Liputan6.com, Yogyakarta Seperti daerah lainnya di Indonesia, Yogyakarta pun memiliki batik sendiri. Keberadaan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ikut memengaruhi motif-motif yang diterapkan dalam lembaran kain batik.
Jogja International Batik Biennale (JIBB) 2018 memamerkan batik-batik yang memiliki motif sarat filosofis. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merepresentasikan sifat pemimpin atau raja.
Batik motif parang rusak seling pamor naga raja, misalnya, menggambarkan kesaktian, kewibawaan, dan keperkasaan seorang raja. Batik berornamen naga raja ini hanya boleh dikenakan oleh sultan atau raja.
Advertisement
Baca Juga
Ada pula batik motif temboran berupa ornamen parang dan nitik yang dibingkai menjadi bentuk tembor atau nampan. Di sela ornamen pokok diberi ornamen pengisi berupa burung yang cantik di antara daun dan bunga. Motif ini menyimbolkan keikhlasan untuk menyajikan atau memberikan kebaikan di dalam hidup ini.
Batik yang menggambarkan nilai kepemimpinan lainnya adalah batik motif ceplok purbonegoro. Ceplok purbonegoro berbentuk seperti bunga Helianthus Annus, keluarga Compositeae. Sesuai namanya, purbo berarti memelihara dan negoro adalah negara, motif ini bermakna pemimpin memiliki kewajiban memelihara negara dan lingkungan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Selain JIBB 2018, batik-batik klasik juga sesekali ditampilkan dalam pameran-pameran tertentu. Perhelatan Batik dan Batok Night Kampung Wisata Budaya Langenastran di Ndalem Daradjaten pada tiga tahun lalu juga pernah menampilkan aneka batik klasik yang tidak tersimpan di museum dan jarang dipublikasikan karena merupakan koleksi pribadi.
Dalam acara itu, batik karya permaisuri Paku Alam (PA) X juga ikut dipamerkan. Ia membuat batik karena terinspirasi dari naskah kuno Pakualaman. Motif-motif yang diciptakannya, antara lain, Batik Indra Widagda, yang merupakan simbol dari teladan Bathara Indra yang tiada henti mencurahkan ilmu pengetahuan.
Motif ini bermakna seorang pemimpin yang baik harus memperhatikan kemajuan intelektual masyarakat yang dipimpinnya. Dia juga harus berwawasan luas sehingga dapat dijadikan tempat untuk bertanya.
Batik lainnya yang dibuat oleh permaisuri PA X adalah motif batik Yama Linapsuh. Motif ini diambil dari kata Yama atau Bathara Yamadipati dan Linapsuh yang berarti terbasmi atau disirnakan.
Makna motif batik ini adalah simbol dari teladan Bathara Yamadipati sebagai penegak hukum dan penumpas kejahatan. Motif ini mengandung nilai seorang pemimpin yang baik harus mampu bersikap adil dan tegas dalam menegakkan hukum. Hukum harus diterapkan merata, termasuk anggota keluarganya sendiri.
Selain itu, ada juga motif batik Baruna Wicaksana merupakan simbol dari teladan Bathara Baruna sebagai pujangga yang cerdas dan bijaksana. Seorang pemimpin yang baik perlu memiliki kepandaian, sikap yang bersahaja, dan mampu mengayomi.
Kebiasaan Membatik Para Permaisuri
Kala itu, Ketua Paguyuban Kampung Wisata Langenastran, Sumartoyo, menjelaskan permaisuri kerajaan sejak zaman dulu terbiasa membatik untuk kepentingan adat kerajaan. Motif batik tertua yang masih tersimpan sebagai koleksi pribadi adalah Kotak Nitik. Pembuatannya rumit karena setiap kotak memiliki motif yang berbeda-beda.
"Ada sekitar 30 motif pada lembar batik," ujarnya.
Batik ini dibuat pada awal 1900, sebelum Sultan HB IX berkuasa. Ketika Sultan HB IX naik tahta, batik ini pernah dipakainya saat upacara grebeg.
Istri Sultan HB VIII, KRAy Retno Wilanten, juga pernah membuat batik motif Parang Cokong. Batik ini dikenakan saat GBRAy Murdokusumo melaksanakan upacara tetesan pada 1950.
Ada pula batik kuno yang pernah hilang karena terbawa kolektor saat pameran. Batik motif Klitik Bigon Nitik buatan GRAy Sindurejo, putri Sultan HB IX, itu akhirnya bisa ditemukan dan diduplikasi. Sementara, batik yang asli dikembalikan ke keraton.
Advertisement