Liputan6.com, Makassar - Upaya supervisi yang digemborkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah kasus dugaan korupsi baru yang ditangani Polda Sulsel, mendapat apresiasi beberapa penggiat anti korupsi di Sulawesi Selatan. Salah satunya dari lembaga binaan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi.
"Kami apresiasi upaya tegas tersebut. Dan ACC sendiri berharap penuh agar upaya tegas yang sama untuk kasus-kasus lama yang sengaja dipetieskan alias mandek oleh Polda Sulsel," kata Wakil Direktur Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Kadir Wokanubun, Rabu (18/4/2018).
Dari catatan yang dimiliki ACC Sulawesi, ada beberapa kasus korupsi yang ditangani Polda Sulsel terkesan dibiarkan mandek hingga memakan waktu penyidikan bertahun-tahun. Tak hanya itu, beberapa kasus di antaranya juga telah melalui proses supervisi. Hanya saja penyidik Polda Sulsel terkesan sengaja mengabaikan hasil supervisi terhadap kasus-kasus korupsi yang dimaksud.
Advertisement
Baca Juga
"Yang sulit dilupakan masyarakat itu kasus pembebasan lahan bandara Mangkendek, korupsi DID Lutra serta korupsi laboratoriun teknik Universitas Negeri Makassar (UNM)," beber Kadir.
Sejumlah kasus korupsi yang telah disupervisi oleh KPK tersebut, meski telah mendapatkan atensi lebih serta diberikan petunjuk penanganan yang spesifik, penyidik Polda Sulsel tak kunjung melanjutkan penyidikan kasus itu hingga rampung.
"Seluruhnya menjadi atensi publik sebab memang ditengarai melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh. Diantaranya korupsi DID Lutra, Bandara Mangkendek serta Korupsi Laboratorium Teknik UNM," jelas Kadir.
Menurut Kadir, seharusnya sejumlah kasus korupsi yang telah melalui proses supervisi punya progres yang kuat. Karena pada prinsipnya, KPK lakukan supervisi disebabkan adanya kendala yang dimiliki penyidik Polda Sulsel dalam perampungan proses penyidikan sebelumnya sehingga terhambat.
"Jadi sekarang mau apa lagi. Seharusnya tidak ada lagi alasan bagi penyidik tipikor Polda Sulsel untuk tidak menindaklanjuti kasus tersebut. Kan lucu sudah ada petunjuk malah dipetieskan," tegas Kadir.
ACC Sulawesi berharap agar KPK tidak hanya sekedar menggemborkan upaya supervisi terhadap sejumlah kasus-kasus korupsi khususnya yang ditangani Polda Sulsel, tanpa memberikan penegasan untuk segera ditindaklanjuti bukan justru mengabaikannya.
"Kalau tidak demikian, tentu saja konsekuensinya, KPK atau ACC Sulawesi akan melaporkan dugaan kongkalikong dalam kasus-kasus korupsi tersebut pada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas),” Kadir menandaskan.
Tunggu Audit BPKP Sulsel
Terpisah, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono mengatakan untuk kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja pihaknya sudah melimpahkan ke Kejati Sulselbar untuk diteliti. Namun belakangan menurut jaksa masih ada beberapa kekurangan yang perlu dibenahi.
"Selain itu kita juga masih menunggu hasil audit kerugian negara dari BPKP Sulsel," ucap Yudhiawan via telepon, Rabu (18/4/2018)
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RI Laode Muhammad Syarif sempat kaget mendengar kabar penyidikan dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Kabupaten Tana Toraja yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel belum rampung hingga saat ini.
Sementara kasus tersebut, diakuinya, telah disupervisi dan dilakukan gelar perkara bersama dengan menghadirkan penyidik Polda Sulsel dan tim peneliti Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel di gedung KPK RI.
"Hasil supervisi sudah jelas. Itu juga merupakan permintaan Polda Sulsel dan Kejati Sulsel. Kita juga sudah lakukan gelar perkara bersama di KPK. Oh ya belum rampung yah saya coba cek nanti," kata dia saat ditemui usai menghadiri acara Bung Hatta Tour yang digelar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar di gedung Aula Fakultas Pertanian Unhas, Rabu 6 September 2017.
Saksikan Video Pilihan Di Bawah Ini:
Advertisement
Kronologis Dugaan Korupsi Pembebasan Lahan Bandara Mangkendek
Penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.
Usai penetapan 8 orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun karena masa penahanan keduanya habis, mereka pun dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.
Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel diam-diam membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya. Mereka adalah Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy, Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang, Mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla
Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.
Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Dan di tahun 2017, KPK pun melakukan supervisi dan mengundang pihak Polda Sulsel dan Kejati Sulsel untuk melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun faktanya hingga saat ini penyidikan tak kunjung juga rampung.
Dari hasil penyidikan, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki alas hak atas lahan tersebut.
Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mangkendek sebesar Rp 38,2 miliar.
Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp 40. 250 per meter persegi. Sementara hal itu belum di sepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.
Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering non sertifikat senilai Rp 21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp 25.000 per meter persegi, tanah basah non sertifikat Rp 35.000 permeter per segi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.
Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI Nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.
Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Dimana keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang telah di periksa penyidik saat itu.
Beberapa saksi telah mengaku dan membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.
Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp 21 Miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Dimana kerugian ditetapkan hanya senilai Rp 7 M lebih.
Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Propinsi Sulsel. Dari data yang dihimpun, kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.