60 Persen Pendapatan RS dari BPJS, IKA Unpad Desak Perbaikan RUU Kesehatan

IKA Unpad mendesak tidak ada lagi kasus penolakan pasien anggota BPJS Kesehatan

oleh Dikdik RipaldiArie Nugraha diperbarui 10 Apr 2023, 19:00 WIB
Diterbitkan 10 Apr 2023, 19:00 WIB
Pelayanan Faskes Tingkat 1 BPJS Kesehatan
Petugas memeriksa tekanan darah pasien BPJS Kesehatan yang berobat di Faskes Tingkat 1 Klinik Kesehatan Prima Husada di Depok, Jawa Barat, Senin (23/5/20222). Sejumlah terobosan saat ini dilakukan paramedis di Faskes Tingkat 1, diantaranya penilaian peserta program JKN melalui fitur Kessan (Kesan Pesan Peserta Setelah Layanan) dalam aplikasi Mobile JKN. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Bandung - Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Padjadjaran (Unpad) menyatakan rerata pendapatan rumah sakit (RS) sebesar 60 persennya dari iuran anggota Badan Pengelola Jaminan Kesehatan (BPJS) kesehatan.

Dengan alasan itu, IKA Unpad mendesak tidak ada lagi kasus penolakan pasien anggota BPJS Kesehatan atau menyampingkannya dalam pelayanan.

Menurut anggota IKA Unpad dari fakultas hukum, Iftida Yasa, tanpa BPJS kesehatan operasional RS tidak bisa berjalan mulus.

"Ujung tombak pelayanan kesehatan ada di puskesmas, klinik, atau RS. Namun, masih banyak RS yang belum memaksimalkan BPJS kesehatan," ujar Iftida dalam keterangan resminya di Forum IKA Unpad ditulis, Bandung, Minggu, 9 April 2023.

Desakan itu dilayangkan oleh IKA Unpad menanggapi pernyataan Menteri Kesehatan Indonesia soal perbaikan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.

Hingga saat ini sebanyak 75 persen masukan masyarakat terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan telah ditampung dan ditindaklanjuti

Iftida mengatakan dalam RUU Kesehatan tertuang jika BPJS kesehatan wajib bekerja sama dengan RS yang mengajukan kerja sama.

"Ini juga tidak sesuai dengan prinsip sukarela," kata Iftida.

Selain itu, redaksi dalam RUU yang berbunyi akan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri kesehatan, disebut tidak pas.

Pasalnya sebut Iftida, kedua badan itu mempunyai peran yang sangat berbeda. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bertugas untuk membangun dan menyiapkan infrastruktur, termasuk ketersediaan dokter. Sedangkan BPJS kesehatan itu badan penyelenggara jaminan sosial.

Jika tugas pokok dan fungsi sebanyak itu diberikan kepada satu pihak, dalam hal ini BPJS kesehatan, Iftida menganggap maka akan terjadi over power.

"Sebab pembuat kebijakan tidak boleh disatukan dengan pelaksana. Berdasarkan banyaknya masukan dari masyarakat melalui medsos, akhirnya BPJS kesehatan tetap di bawah koordinasi presiden tanpa melapor dulu ke Kemenkes. Tapi ini baru sebatas statement. Nanti akan dibawa ke Komisi IX," ucap Iftida.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Perhatian Khusus untuk Difabel dan Lansia

Iftida menambahkan, mengenai rencana kelas rawat inap standar belum pasti diaplikasikan berdasarkan uji coba yang dihasilkan.

Iftida mencontohkan saat ini iuran masih berlaku seperti biasa, 3 kelas. Jika masyarakat pemegang kartu BPJS kesehatan kelas 3, tidak bisa naik kelas.

Sedangkan pemegang kartu BPJS Kesehatan kelas 2 atau 1 bisa naik ke kelas VIP, dengan catatan tambahan iuran. Pada pembahasan BPJS kesehatan, Iftida mengatakan, berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2016, difabel dan lansia mendapat perhatian khusus.

"Untuk difabel dan lansia akan dikasih kartu merah untuk line khusus prioritas," sebut Iftida.

Sampai saat ini, sebanyak 40 persen iuran BPJS kesehatan didapat dari penerima bantuan iuran (PBI).

Ada yang dari Anggaran Pendapatan Badan Negara (APBN) dan ada pula dari Anggaran Pendaparan Badan Daerah (APBD.) Lalu sebanyak 60 persen dari masyarakat.

"Dalam 60 persen itu, 30 persennya dari dunia usaha. Selebihnya adalah pekerja mandiri. Siapa saja yang mau ikut BPJS secara mandiri bisa," tutur Iftida.

Iftida menegaskan BPJS kesehatan memiliki program rehabilitasi. Jika pengguna BPJS kesehatan memiliki tunggakan, bisa melakukan cicilan maksimal 12 bulan.

"Sudah nunggak 5 tahun misalnya, itu dihitung maksimal cuma dua tahun," tukas Iftida.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya