Liputan6.com, Jambi - Krinok merupakan salah satu seni vokal milik masyarakat Melayu, Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Muara Bungo, Jambi. Kesenian tertua ini sudah ada sejak masa prasejarah.
Budayawan Jambi, Ja'far Rassuh menduga, cikal bakal krinok sebagai sebuah seni suara sudah ada jauh sebelum agama Budha masuk ke Jambi. Pada masa itu, seni vokal digunakan sebagai pembacaan mantra atau doa tertentu yang kemudian membuat kesenian berkembang menjadi krinok.
Advertisement
Baca Juga
Awalnya, krinok merupakan seni vokal yang sangat sederhana, yakni berupa puisi lama yang dinyanyikan dengan nada tinggi tanpa alat musik. Saat itu, krinok juga belum menjadi suatu seni pertunjukan seperti sekarang, melainkan sebuah seni suara yang bersifat sangat personal dan dipenuhi emosi.
Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, krinok awalnya hanya dilantunkan oleh laki-laki saat bekerja di ladang atau mencari kayu di hutan. Lantunan tersebut dapat dinyanyikan sendiri atau saling berbalas dengan pelantun lain yang berjarak ratusan meter.
Generasi awal krinok sempat mendapat pertentangan dari kalangan ulama karena dinilai kurang sesuai dengan ajaran Islam. Pasalnya, lirik krinok pada umumnya berisi ratapan. Namun, kesenian ini tetap bertahan lantaran dianggap memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat.
Saat ini, krinok memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai penghibur diri, pengusir binatang buas, dan untuk menarik hati perempuan yang ingin dinikahi. Karena berfungsi sebagai penghibur diri, lirik krinok umumnya tidak baku. Setiap pelantun bebas menyuarakan isi hati, baik saat suka ataupun duka.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kelintang Kayu
Berbeda dengan laki-laki, para perempuan di Rantau Pandan menghibur diri dengan memainkan alat musik kelintang kayu di sela-sela waktu istirahat saat bekerja di sawah. Kelintang kayu adalah alat musik tunggal yang menghasilkan nada harmonis.
Kelintang kayu dibuat sendiri oleh para perempuan menggunakan beberapa potong kayu dari pohon ngkring beluka yang dikeringkan. Setelah kering, kayu dibelah dua dan dipotong menurut nada yang ingin dihasilkan.
Potongan kayu ini disusun di atas kotak kayu persegi panjang dengan diberi alas dari ban bekas. Kelintang kayu memiliki 6 potongan kayu, sehingga hanya memiliki 6 nada.
Dahulu, masyarakat Rantau Pandan belum mengenal notasi balok kelintang kayu, sehingga lebih mengandalkan naluri. Untuk menghasilkan nada-nada yang indah, kelintang kayu dimainkan oleh dua pemain.
Awalnya, kelintang kayu dimainkan tanpa lagu. Namun dalam perkembangannya, seniman krinok memadukan vokal krinok dengan alunan nada kelintang kayu.
Perpaduan krinok dan kelintang kayu pun menjadi seni musik yang lebih menarik. Pada fase ini, krinok mulai dimainkan saat bekerja di sawah, baik vokal solo maupun duet.
Bahkan, krinok dengan iringan kelintang kayu menjadi hiburan wajib bagi muda-mudi yang ikut serta dalam kegiatan gotong royong di sawah maupun ladang. Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian krinok tidak hanya diiringi dengan alat musik kelintang kayu, tetapi juga dipadukan dengan gong, gendang panjang, serta biola.
Keempat alat musik tersebut kemudian menjadi pakem sebagai musik pengiring krinok. Dengan alat musik yang lebih lengkap, kesenian krinok menjadi suatu kesenian yang lebih harmonis dan dinamis.Â
Saat ini, krinok tak hanya dimainkan saat gotong royong, tetapi juga hadir dalam pesta pernikahan dan kegiatan lainnya. Sejak saat itu, krinok juga dipadukan dengan tari tauh.
Tari jauh merupakan tari pergaulan muda-mudi. Untuk membuat krinok lebih lengkap, ditambahkan pula berbagai pantun muda-mudi sebagai lirik krinok. Kini, kesenian krinok semakin lengkap dan menarik, sehingga ruang penampilan kesenian krinok semakin luas.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak
Â
**Liputan6.com bersama BAZNAS bekerja sama membangun solidaritas dengan mengajak masyarakat Indonesia bersedekah untuk korban gempa Cianjur melalui transfer ke rekening:
1. BSI 900.0055.740 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)2. BCA 686.073.7777 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
Advertisement