Konversi Bank Konvensional ke Syariat Kena Protes, Partai Lokal Melawan

Pemberlakuan konversi perbankan dari bank konvensional ke bank syariat di Provinsi Aceh kena protes sejumlah lembaga, dan ini bikin Partai Nanggroe Aceh (PNA) bereaksi. Simak beritanya:

oleh Rino Abonita diperbarui 05 Sep 2020, 20:29 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2020, 20:00 WIB
Struktrur organisasi PNA sedang berfoto dalam suatu acara kepartaian (Liputan6.com/Ist)
Struktrur organisasi PNA sedang berfoto dalam suatu acara kepartaian (Liputan6.com/Ist)

Liputan6.com, Aceh - Baru-baru ini, Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Aceh, mengadu ke Komnas HAM RI untuk memprotes pemberlakuan konversi perbankan dari bank konvensional ke bank syariat di provinsi itu. Aduan ini seiring dengan bergulirnya sejumlah komplain terhadap Qanun No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS).

IKADIN menilai terdapat kesalahan tafsir atas salah satu pasal dalam qanun yang menurut mereka hanya melahirkan keterbatasan jangkauan pelayanan terutama yang menggunakan metode nondigital. Misal, ketika salah satu bank menyarankan untuk mendatangi bank di luar Aceh jika mengurus keperluan administrasi perbankan secara tatap muka.

Perubahan sistem perbankan ini sendiri merupakan terjemahan dari pasal 21 Qanun No. 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. Bahwa, lembaga keuangan yang akan beroperasi di Aceh harus berdasarkan prinsip syariat, membuka unit usaha syariat, termasuk transaksi keuangan yang menggunakan prinsip syariat bagi pemerintahan provinsi serta kabupaten/kota.

Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh beserta salah satu lembaga advokasi juga meminta otoritas setempat agar mengevaluasi kembali Qanun LKS karena pelbagai dampaknya kepada nasabah kudian hari. Namun, riak-riak ini mendapat sambutan yang berlawanan dari salah satu partai lokal.

Adalah Partai Nanggroe Aceh (PNA), via Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Affan Ramli, mengatakan bahwa protes-protes yang demikian hanya akan membuang buang-buang energi. Ia pun berharap intelektual kampus di Aceh tidak merespons, jika perlu mengabaikan, karena komplain seperti itu hanya muslihat dari mereka yang membela sistem bank konvensional yang menurutnya kapitalis.

“Ini waktunya mengerahkan pikiran menemukan formula-formula baru perbankan syariat yang lebih adil, sehingga perubahan tidak hanya terjadi pada nama dan kulit-kulit, padahal rakyat miskin tetap mengalami pengisapan oleh orang-orang kaya pemilik dan pengelola bank berlabel syariat,” kata Ramli, dalam keterangan tertulisnya kepada Liputan6.com, Jumat malam (04/09/2020).

 


Qanun LKS Dinilai Langkah Maju Perbankan Aceh

Affan sadar, ada pihak tertentu yang akan merasa rugi ketika perubahan sistem perbankan dari konvensional menjadi syariat ini terjadi. Hal itu lumrah, karena setiap perubahan tidak mungkin bisa membahagiakan semua orang, namun, Affan berharap publik sadar bahwa keberadaan Qanun LKS harusnya tidak terbantahkan bagi upaya untuk melawan sistem perbankan kapitalis yang menurutnya bersembunyi di balik topeng syariat selama ini.

“Rakyat Aceh dua kali lebih dirugikan jika perubahan nama dari konvensional ke perbankan syariat berhenti pada prosedur-prosedur transaksi saja, beralih pada akad berbahasa arab saja. Rakyat rugi akibat transaksi masih sarat kezaliman dan kezaliman itu dilakukan atas nama syariat," tegasnya.

Partai yang identik dengan warna oranye itu menilai bahwa lahirnya Qanun LKS merupakan satu langkah maju di dunia perbankan Aceh yang patut mendapat apresiasi. Kendati di samping itu, keberadaannya bisa jadi pisau bermata dua.

Di satu sisi dapat melawan praktik-praktik kapitalisme, jika dilakukan dengan serius. Namun, di sisi lain, pelaku industri jasa keuangan, baik perbankan maupun lembaga keuangan lainnya bisa menjual merek syariat untuk meraup keuntungan bisnis sepihak.

"Maukah pihak bank menghentikan praktik-praktik riba dalam pelbagai bentuknya, sharing risiko, dan memihak pada usaha-usaha kecil menengah rakyat?” tanya Affan.

Bagi Affan, sebenarnya berlabel syariat atau bukan tidaklah penting asal praktiknya sesuai kualitas pelayanan yang adil dan memihak rakyat miskin. Selain itu, lembaga keuangan yang baik untuk Aceh pun tidak cukup berdimensi syariat saja, dalam makna yang sempit, tapi, juga harus berdimensi adat atau taat pada tradisi akhlak sosial.

Adat atau akhlak berkonsentrasi pada isu zalim atau adilnya sebuah praktik ekonomi. Sementara, fikih berkonsentrasi pada isu sah atau batalnya prosedur transaksi, terangnya.

“Bank syariah sebaiknya menggabungkan keduanya. Kerangka kerja fikih yang mementingkan prosedur yang sahih dan kerangka kerja adat yang mengejar substansi akhlak islami dalam pengelolaan sumber daya ekonomi," tawar Affan.

Gabungan antara konsep syariat dengan adat ini ia sebut sebagai prinsip syahadat dalam pengelolaan lembaga keuangan. Namun, hal ini mesti beriringan pula dengan pelbagai koreksi terhadap bank syariat melalui gagasan, produk, hingga prosedur tetap yang baru, demikian Affan.


Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya