Liputan6.com, Padang - Hutan menjadi salah satu tonggak penting dalam kelangsungan hidup manusia. Rusaknya hutan juga akan mempengaruhi kelangsungan hidup manusia hingga flora dan fauna.
Kerusakan hutan yang terjadi di Sumatera Barat, tak hanya merusak lingkungan, tapi juga membawa bencana turunan yang memakan korban jiwa.
Data dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi merinci, lebih dari separuh wilayah Provinsi Sumbar merupakan kawasan hutan, yakni seluas 2.286.883 hektare atau 52 persen.
Advertisement
Hingga 2021 luas tersebut menyusut menjadi 41 persen atau 1.744.549 hektare. Sejumlah aktivitas manusia menjadi penyebab berkurangnya tutupan hutan di Sumbar, seperti pertambangan emas ilegal dan pembalakan liar.
Data yang dikeluarkan Warsi dalam catatan akhir tahun 2021, pertambangan emas tanpa izin atau ilegal di Sumbar terdapat di empat daerah yakni Dharmasraya luasnya mencapai 1.773 hektare, Solok 1.533 hektare, Solok Selatan 2.559 hektare, dan Sijunjung 1.103 hektare.
Baca Juga
"Tambang emas ilegal biasanya terjadi di sungai utama atau pun sungai kecil dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL) dan hutan lindung," Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf beberapa waktu lalu di Padang.
Penambangan emas ilegal tersebut, lanjutnya mengakibatkan kerusakan hutan dan lingkungan serta timbulnya bencana longsor di sekitar kawasan tambang.
Sepanjang 2021, terhitung tiga kali terjadi longsor di kawasan tambang emas di Dharmasraya dan Solok Selatan.
Atas kejadian tersebut, 14 orang meninggal karena tertimbun longsor dan 14 orang mengalami luka-luka, 40 orang ditangkap, dan 4 dompeng serta peralatan tambang lainnya diamankan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pembalakan Liar di Sumbar
Selain penambangan emas ilegal, pembalakan liar juga menjadi penyebab rusaknya hutan di Sumbar. Warsi mencatat, pemabalakan liar terjadi di Solok Selatan, Dharmasraya, dan Pesisir Selatan.
"Pada 2021 sebanyak empat orang ditangkap dan 313 batang kayu balok diamankan," kata Rudi.
Menurutnya kerusakan ekologi menjadi salah satu pemicu terjadinya bencana alam. Tercatat terjadi bencana 11 kali banjir di Solok Selatan, Kota Solok, Padang Panjang, Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Sijunjung, Kota Padang, dan Siberut.
Kemudian bencana longsor terjadi 8 kali sepanjang 2021, di antara Padang Pariaman, Dharmasraya, Bukittinggi, Agam, Payakumbuh, dan Solok. Dampak dari bencana tersebut 9 orang meninggal dunia, 3181 rumah terendam banjir, 6 rumah rusak, dan 1 jembatan ambruk.
Rusaknya hutan akibat aktivitas manusia itu, juga mengakibatkan terjadinya konflik satwa dengan manusia. Satwa liar masuk ke perkebunan dan pekarangan warga yang juga melibatkan hewan ternak.
"Kami mencatat sepanjang 2021, konflik satwa yang terjadi 7 konflik satwa, 2 buaya, 3 harimau, 2 beruang madu. Akibatnya 1 orang meninggal dunia serta hewan ternak mati," ujarnya.
Advertisement