu berkunjung ke Cimahi dalam rangka pembagian sertifikat tanah.
Namun, upaya Eko gagal. Surat tersebut tak sampai ke tangan Presiden. Eko menyerah.
Kini kasus yang dialami Eko ramai diperbincangkan. Sejumlah pihak membantu Eko menemukan solusi atas masalahnya. Termasuk, memfasilitasi pertemuan Eko dengan para tetangganya.
Namun, pertemuan Eko Purnomo dan tetangganya itu sia-sia. Pertemuan difasilitasi pihak Kecamatan Ujungberung digelar pada, Rabu 12 September 2018 kemarin. Eko tak puas. Rumahnya tetap tak punya akses jalan.
Ada dua poin utama hasil pertemuan. Yang pertama, salah satu tetangga diminta untuk membeli rumah Eko. Kedua, Eko harus membeli sebidang tanah dari salah satu tetangga untuk jalan keluar.
Eko keberatan dan ngotot akses jalan adalah haknya, meski Eko mengaku tak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Malah Eko mengancam akan membawa masalah akses jalan rumahnya ke meja hijau.
"Saya tidak mau beli jalan dan dikenakan biayanya pada saya. Intinya saya akan menuntut sesuai yang ada di sertifikat. Saya akan tunggu tiga hari ke depan kalau dari pengurus tidak ada yang memutuskan saya akan maju ke pengadilan," kata Eko saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 13 September 2018.
Eko meminta rumahnya dibeli Rp 150 juta. Eko galau. Dia sepenuhnya tidak ingin menjual rumah warisan orangtuanya dan tetap minta akses jalan rumahnya dibuka. Akses jalan yang ia maksud adalah gang yang kini telah dibangun rumah oleh salah seorang tetangganya.
"Kalau Pak Yana atau Pak Rahmat (tetangga) tidak mau beli rumah dengan harga yang saya jual maka saya terpaksa lanjut ke pengadilan," tegas Eko.
Eko mengaku tuntutannya sesuai berita acara pengukuran dan denah yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dia mendapatkannya dari BPN sejak tahun 2017 lalu.
Eko sempat memohon pengajuan kepada BPN untuk meninjau ulang rumahnya. Kemudian, BPN menerbitkan berita acara pengukuran. Dalam berita acara, terdapat gambar yang diarsir. Menurut Eko, gambar yang diarsir merupakan akses gang menuju rumahnya yang justru dibangun rumah oleh tetangganya.
"BPN dalam berita acara menyebut yang diarsir itu sebagai fasilitas umum atau jalan. Tapi dalam pertemuan, gang yang diarsir kenapa tidak dibahas?" jelas Eko.
"Untuk yang pro, saya ucapkan terima kasih sudah mau dukung saya dan memberikan doa dan dukungan. Untuk yang tidak pun nanti lah lihat di depannya masalah ini siapa salah dan benar," kata dia. Kasus rumah Eko Bandung pun terus bergulir.
Upaya Eko Mencari Jalan Keluar
Perjuangan Eko mencari jalan keluar rumahnya sudah dilakukan sejak 2017. Eko bercerita, pada 2017 lalu, ia menyambangi Cimahi. Saat itu Presiden Jokowi hadir bagi-bagi sertifikat tanah ke warga. Namun, usaha Eko bertemu Presiden nihil.
Pada tahun yang sama, Jokowi kembali ke Bandung. Kali ini menghadiri karnaval kebudayaan. Eko nekat dan berusaha mendekat untuk melempar sepucuk surat kepada Presiden Joko Widodo.
"Pas beliau lewat, saya lempar surat. Suratnya sekarang memang sudah enggak ada. Waktu itu ditulis tangan," kenang Eko.
Aksi nekatnya diketahui Paspampres. Eko pun lari terbirit-birit sambil mencari lokasi persembunyian. "Saya sampai ngumpet di toilet Dukomsel daerah Dago. Ada setengah jam saya enggak berani keluar," tuturnya.
Sebelum menemui Presiden, jalan terjal sudah dilalui Eko. Bolak-balik ke kantor BPN pun sudah biasa. "Enam kali dibolak-balik. Dari BPN ke Dinas Tata Ruang," ujarnya.
Aksi di atas hanya bagian rangkaian perjuangan Eko. Berbagai cara telah ia lakukan, mulai dari mendatangi RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, anggota dewan, partai politik, wali kota, hingga Gubernur Jawa Barat.
Kesal lantaran selalu menemui jalan buntu, Eko pun menjual rumahnya lewat media sosial. Dia mendeskripsikan rumahnya itu dijual dengan harga di bawah NJOP dan diberi penjelasan tak ada akses jalan.
"Saya tawarkan Rp 150 juta di bawah NJOP tanpa akses jalan. Setelah itu komentarnya beragam. Ada yang bersimpati, tapi ada juga yang mencibir karena tidak ada akses jalan. Tapi itu kenyataan," kata Eko.
Advertisement
Bantahan Mantan Ketua RW dan Tetangga Eko
Tetangga Eko di Ujungberung buka suara. Rahmat Riyadi yang rumahnya berada di sisi Utara rumah Eko mengaku keberatan disebut rumahnya menghalangi atau memblokir akses jalan keluar rumah Eko.
Menurut Rahmat, Eko selama ini berpegangan dengan tanda bukti dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandung. Pada surat itu dilampirkan denah gang sebagai akses keluar masuk rumah.
"Kita bicara bukti bahwa di samping kiri rumah Eko itu ada gang. Nah yang gang itu sudah dibangun, sedangkan tanah kami jauh dari rumah Eko," kata Rahmat di Kantor Kecamatan Ujungberung.
Rahmat melanjutkan, sempat mempersilakan Eko membeli tanah seluas satu tumbak sebelum membangun rumah. Namun, waktu itu Eko mengaku belum memiliki dana yang cukup.
"Tapi tuntutan Eko ingin dibuka jalan. Sementara, lokasi itu sudah dibangun rumah," ungkapnya.
Rahmat menambahkan, pernah membuatkan sebuah jalur yang bisa menembus rumah Eko.
"Karena kami hanya kemanusiaan saja apabila terjadi sesuatu di rumah Eko mau bagaimana. Waktu itu juga Eko mau masuk ke dalam ambil barang, saya persilakan," ucapnya.
Penjual tanah rumah sekaligus tetangga Eko, Saldi mengatakan, sejak awal orangtua Eko membeli tanah, memang tidak ada jalan. Namun, di pinggir rumah Eko masih ada lahan kosong. Saldi merupakan mantan Ketua RW saat jual beli tanah terjadi.
"Saya tawarkan ke dia tanah saya. Saya minta Rp 700 ribu seluas 10 meter sebelum saya membangun rumah juga," kata Saldi.
Saldi bersikeras bahwa tanah yang digunakan untuk membangun rumahnya berstatus hak milik.
"Itu sebenarnya tanah milik. Makanya saya menyalahkan kenapa disebut fasum (fasilitas umum) dan fasos (fasilitas sosial) juga BPN menerbitkan fasum. Kan itu tanah milik, suratnya ada," aku Saldi seraya menambahkan rumahnya sudah mengantongi akte jual beli.
Sudah dua tahun Eko tak lagi tinggal di rumahnya. Kini, ia bersama istri dan adik-adiknya mengontrak rumah di Kampung Ciporea, Kelurahaan Pasanggrahan, Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung.
"Tidak terasa tahun 2016 ada seorang pendatang yang membeli tanah di depan rumah dan samping kiri rumah. Dulu (tak lama setelah membangun rumah) ada juga yang membeli tanah dan membangun rumah di samping kanan dan belakang rumah," kenang Eko.
Tanggapan Pemerintah Daerah
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan belum akan turun tangan langsung untuk mencari jalan keluar polemik rumah Eko ini. Menurut dia, persoalan yang viral itu sudah diserahkan kepada Wali Kota Bandung, Oded M Danial.
"Sudah saya delegasikan ke Pak Oded. Itu kan sudah viral, tapi itu (urusan) Wali Kota," kata Ridwan Kamil.
Terpisah, Pelaksana tugas (Plt) Wali Kota Bandung, Oded M Danial mengatakan, polemik rumah Eko ini besar dugaan lantaran kurang komunikasi antartetangga. Atau diduga ada persoalan antara Eko dan tetangga sekitar yang belum terungkap. Dia menuturkan, saat ini yang terpenting adalah membuka ruang komunikasi seluas-luasnya terhadap Eko dan tetangganya.
"Sepertinya ada masalah antara pemilik rumah dan tetangganya. Nanti komunikasi," ujar Oded.
Koordinator Wilayah Ujungberung dari Dinas Tata Ruang Kota Bandung, Enay Darso menjelaskan, Pemerintah Kota Bandung dalam menerbitkan IMB mengacu pada hasil pengukuran yang dilakukan BPN. Dalam kasus ini, BPN pun telah menentukan titik fasilitas umum berupa jalan menuju rumah Eko.
"Dalam aturan yang sudah dibuat BPN itu ada tanah yang diarsir. Memang itu dalam site plan seharusnya ada untuk fasilitas umum untuk gang," kata Enay menerangkan.
Enay menambahkan, lahan yang digunakan untuk fasilitas sosial dan fasilitas umum itu bisa diambil dari tanah milik warga. Untuk kasus Eko, meskipun lahan gang tersebut milik pribadi, pemilik lahan wajib memberikan lahan itu untuk kepentingan umum. Persoalan tambah rumit ketika Eko dan tetangganya tidak memiliki IMB.
"Harusnya memberikan jalan atau fasilitas umum. Itu ada di Perda, UU juga ada. Karena akses jalan masuk hak warga, meskipun itu tanah pribadi. Kalau ada IMB, permasalahan ini tidak akan terjadi," ucapnya.
Camat Ujungberung Taufik Hidayat mengatakan, Eko bertetangga dengan Rahmat dan Saldi. Berdasarkan pantauan di lokasi, rumah milik Rahmat membelakangi rumah Eko. Sementara dari sisi kiri, kanan, dan belakang rumah Eko sudah terhalang dengan rumah lainnya.
"Kalau lihat lokasi memang ada bangunan Pak Rahmat juga ada jalan. Tapi jalan itu kan masuknya ke lingkungan Pak Rahmat, ada pintunya juga. Itu haknya Pak Rahmat ya. Tapi kita akan minta penjelasan Pak Rahmat itu," kata Taufik saat dihubungi Liputan6.com.
Advertisement
Aturan Hukum Perdata
Polemik akses jalan keluar rumah Eko disebut baru pertama kali terjadi di Ujungberung. Namun, bukan tidak mungkin masalah serupa terjadi di wilayah lain.
Aturan soal akses jalan rumah atau kewajiban bagi pemilik atau tetangga rumah telah diatur dalam KUH Perdata. Setidaknya ada dua pasal yang mengaturnya, yakni Pasal 667 dan Pasal 668 KUH Perdata.
Dalam Pasal 667 KUH Perdata disebutkan bahwa pemilik rumah yang tidak memilik akses jalan berhak menuntut lahan milik tetangganya melalui pembelian lahan dengan harga yang sesuai.
"Pemilik sebidang tanah atau pekarangan, yang demikian terjepit letaknya antara tanah-tanah orang lain, sehingga ia tak mempunyai pintu keluar ke jalan atau parit umum, berhak menuntut kepada pemilik-pemilik pekarangan tetangganya supaya memberikan jalan kepadanya melalui pekarangan pemilik tetangga itu, dengan mengganti ganti rugi yang seimbang."
Sementara, dalam Pasal 668 KUH Perdata disebutkan solusi penyelesaian masalah ketiadaan akses jalan ini bisa dilakukan dengan perhitungan kerugian paling kecil yang bakal diderita pemilik tanah.
"Jalan keluar itu harus diadakan pada sisi pekarangan atau tanah yang terdekat dengan jalan atau parit umum, namun dalam suatu jurusan yang demikian sehingga menimbulkan kerugian yang sekecil-kecilnya, bagi pemilik tanah yang dilalui," tulis pasal itu.
Namun, apabila si pemilik tanah memberikan harga penjualan atau ganti kerugian yang sangat tinggi (tidak wajar) dan tidak seimbang dengan kerugian yang diakibatkan oleh pemberian jalan keluar tersebut, maka dapat menempuh upaya hukum melalui gugatan perdata ke pengadilan negeri setempat.