Pentingnya Pengakuan Hak Masyarakat Atas Tanah Warisan Adatnya

Pengakuan hak masyarakat atas tanah mutlak diberikan. Selain dapat meminimalisir dampak konflik, pengakuan legalitas ini juga untuk memberikan rasa aman petani yang menggarap lahan.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 11 Sep 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2022, 18:00 WIB
Petani Jambi
Seorang petani di Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsah, Tebo, Jambi, menunjukan lahannya yang dirusak oleh perusahaan. Kelompok tani di desa tersebut sampai saat belum mendapat kepastian. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Ratusan warga desa yang tergabung dalam beberapa kelompok tani di sejumlah kabupaten di Provinsi Jambi, menuntut pengakuan has atas tanah untuk tempat mencari sumber ekonomi. Pengakuan legalitas dan penyelesaian sengketa menjadi sangat penting agar mereka tenang menjalankan tatanan agraris.

“Sesuai dengan semangat reforma agraria ini, tidak sedikit para petani masih mengharapkan pengakuan, penyelesaian terhadap legalitas serta akses mengelola tanah mereka,” kata Manajer Advokasi dan Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Eko Mulia Utomo, Jumat (9/9/2022).

Awal September lalu, Walhi Jambi bersama Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) mengumpulkan perwakilan masyarakat desa yang sedang berjuang mendapatkan hak pengakuan. Mereka merumuskan tuntutan agar segera ditindaklanjuti kepada pemangku kepentingan.

“Mereka datang dari kelompok Semantung, Pemayungan, Sekato Jayo, Olak kemang, Tebing Tinggi, dan Mekar Sari. Kita duduk bersama bagaimana strategi untuk mendapatkan legalitas atas hak yang mereka perjuangkan,” ujar Eko.

Kelompok Tani Semantung Bersama Desa Sungai Paur Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, misalnya mereka telah mengelola tanah berdasarkan warisan adat dari orang tua terdahulu. Namun pada 2004 wilayah kelola mereka keluar perizinan IUPHHK- HTI untuk perusahaan multinasional yang bergerak dibidang hutan tanaman industri.

Saat ini kelompok tersebut telah terverifikasi secara faktual memiliki 109 anggota dengan seluruh luasan 211 hektare dengan memanfaatkan tanah sebagai pemukiman tempat tinggal dan fasilitas umum. Sampai sekarang mereka masih berjuang mendapat legalitas dan meminta wilayah pemukiman dan garapan dikeluarkan dari kawasan hutan.

“Anggota kelompok semuanya menanam tanaman seperti padi, cabai merah, timun, terung, jengkol, petai dan komoditi lainnya. Hasil dari tanaman ini dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari- hari, kemudian didistribusikan ke pasar untuk dijual,” kata Eko.

Dalam pemaparan mengenai “Hak-hak masyarakat di dalam dan seitar hutan dalam proyek nasional pembangunan infrastruktur” itu Eko bilang, banyak masyarakat yang menggantungkan dari sektor pertanian untuk mencukupi kehidupan.Faktanya yang terjadi saat ini konflik agraria telah menghilangkan sumber kelola masyarakat.

Masyarakat yang tadinya menanam pertanian produktif, namun karena muncul konflik dengan perusahaan masyarakat tani tak produktif dan terpaksa menjadi buruh di perusahaan untuk menyambung kehidupan.

"Seluruh masyarakat di desa yang kita dampingi itu semua petani, artinya kalau sumber pertanian kehidupan di dalam desa dihilangkan, ini berdampak pada kemisikinan struktural yang itu dibuat oleh negara itu sendiri," kata Eko.

Setelah 61 tahun UU Pokok Agraria diundangkan, ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria masih terus terjadi. Di jambi menurut hasil kajian Walhi Jambi, hampir seluruh sektor telah terjadi penguasaan secara besar-besaran atas sumber agraria.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Dibutuhkan Perlindungan Negara

Walhi Jambi
Manajer Advokasi dan Kajian Walhi Jambi Eko Mulia Utomo (kanan) saat memaparkan pentingnya pengakuan hak atas tanah terhadap petani di Jambi. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Perlindungan terhadap kaum tani yang sedang berjuang mendapatkan legalitas hak atas tanahnya itu, seringkali terabaikan. Kondisi ini tak jarang mengakibatkan petani kehilangan akses dan bahkan kehilangan nyawa.

Oleh karena itu menurut Rudiansyah dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), pihaknya mendorong upaya negara untuk memberikan perlindungan hak rakyat atas tanah. Tindakan atau kebijakan yang mengakibatkan hak masyarakat tidak terpenuhi mesti dievaluasi.

“Bagaimana mendapatkan pengakuan legalitas, tapi itu seringkali terbentur skema kebijakan dan proses panjang sehingga membutuhkan waktu untuk mendapatkan hak masyarakat,” kata Rudi.

Sementara itu, Sahroni, perwakilan dari Kelompok Tani Semantung Bersama Desa Sungai Paur mengatakan, penyelesaian konflik tenurial secara berkeadilan bagi masyarakat sudah mendesak dilakukan pemangku kebijakan. Karena menurut dia, secara tidak langsung izin yang diberikan negara kepada korporasi telah menghilangkan akses masyarakat di sekitar desa.

Dia bercerita selama ini kelompoknya memanfaatkan tanah untuk pemukiman dan lahan garapan. Mereka bercocok tanam secara swadaya, tanpa mendapatkan bantuan benih ataupun subsidi dari pemerintah.

“Apa yang ada itu yang kami tanam, dan apa yang kami tanam itu yang dipanen. Hanya satu tekad kami, kami ingin memajukan petani. Kami berharap pemerintah membuka hati nuraninya untuk melihat kahanan petani yang masih berjuang di atas haknya,” kata Sahroni.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya