Liputan6.com, Musi Banyuasin - Salah satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Musi Banyuasin Sumatera Selatan (Sumsel) berada di tapal batas antara Musi Banyuasin-Musi Rawas Utara (Muratara) Sumatera Selatan (Sumsel).
TPS Pilkada Sumsel tersebut berada di Dusun 003, Desa Sako Suban, tepatnya di SD Negeri Sako Suban Musi Banyuasin. Namun lokasi tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 76 Tahun 2014, masih berada di wilayah Kabupaten Muratara Sumsel.
Advertisement
Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Musi Banyuasin Suganda berkata, memang secara administratif SDN Sako Suban masuk di wilayah Musi Banyuasin Sumsel. Namun dia enggan menyikapi terkait TPS yang berada di lokasi tapal batas dua kabupaten tersebut.
Advertisement
Baca Juga
“Ya, kalau secara administrasi wilayah, ini memang masuk ke Musi Banyuasin, tapi kalau terkait TPS itu wewenang KPU,” ungkapnya, Rabu (27/11/2024).
Tumpang tindih administrasi tersebut ditanggapi oleh Haris Azhar, aktivis HAM dan pendiri LSM Lokataru, yayasan yang bergerak di bidang pemantauan isu sosial dan pemajuan isu hak asasi.
Menurutnya, kondisi di TPS SDN Sako Suban Musi Banyuasin tersebut menandakan bahwa daerah itu dipaksakan oleh pihak otoritas pusat sebagai daerah baru. Padahal di lapangan bahkan pencatatan resmi di daerah masih bernama daerah yang lama.
Kondisi di lapangan harus sesuai pula dengan peta dan titik koordinasi yang dimuat dalam Lampiran UU Nomor 16 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Musi Rawas Utara. Artinya, Permendagri No. 76/2014 terbukti melanggar undang-undang.
“Ini bukti bahwa pemerintah pusat memiliki agenda terselubung dan tidak diikuti dengan penataan administrasi pemerintahan lokal. Pertanyaannya, apa agenda pemerintah pusat tersebut,” ungkapnya.
Dia menduga, hal itu terjadi untuk meladeni kepentingan perusahaan tambang. Penetapan daerah baru tersebut membuka peluang bagi perusahaan tambang, untuk memperkuat argumentasi agar terus mengambil alih lahan garapan warga.
Haris juga melihat potensi konfliknya sudah terjadi, karena ada banyak warga kebingungan dalam pengurusan administrasi kependudukan. Sementara pemerintah pusat, dinilainya tutup mata atas persoalan tersebut.
Konflik Agraria
Menurutnya, konflik agraria di Pulau Sumatera memang tinggi, terutama di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan Bandar Lampung.
“Sumsel bukan yang paling tinggi tapi setiap kasus tetap buruk bagi korban. Korban tidak bisa dinilai dengan angka statistik. Akan banyak sengketa yang bakal muncul,” katanya.
Beberapa potensi konflik yang kemungkinan bisa terjadi, yakni perampasan hak atas tanah, hak atas akses terhadap tanah untuk pekerjaan dan lainnya.
Namun, sengketa atas tanah yang tidak seimbang, akan menimbulkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, warga dipaksa mengurus lagi administrasi perubahan wilayah.
“Selama belum terurus, mereka kesulitan mendapatkan hak-hak sipil sebagai warga. Ditambah lagi, akibat tambang ada perusakan lingkungan. Dampak buruknya sumber daya alam,” katanya.
Advertisement