Starlink Dinilai jadi Ancaman Serius bagi Perusahaan Lokal

Hadirnya Starlink yang menggunakan tehnologi satelit orbit rendah bumi atau Low earth orbit telah menguncang industri pasar telko di pasar global dan juga di Tanah air.

oleh Tim Regional diperbarui 07 Jun 2024, 15:30 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2024, 15:30 WIB
Perangkat Starlink (Foto: Starlink.com)
Perangkat Starlink (Foto: Starlink.com)

Liputan6.com, Jakarta - Hadirnya Starlink yang menggunakan tehnologi satelit orbit rendah bumi atau Low earth orbit telah menguncang industri pasar telko di pasar global dan juga di Tanah air.

Dalam kurun waktu 3 tahun, Starlink secara agresif telah melakukan ekspansi pasar di 77 Negara termasuk Indonesia. Sebagai alternatif tehnologi industri telko modern, keberadaannya tidak bisa dihindari namun setidaknya harus menjadi pelecut bangkitnya industri telko di tanah air.

Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro mengatakan Pemerintah seperti gagap merespon dan seolah tak berdaya dengan kehadiran starlink. Pertama, Pemerintah seolah lari dari tanggungjawab dalam memberikan perlindungan pada industri dalam negeri dengan selalu melepaskan pada mekanisme pasar.

"Pemerintah seperti abai terhadap potensi ancaman terhadap ekosistem industri telko dan kedaulatan negara," ujarnya.

Menurutnya jika tidak ada perlindungan negara dan mengedepankan national interest maka bisa dipastikan bahwa agresifnya pasar Starlink secara perlahan akan menggerus dan mematikan hampir 1300 industri telko dalam negeri yang mayoritas masih berbasis pada infrastruktur darat (fiber optik, BTS,dll).

"Padahal pembangunan menara BTS yang selama ini telah menelan investasi ratusan triliun dan juga mematikan hampir 1030 industri telko di dalam negeri," katanya.

Menurut Gigih ada banyak hal yang mengisyaratkan hal ini seperti kepemilikan 17 satelit seperti Palapa Ring dan Satelit Satria yang baru saja diluncurkan pada 18 Juni 2023 dengan kapasitas terbesar se Asia dan nomor lima Dunia dengan nilai investasi sebesar 75 triliun.

Selain itu, lanjutnya, walaupun sudah resmi beroperasi sejak 19 Mei 2024, sampai saat ini belum diketahui berapa nilai investasi Starlink dalam memajukan industri telko dalam negeri.

"Ada banyak prasyarat sebagai entitas bisnis tapi sampai saat ini belum terpenuhi seperti Network Operation Center, server hub, Network Monitoring System," sebutnya.

Di sisi lain, ia menyampaikan sebagai Negara berdaulat, Indonesia sebenarnya memiliki daya tawar yang tinggi terhadap Starlink karena memiliki market yang besar (bonus demografi) dibandingkan Negara lain, potensi angka melek tehnologi yang tumbuh pesat.

Maka Pemerintah seharusnya memiliki daya paksa kepada starlink untuk menjalankan bisnisnya secara benar dengan memenuhi kewajibannya kepada negara seperti membayar pajak dan lain sebagainya.

"Kita memang harus adaptif terhadap perkembangan tehnologi informasi, termasuk dengan kehadiran Starlink. Kehadiran Negara menjadi faktor penentu dalam melindungi kepentingan nasional dari agresifnya pasar global," ia menambahkan.

Sebelumnya Komisi VI DPR RI juga menyoroti kehadiran Starlink yang dinilai menjadi ancaman serius bagi operator selular dan penyedia layanan internet, yang sudah mengeluarkan investasi triliunan rupiah untuk membangun BTS dan jaringan fiber optik.

Sikap pemerintah yang mengistimewakan Starlink akan membuat operator selular dan penyedia layanan internet nasional terancam kalah bersaing dan ‘mati’ dalam 2-3 tahun lagi.

"Apakah Starlink sudah punya Network Operation Center (NOC)? Menkominfo bilang akan mendesak Starlink segera membereskan perizinan untuk beroperasi di Indonesia, tapi dirjennya bilang sudah ada NOC di Jabar dan Cibitung. Kalau belum ada izinnya, apakah artinya pemerintah sudah menyajikan ladang persaingan yang fair? Karena semestinya jelas, izinnya komplet, baru boleh beroperasi," ujar Anggota Komisi VI DPR RI Harris Turino dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI dengan jajaran Telkom Group, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (30/5/2024).

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya