Liputan6.com, Gorontalo - - Warga di Desa Pentadio Barat, Kecamatan Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo, harus merelakan ternak mereka mati begitu saja. Diduga kuat, kematian ternak mereka setelah meminum air lindi rembesan dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Regional Gorontalo.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Mustafa, kini ia tidak tahu harus berbuat apa, sebab puluhan itik yang dipelihara mati setelah mengonsumsi air sungai yang tidak jauh dari rumahnya.
Advertisement
Baca Juga
“Itik saya mati setelah meminum air sungai yang diduga kuat tercemar dengan air lindi dari TPU,” kata Mustafa.
Ia mengaku, akibat kejadian ini dirinya sangat mengalami kerugian besar. Beternak itik manila merupakan pekerjaan yang sudah puluhan tahun dia lakoni.
Selain itu, beternak itik merupakan pekerjaan satu-satunya. Dari hasil penjualan itik itulah, ia bisa memenuhi keperluan keluarga.
Harga itik manila jantan Rp130 ribu, betina Rp75 ribu. Untuk pemasaran, dijual ke Manado, Sulawesi Utara. Sebagian juga jual di Gorontalo.
“Kini semua sudah sirnah, saya tidak tau mau mengadu kemana, sementara beternak adalah pekerjaan saya untuk menghidupi keluarga,” tuturnya.
“Awalnya, ada 40 ekor mati, satu bulan kemudian, 40 mati lagi. Saya rugi banyak, saya stres saat itu,” kata Mustafa ambil merunduk.
Menurutnya, merenungi nasib yang berkepanjangan bukanlah jawaban, ia terus merawat itik yang tersisa. Sembari merawat sisa itik itu, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pekerjaan serabutan adalah pelariannya.
“Disamping merawat sisa itik, saya kini bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga,” ungkapnya.
Serupa dirasakan Sumi Budo, warga Desa Pentadio Barat juga mengalami hal yang sama. Sekitar 130 ekor itik miliknya mati usai minum air sungai di belakang rumahnya.
“Awalnya memang terlihat biasa saja, lama kelamaan itik mulai sakit satu persatu dan akhirnya mati. Sebagian saya langsung bagikan ke warga untuk dipotong sebelum mati,” kata Sumi
Menurutnya, akibat rembesan air limbah TPA tersebut, air sungai yang hanya berjarak dua meter dari rumahnya itu, kini berwarna kecoklatan. Tidak hanya itu, bau menyengat keluar dari air sungai itu.
“Saya menduga, itik saya mati karena mengkonsumsi air sungai yang sudah dicemari limbah dari TPA,” ungkapnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kandungan Air Lindi
Dugaan kuat warga ternyata benar. Air lindi ke sungai, sudah melebihi nilai ambang batas baku mutu. Berdasarkan hasil pengujian Dinas Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Kabupaten Gorontalo di Laboratorium Kualitas Air Dinas Kesehatan mereka.
Hasil uji memperlihatkan, kandungan residu terlarut atau zat padat terlarut di masing-masing lokasi itu mencapai 4.850, 3.700, 195, 265, dan 555. Dua dari lima lokasi, melebihi batas standar baku mutu sebesar 1.000 Mg/L berdasarkan data yang dirilis Mongabay.
Selain itu, tingkat kandungan biological oxygen demand (BOD5) atau jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk mengurai zat sisa pada limbah di masing-masing lokasi itu mencapai 4.1, 5.3, 0.8, 1.4, dan 1.4. Zat ini juga dinyatakan melebihi ambang batas standar baku mutu sebesar 2 Mg/L.
Advertisement
Banyak Limbah Medis
Berdasarkan temuan Liputan6.com di lokasi TPA, saat ini ada limbah medis. Mulai dari masker bekas dan beberapa botol infus pasien yang masih berisi cairan.
Ece Katili, pemulung di TPA mengatakan, kerap menemukan sampah medis, kalau sedang bekerja. Botol infus, masker bekas, jarum suntik, hingga obat-obatan.
“Semua sampah medis itu, biasa dimasukkan di kantong plastik. Hari-hari yang saya temukan itu di TPA ini. Kalau sampah-sampah begitu, kita takut untuk menyentuhnya,” kata Ece.
Sampah medis ini sudah ada sejak dulu. Hanya saja, saat pandemi makin banyak. Dia menduga, sampah itu dari rumah sakit, rumah warga dan apotik di Gorontalo.
Marten Jusuf, Kepala UPTD TPA Sampah Regional Provinsi Gorontalo tak menyangkal hasil uji sampel baku mutu sudah melebihi ambang batas. Dia mengaku, air lindi dari pengelolaan sampah sedari dulu mencemari lingkungan sekitar. Keluhan warga terkait kerap dia dapatkan.
“Ini masalah sudah lama saya tahu. Bahkan, warga sering mengeluh ke TPA. Hanya, saya baru enam bulan jadi Kepala TPA. Saya belum memiliki langkah konkret untuk menangani masalah ini,” ia menandaskan.