Liputan6.com, Aceh - Persentase kasus penyalahgunaan lem atau mabuk lem di kalangan remaja Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh meningkat tahun ini. Pelakunya sekitar 10-16 persen dari total jumlah pelajar aktif di kota itu.
Berdasarkan data Yayasan Permata Atjeh Peduli (YPAP), rata-rata pelaku masih berada pada usia produktif, yang berkisar antara umur 15-25 tahun. Salah satu lem yang digunakan berjenis 'Cap Kambing', yang sering dipakai untuk bahan perekat kayu, kulit, karet, dan lain sebagainya.
"Dari mereka semua yang masuk ke panti sudah tidak mampu sekolah lagi karena terjadi perubahan perilaku, seperti sering mengamuk, meresahkan keluarga, dan kebanyakan dari mereka adalah klien intervensi atau tangkapan paksa," ungkap Direktur YPAP, Chaidir kepada Liputan6.com, Senin sore (26/8/2019).
Advertisement
Baca Juga
Menurut direktur yayasan yang fokus mencegah serta menanggulangi HIV-AIDS dan narkoba, mabuk lem saat ini menjadi tren di kalangan remaja karena harganya terbilang murah. Bahkan menjadi simbol pergaulan pada kalangan remaja tertentu.
Yayasan itu merekam, setidaknya tiga remaja divonis mengidap gangguan jiwa akibat keseringan mabuk lem. Angka ini terbilang meningkat dibanding tahun sebelumnya, di mana hanya satu orang saja yang memperlihatkan gejala psikosis.
Chaidir yakin angka penderita kemungkinan besar jauh lebih banyak. Mengingat banyak permintaan orang tua penderita agar anaknya direhabilitasi harus ditolak oleh pihaknya karena faktor keterbatasan tempat.
Dirinya berharap masalah ini mendapat perhatian yang intens dari pihak-pihak terkait. Selama ini terdapat celah yang memberi kelonggaran bagi para remaja berusia produktif yang membuat mereka terjebak dalam pergaulan yang notabene dapat merusak masa depan generasi muda.
Lingkungan primer serta lingkungan pendidikan tentu saja menjadi faktor yang menentukan. Namun, daya tanggap para pedagang yang bisa membaca gelagat konsumen dari kalangan remaja juga jadi salah satu dari sekian banyak cara untuk meminimalisir mabuk lem.
"Pemerintah melalui Dinas Kesehatan dan BNNK sudah melakukan sosialisasi ke sekolah. Namun kurang maksimal. Peran serta sekolah, orang tua dan juga pedagang harus diedukasi. Misal adanya imbauan mewaspadai gejala pemakaian lem pada remaja," jelasnya.
Apa Sanksi Penyalahgunaan Lem?
Kandungan lem Cap Kambing terdiri dari bahan karet sintetik, resin, dan pelarut yang disebut dengan toluena. Dalam industri farmasi, cairan bening ini sering digunakan untuk membuat pemanis buatan sakarin dan anastesi lokal.
Dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dijelaskan bahwa toluena merupakan salah satu jenis prekursor narkotika.
Disebutkan dalam pasal 129 bahwa pelarangan atas pemanfaatan prekursor berlaku apabila motifnya untuk membuat narkotika.
Baik itu memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, memproduksi, mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan, membawa, mengirim, mengangkut, atau menyinggahkan (transit narkotika).
Selama ini tidak ada sanksi khusus terhadap pelaku penyalahgunaan lem karena pelaku hanya memanfaatkan bahan yang terkandung di dalam lem tersebut. Sedangkan lem merupakan barang komersil yang statusnya legal.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan kasus penyalahgunaan bensin— yang juga mengandung toluena—dengan jalan menghirup aromanya untuk mendapat rangsangan pada jaringan saraf.
Di satu sisi, keduanya tentu saja berdampak buruk bagi kesehatan.
"Efek yang harus diketahui oleh masyarakat umum pada perubahan perilaku anak, misal berdampak pada emosional, anak berperilaku kasar, dan bicara cadel serta malas belajar," terang pengelola Panti Pemulihan Adiksi Narkoba di kawasan Ujong Blang, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe itu.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement