Liputan6.com, Bangkalan Penyair D Zawawi Imron menghadiahkan sebuah lukisan panorama ketika kami bertemu di rumahnya untuk sebuah wawancara pada 2017.
Lukisan itu menggambarkan panorama Desa Batang-batang, rumah Zawawi di Kabupaten Sumenep, Madura, yang berbukit dengan jajaran pohon siwalan. Ada siluet keluarga petani berjalan di tepi sungai Batang-batang yang tadah hujan, si anak berjalan paling depan, ibunya di tengah dengan menyunggih sesuatu di kepala dan si bapak berjalan paling buncit.
"Di mana pun, orang Madura kalau jalan pasti berbaris, itu karakteristik. dan para perempuan kalau membawa sesuatu pasti di sungguh di kepala," kata Pak D, sapaan akrab Zawawi Imron, yang dijuluki penyair Celurit Emas.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Keahlian perempuan Madura memanggul barang dengan kepala sudah terkenal sejak zaman kolonial. Di Perantauan mereka umumnya berjualan rujak dan sate, semua barang dagangan ditaruh dalam kotak kayu yang disunggih dan dijajakan keliling pemukiman.
Di zaman kiwari, nyaris tak ada lagi penjual sate keliling. Kebanyakan telah beralih mangkal dengan gerobak, itu pun didominasi para pria sebagai pramusajinya. Yang masih bisa dijumpai adalah perempuan Madura penjual rujak keliling yang tetap menyunggih lapak dagangannya.
"Di Balikpapan Kaltim masih ada penjual rujak keliling dari Madura," kata Sofiyati, Warga Gunung Satu, Kecamatan Balikpapan Barat kepada liputan6.com, Kamis, 14 Mei 2020.
Simak video pilihan berikut
Menyunggih Adalah Tradisi
Dalam banyak aktivitas orang Madura, menyunggih lebih digemari ketimbang menenteng. Ketika melayat tetangga yang meninggal, beras atau gula yang dibawa kaum hawa disunggih di atas kepala.
Sehabis nyabit rumput di pematang sawah, pakan ternak itu dibawa pulang dengan disunggih. atau ketika menimba air minum di sumur, ember yang penuh berisi air juga disunggih.
Bahkan saat panen raya, para pria mengangkut hasil bumi dengan ontel atau sepeda motor., sedang kaum hawa Madura tetap menyunggih hasil bumi seberapa pun beratnya.
Mereka hanya butuh selembar kain jarik yang digulung melingkar sebagai alas, agar tak menyakiti ubun-ubun dan agar tak licin sehingga barang bawaan tak mudah tergelincir.
"Hasil bumi gampangan diangkut pakai kepala, simple, gak ribet, dan tak perlu ongkos. Kalau pakai motor masih ada biaya bensin," kata Sari, 50 tahun, warga Desa Ganding, Kabupaten Sumenep.
Di Bangkalan, Emak-emak di Pasar Salak Klobungan, Kecamatan Socah, terkenal karena keahlian 'akrobatiknya' menyunggih bak plastik yang berat berisi salak sambil berjalan kaki atau naik ontel.
"Sekarang agak sulit dijumpai, sekarang rata-rata sudah punya sepeda motor, gak disunggih lagi tapi diikat di belakang," kaga Zaini, Warga Desa Bilaporah.
Â
Advertisement