Pansus DPRD Rote Ndao Temukan 15 Mantan Napi Korupsi di NTT Kembali Aktif Jadi PNS

Sebanyak 15 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) lingkup pemerintah daerah Kabupaten Rote Ndao, NTT diduga bekerja secara ilegal. Pasalnya, status ASN mereka telah dihapus pada data kepegawaian negara.

oleh Ola Keda diperbarui 21 Jul 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2020, 12:00 WIB
Ilustrasi korupsi.
Ilustrasi korupsi.

Liputan6.com, Kupang - Sebanyak 15 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) lingkup pemerintah daerah Kabupaten Rote Ndao, NTT diduga bekerja secara ilegal. Pasalnya, status PNS mereka telah dihapus pada data kepegawaian negara.

Ke-15 PNS yang punya jabatan starategis itu dihapus dari status PNS karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Sesuai UU ASN, 15 orang ini harus dipecat. Ironisnya, mereka masih menjalani pekerjaan dan masih menerima gaji layaknya PNS lain.

Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Rote Ndao, Paulus Henuk, mengatakan, pengaktifan kembali PNS Tipikor itu ditemukan oleh pansus LKPJ DPRD Rote Ndao. Dalam penelusuran Pansus, ditemukan dugaan adanya kerugian negara.

"Saat ini sedang dibahas oleh Pansus. Kita dorong agar ditindaklanjuti aparat hukum, karena kerugian negara mencapai miliar rupiah," ujarnya kepada wartawan, Senin (20/7/2020).

Ia menjelaskan, pada tahun 2018 terdapat tiga SK yang diterima yakni SK dari Kepala BKN, Menpan RB dan Kementerian Dalam Negeri kepada seluruh Pemda mulai tingkat Provinsi hingga Kabupaten/Kota tentang pemberhentian PNS yang terlibat Korupsi. Untuk keseluruhan Indonesia, tercatat sebanyak kurang lebih 9 ribu orang.

Meski demikian, hingga tahun 2019, Pemda Rote Ndao melakukan pembangkangan dan tidak melaksanakan SK tersebut. 16 PNS Tipikor yang mestinya diberhentikan dengan tidak hormat tertanggal 31 Mei 2019. Namun, pada 24 April 2019, Bupati Rote Ndao menerima pengajuan keberatan secara administratif kepada pemerintah, sehingga dari 15 PNS dicabut SK pemberhentiannya, sementara satu PNS diberhentikan secara permanen.

Dengan pencabutan SK pemberhentian, 15 orang ini pun kembali diaktifkan. Saat pengajuan gaji, diketahui, dua dari 15 PNS ini namanya sudah tidak tercatat di sistem kepegawaian. Sementara, yang bersangkutan masih diberikan jabatan struktural.

"Tentunya ada tanda tangan secara administratif saat mereka menjabat. Bagaimana mungkin seorang PNS yang sudah tidak diakui, masih menjabat dan digaji? Dasar hukum apa yang dipakai," tegas politikus Partai Perindo itu.

Ia mengatakan, Pansus LKPJ Kabupaten Rote Ndao juga sudah mendapat penjelasan bahwa pemberhentian dan penghapusan nama ke-15 PNS ini sejak akhir Desember 2019.

"Artinya, dari 1 Januari 2020 sampai hari ini sudah 6 bulan lebih orang itu bekerja ilegal, karena satus PNS sudah tidak ada," ujarnya.

Meski demikian, selama bekerja, 15 PNS ini tetap mendapat gaji dan diberi tunjangan. "Pemberian jabatan dan gaji dari bulan Januari sampai Juni. Kerjanya ilegal, lalu dasar pembayaran gaji oleh Pemda itu apa," katanya.

Ia menjelaskan, setelah disoroti Pansus DPRD,15 PNS itu tiba-tiba kembali diberhentikan Pemda.

"Saat ini mereka kembali diberhentikan, sementara Pemda selama ini membayar gaji mereka," tandasnya.

Ia menjelaskan, ada perintah peraturan pemerintah bahwa bagi PNS yang sudah berkekuatan hukum tetap putusannya, mestinya diberhentikan. Jika masih diaktifkan, maka ada dugaan kuat terjadinya kerugian keuangan negara.

"Ini bisa kita katakan sudah ada kerugian negara. Mereka ada gaji pokok ada tunjangan, ada uang perjalanan dinas apalagi yang masuk dalam anggaran pemerintah itu dia ada honor pengelola cukup besar sehingga negara mengalami kerugian miliaran rupiah," tegasnya.

Dugaan kerugian negara ini disebabkan akibat adanya SK dari pimpinan atau pemberi SK.

"Pemberi SK yang harus bertanggung jawab. Kalau soal hukum nanti kita serahkan ke penegak hukum. Yang mengeluarkan adalah Bupati Rote Ndao. Dia yang tanda tangan karena secara kewenangan ada di Bupati," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Komisi A, Veki Bulan yang juga anggota Pansus, membenarkan temuan pansus atas dugaan kerugian negara tersebut. Ia mengaku tidak paham mekanisme serta dasar hukum apa yang digunakan oleh pemerintah hingga melawan undang-undang sebagai dasar hukum tertinggi dan melawan perintah pemerintah pusat.

"Ini kejadian pembangkangan hanya terjadi di Kabupaten Rote Ndao. Ini sangat aneh dan nyata," ujarnya.

Terhadap temuan tersebut, mantan jurnalis tersebut mengaku akan berkoordinasi dengan kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya untuk segera ditindaklanjuti.

Terpisah, Bupati Rote Ndao, Paulina Haning Bulu, saat dikonfirmasi wartawan, Senin (20/7/2020) enggan berkomentar.

"Itu dia punya tanggapan, saya tidak ada urusan, no comment, saya tidak mau menanggapi orang-orang yang tidak bertanggungjawab," dia memungkasi.

Simak juga video pilihan berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya