Liputan6.com, Yogyakarta Air hujan kerap dianggap sepele, kedatangannya bahkan selalu dilekatkan dengan bencana. Namun tidak demikian dengan warga di Sleman. Mereka yang tergabung dalam Komunitas Banyu Bening justru melihat air hujan sebagai berkah, sumber dari kehidupan.
Melalui Kenduri Banyu Udan komunitas ini mengajak banyak orang untuk lebih dekat dan mengenal fungsi air hujan. Air dari langit ini ternyata bisa dijadikan air minum yang layak dikonsumsi setiap saat.
Advertisement
Baca Juga
Melibatkan ratusan orang dari berbagai kalangan, Kenduri Banyu Udan untuk pertama kalinya digelar di pendopo rumah dinas Bupati Sleman, Selasa (4/12/2018).
"Ini pertama kali, dua tahun sebelumnya di basecamp Komunitas Banyu Bening," ujar Sri Wahyuningsih, salah satu pendiri.
Menurut Yu Ning, sapaan akrabnya, perhelatan yang diadakan di kompleks pemerintahan Kabupaten Sleman ini bisa memiliki daya getar yang lebih kuat untuk mengkampanyekan penggunaan air hujan.
Kenduri Banyu Udan dimulai dari kirab air hujan dari basecamp komunitas yang terletak di Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman ke Pendopo rumah dinas bupati. Setelah itu sejumlah prosesi digelar, mulai dari tari-tarian, teatrikal, dan doa.
Teatrikal menggambarkan rasa syukur terhadap keberadaan air hujan. Air hujan dipuji dan didoakan.
"Air hujan mulai dilupakan masyarakat, melalui tradisi ini bisa mengingat budaya nenek moyang menabung air hujan," ucap Yu Ning.
Selain kenduri, dialog tentang air hujan juga digelar. Diskusi yang melibatkan praktis, akademisi serta birokrat itu bertujuan untuk mengenakan manfaat air hujan kepada masyarakat.
Â
Memanen Air Hujan
Aktivitas menabung air hujan sudah dilakukan Yu Ning sejak 2012. Air hujan dipanen untuk kebutuhan konsumsi, seperti, minum, memasak, menyeduh kopi, teh, dan apapun yang biasa dilakukan dengan air sumur atau air PAM.
Yu Ning menyebutkan ada dua cara yang bisa dilakukan untuk menampung air hujan. Pertama, menggunakan gama rain filter berupa tabung berukuran 1.000 liter.
Di dalamnya terdapat penyangga berlapis, jadi ketika air hujan mengalir dari talang air atau atap rumah bisa langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
Biaya pembuatan instalasi ini berkisar Rp 6 juta, namun cara ini tidak mutlak. Apabila tidak ada biaya, air hujan bisa ditampung menggunakan cara manual, sperti ember atau panci.
Namun, air hujan yang turun tidak bisa langsung ditampung.
"Harus menunggu 15 sampai 20 menit hujan turun baru ditampung supaya polutan mengendap lebih dulu," tuturnya.
Â
Advertisement
Air Hujan Layak Konsumsi
Yu Ning tidak sembarangan mempraktikkan kebiasaannya. Ia lebih dulu mempelajari secara detail seluk beluk air hujan.
Air minum yang berkualitas memiliki sejumlah syarat, antara lain Ph minimal 7 dan kandungan mineral tidak lebih dari 50 TDS.
Ia pernah mengukur kandungan mineral dalam tiga jenis air menggunakan TDS meter. Tiga gelas kecil berisi air sumur, air mineral kemasan, dan air hujan disiapkan.
Alat dicelupkan ke dalamnya. Hasilnya, kandungan mineral air sumur 78 TDS, air mineral 124 TDS, dan air hujan hanya 4 TDS.
Meskipun demikian, ia tidak menampik kualitas air hujan di setiap daerah berbeda-beda tergantung dari banyaknya tanaman dan tingkat polusi.
"Tapi air hujan tetap yang terbaik jika dibandingkan dengan jenis air lainnya dalam kondisi yang sama," kata Yu Ning.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini:
Â