Greenpeace Soroti Sedimentasi Jadi Alasan Pemerintah Buka Lagi Ekspor Pasir Laut

Greenpeace menanggapi alasan sedimentasi yang membuat pemerintah mengeluarkan peraturan membuka lagi keran ekspor pasir laut.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 31 Mei 2023, 11:06 WIB
Diterbitkan 31 Mei 2023, 09:11 WIB
Nestapa Desa Cemara Jaya di Karawang yang Terancam Hilang Akibat Abrasi
Warga membuat penahan gelombang air laut dengan tumpukan pasir dan patok bambu untuk menahan gelombang dan abrasi laut di Pantai Pisangan, Desa Cemara Jaya, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Sabtu (27/5/2023). (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Greenpeace menanggapi alasan sedimentasi yang membuat pemerintah mengeluarkan peraturan membuka lagi keran ekspor pasir laut. Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah, saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (31/5/2023) mengatakan, memang sedimentasi atau pendangkalan laut menjadi salah satu penyebab kerusakan laut. Di daerah-daerah pesisir yang banyak terumbu karang misalnya, karena ada sedimentasi laut, ekosistem lautnya jadi mati. 

"Ini menjadi masalah memang, dan ini banyak terjadi di daerah-daerah hilir sungai, muara sungai. Dan ini terjadi karena ketidakmampuan kita mengelola sumber daya alam di darat. Ada deforestasi, alih fungsi lahan menyebabkan erosi kemudian materialnya dikirim hujan ke laut, sehingga daerah-daerah muara sungai terjadi pendangkalan," kata Afdillah. 

Lebih lanjut dirinya menyebut, keluarnya peraturan pemerintah yang baru, PP No 26/2023, yang membuka kembali keran ekspor pasir laut patut dipertanyakan. Dalam pandangan Afdillah, jika pemerintah benar-benar ingin memulihkan laut yang mengalami sedimentasi, pulihkannya mulai dari darat.

"Dibersihkan dulu segala sesuatu di daratnya supaya tidak mengirim sedimentasi ke laut, baru lautnya dibereskan. Kalau kita bereskan lautnya nih, tapi di daratnya tidak dibereskan, ya sudah nanti datang lagi," katanya. 

Afdillah menyebut, alasan sedimentasi hanya 'green washing' ala pemerintah. Membuat kebijakan yang seolah-olah baik, memberikan perlindungan lingkungan, namun yang terjadi aturannya membuka ruang eksplorasi ekstraktif dan segala macamnya.

"Pemerintah bilang itu untuk meningkatkan pendapatan nonpajak, kita kecewa sepertinya pemerintah kehabisan akal dan kecerdasan untuk melakukan upaya-upaya lain untuk memaksimalkan sumber daya laut kita. Saat tak ada kreativitas ya pilihannya dengan jalan pintas, ekstraksi, dikeruk dan dijual," katanya.

Afdillah kemudian memberikan contoh kasus betapa pengerukan pasir laut lebih banyak mendatangkan mudarat. Hal itu terjadi di Kodingareng Makassar. Banyak nelayan kehilangan area tangkap setelah pasir lautnya dikeruk. Pola arus juga berubah sehingga menyebabkan abarasi dan menenggelamkan pulau-pulau kecil.

"Itu berdampak buruk makanya itu dilarang pada pemerintahan Megawati 2003 dan diperkuat pada zaman SBY, ini muncul lagi untuk kepentingan siapa," katanya.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan meyakini kebijakan terbaru yang memperbolehkan pengerukan dan mengekspor pasir laut tidak akan merusak lingkungan.

Kebijakan terbaru itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang resmi diundangkan pada 15 Mei 2023.

"Nggak dong (tidak merusak lingkungan). Karena semua sekarang ada GPS (global positioning system) segala macam, kita pastikan tidak (merusak lingkungan) pekerjaannya," katanya ditemui usai acara peluncuran Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC) di Jakarta, Selasa.

"Sekarang kalau diekspor, pasti jauh manfaatnya, untuk BUMN, pemerintah," imbuhnya.

Luhut juga menyebut ekspor pasir laut punya manfaat untuk mendukung kegiatan ekonomi dan industri, khususnya terkait pendalaman alur laut.

Pengerukan disebutnya justru bermanfaat bagi ekosistem laut karena bisa mengurangi sedimentasi. 

"Jadi, untuk kesehatan laut juga. Sekarang proyek yang satu besar ini Rempang (Batam). Rempang itu yang mau direklamasi supaya bisa digunakan untuk industri besar solar panel. Gede sekali solar panel itu," katanya.

 

 

 

PP Nomor 26 Tahun 2023

PP Nomor 26 Tahun 2023 memperbolehkan pasir laut diekspor keluar negeri. Dalam dalam Pasal 9 ayat 2, pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.

Aturan ini dirilis sebagai upaya pemerintah dalam bertanggung jawab untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2O14 tentang Kelautan.

Selain itu, aturan ini juga untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta untuk mendukung keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut, sehingga meningkatkan kesehatan laut.

Meski pasir laut diperbolehkan diekspor, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi pelaku usaha, seperti perizinan, syarat penambangan pasir laut, hingga ketentuan ekspor karena menyangkut bea keluar.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya