Prosesi Unik Jemparingan dalam Tradisi Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga

Ada acara baru yang yang masuk sebagai salah satu kegiatan yang melibatkan para ahli waris Sunan Kalijaga. Acara tersebut adalah Jemparingan atau tradisi panahan yang konon mulai diciptakan sejak zaman Kerajaan Mataram

oleh Kusfitria Marstyasih diperbarui 10 Jul 2022, 06:00 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2022, 06:00 WIB
Para penjemparing di Kadilangu Demak, tengah membidik target wong-wongan, Sabtu (9/7/2022). (Foto: Liputan6.com/Kusfitria Marstyasih)
Para penjemparing di Kadilangu Demak, tengah membidik target wong-wongan, Sabtu (9/7/2022). (Foto: Liputan6.com/Kusfitria Marstyasih)

Liputan6.com, Demak - Ada yang berbeda dengan rangkaian acara penjamasan pusaka Sunan Kalijaga di tahun 2022 Masehi yang bertepatan dengan tahun 1443 Hijriyah.

Sebelumnya, penjamasan pusaka milik Sunan Kalijaga hanya diisi dengan rangkaian acara Ganti Luwur, Suluk Linglung, Pembukaan Cungkup Makam, Selamatan Ancakan, Atraksi Pagar Nusa dan puncaknya adalah Kirab dan Upacara Penjamasan Pusaka.

Tahun ini ada acara baru yang yang masuk sebagai salah satu kegiatan yang melibatkan para ahli waris Sunan Kalijaga. Acara tersebut adalah Jemparingan atau tradisi panahan yang konon mulai diciptakan sejak zaman Kerajaan Mataram.

R Mike Santana, panitia Jemparingan mengatakan bahwa acara ini diadakan di Area Kolam Segaran di lingkungan makam Sunan Kalijaga Kadilangu Demak.

“Memang baru tahun ini diadakan semacam festival jemparingan yang dinamai Jemparingan Kalijagan,” ungkapnya.

Jemparingan sebagai salah satu kegiatan dalam rangkaian acara sebelum penjamasan pusaka diselenggarakan oleh Lembaga Adat Kadilangu Kabupaten Demak Jawa Tengah, Sabtu (9/7/2022).

Peserta Jemparingan berasal dari beberapa klub Jemparingan di wilayah sekitar Kota Wali yakni dari Jogjakarta, Semarang, Pati dan Jepara.

Agung Sumaedi, Maestro Jemparingan asal Jogja berharap penuh bahwa olahraga kuna asli Jawa ini hendaknya juga bisa dilestarikan di Kabupaten Demak.

“Pada Jemparingan tidak hanya olah raga tapi juga olah rasa. Di sini para penjemparing mewujudkan silaturahmi. Jemparingan juga menjadi sarana rekreasi dan wahana pelestarian budaya,” ungkap Agung.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Filosofi Jemparingan

Jemparingan dilakukan dengan duduk bersila bagi lelaki dan duduk bersimpuh bagi perempuan. Alat yang digunakan dalam Jemparingan yakni gendewa atau busur, jemparing atau mata panah dan wong-wongan atau target.

Gendewa berbahan dasar kayu pilihan, sedangkan jemparing dibuat dari bambu petung. Jemparing memiliki beberapa bagian yakni mata panah yang disebut bedor.

Bedor terbuat dari baja yang dibentuk runcing dan ditempelkan ke dalam batang Jemparing yang disebut deder. Dekat ujung pengait mayta panah ke tali gendewa ada bulu atau wulu serta pengait yang disebut nyenyep.

Posisi penjemparing dengan target sudah diatur secara pakem yakni berjarak 30 meter dan penjemparing menghadap ke barat. Para penjemparing biasanya menggunakan pakaian adat dan tak lupa iket atau udeng yang disimbolisasi menjadi mudheng atau paham terhadap apa yang tengah dilakukan.

Pemanah yang disebut penjemparing membidik target dalam 17 rambahan atau ronde. Masing-masing rambahan alias ronde ini terdiri dari 5 bidikan.

“Lima jemparing ini menjadi simbol bagi kewajiban salat 5 waktu dalam sehari-semalam. Serta 17 ronde menjadi lambang 17 rakaat dalam salat,” ungkap Agung Sumaedi.

Agung mengungkapkan, sejatinya target ini menjadi simbol yang menggambarkan diri sendiri. Para penjemparing mestinya sadar dan fokus terhadap sasaran berwarna putih yang menjadi diri yang utuh layaknya manusia bermartabat.

Sedangkan merah dalam bandul dilambangkan sebagai aluamah atau hawa nafsu. Posisi duduk pun melambangkan bahwa meski sedang berolah raga, sesungguhnya Jemparingan adalah wahana olah rasa yang mana ketika berada dalam posisi duduk atau lenggah adalah tataran laku tertinggi yakni meneb atau senyap atau laku waspada dalam diam.

 

Perbedaan Panahan Modern dengan Jemparingan

Tradisi Jemparingan, Budaya Panahan Kuno yang Jadi Daya Tarik Wisata Yogyakarta
Tradisi Jemparingan, Budaya Panahan Kuno yang Jadi Daya Tarik Wisata Yogyakarta. (Liputan6.com/Istimewa)

Meski sama-sama menggunakan panah sebagai alat, namun ada perbedaan antara panahan modern dengan Jemparingan.

Perbedaan terbesar yakni pada posisi pemanah, jika dalam panahan modern pemanah harus berdiri, maka dalam Jemparingan para Jemparingan berada dalam posisi duduk miring 90 derajat.

Busur dalam panahan modern ditarik kea rah mulut dan dagu sedangkan pada Jemparingan busur disebut gendewa ditarik ke arah dada.

Sasaran panahan berupa target sasaran berbentuk lingkaran dengan nilai skor sesuai warna-warni tiap lingkaran tersebut.

Sedangkan pada Jemparingan, target disebut dengan wong-wongan yakni semacam bandul putih dengan cat merah di ujung atas.

Target atau wong-wongan ini biasanya dibuat dari bahan dami alias jerami atau batang padi, bisa juga menggunakan bahan baku enceng gondok.

Panjang target Jemparingan sekitar 30 sentimeter dengan penanda lonceng di ujung bawahnya. Jika penjemparing mengenai target maka lonceng tersebut akan berbunyi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya