Liputan6.com, Jakarta - Transaksi perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) tutup pada Jumat 28 Desember 2018. Sepanjang 2018, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun bergerak bak roller coaster. Sentimen internal dan eksternal membayangi gerak IHSG sepanjang 2018.
Pada 2017, IHSG mampu tumbuh 19,96 persen. IHSG ditutup naik ke posisi 6.355 pada 2017 dari periode 2016 di posisi 5.296. Penguatan IHSG sepanjang 2017 termasuk terbesar di pasar saham Indonesia. Namun, penguatan pertumbuhan IHSG yang cukup tinggi itu belum berlanjut pada 2018.
IHSG alami koreksi 2,5 persen sepanjang 2018. Pada penutupan perdagangan saham pada 2018, IHSG menguat tipis 3,85 poin atau 0,06 persen ke posisi 6.194.
Advertisement
Baca Juga
Padahal pada 2018, IHSG mampu mencetak posisi tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Indonesia. IHSG sempat tembus level tertinggi 6.689 pada 19 Februari 2018. Hal tersebut berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI).
Sektor saham industri dasar dan kimia menjadi sektor catatkan performa terbaik. Sektor saham industri dasar dan kimia naik 24,01 persen. Kemudian disusul sektor saham tambang menguat 11,45 persen dan sektor saham keuangan menanjak 3,05 persen.
Sedangkan sektor saham perdagangan, jasa dan investasi malah melempem. Sektor tersebut terpangkas 14,94 persen. Disusul sektor saham barang konsumsi susu 10,21 persen dan sektor saham infrastruktur susut 10,09 persen.
Berdasarkan data RTI, IHSG alami tren koreksi mulai Maret 2018. Pada 7 Maret 2018, IHSG alami koreksi ke posisi 6.368 dari posisi 1 Maret 2018 di kisaran 6.606. Kemudian kembali turun tajam ke posisi 5.909 pada 26 April 2018. Mencapai level terendah di posisi 5.633 pada 3 Juli 2018. IHSG pun akhirnya kembali alami tren naik pada 16 November ke posisi 6.012.
Analis PT RHB Sekuritas, Henry Wibowo menuturkan, IHSG sudah alami pemulihan cukup besar usai koreksi sejak kuartal II 2018. "IHSG sempat turun 8 persen, dan ditutup (pada 2018-red) hanya turun 2,5 persen itu cukup bagus," ujar Henry saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (28/12/2018).
Ia menambahkan, pergerakan IHSG dipengaruhi sejumlah faktor utama. Pertama, bank sentral cenderung mengetatkan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga. Hal itu dipicu dari bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) yang menaikkan suku bunga sebanyak empat kali.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI 7 day reverse repo rate dari 4,25 persen menjadi 6 persen.
Kedua, faktor politik. Salah satunya lewat penyelenggaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Ditambah pengumuman calon wakil presiden Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. “Kemudian pada Agustus ada pengumuman masing-masing calon wakil presiden,” tutur dia.
Ketiga, defisit neraca transaksi berjalan Indonesia melebar menjadi sekitar 3 persen juga jadi perhatian pelaku pasar. Menurut Henry, hal itu didorong dari subsidi energi.
Keempat, aksi jual investor asing juga menekan IHSG. Berdasarkan data Henry, aksi jual investor asing mencapai USD 3,73 miliar pada 2018. Hal itu dipicu dari nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah sudah alami koreksi sekitar 7,5 persen terhadap dolar AS sepanjang 2018. Kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS pun menarik perhatian pelaku pasar sehingga mendorong aliran dana investor asing keluar dari negara berkembang kembali ke negara maju seperti AS.
“Pelemahan rupiah sangat pengaruhi. Apalagi investor asing investasi dengan konversikan dolar AS ke rupiah. Kalau rupiah melemah mereka alami double pelemahan,” tutur Henry.
Koreksi IHSG Terkecil Dibandingkan Negara Lain
Bila melihat pergerakan indeks saham acuan di pasar ASEAN, koreksi IHSG termasuk kecil dibandingkan negara lain. Di ASEAN, perkembangan IHSG masuk posisi pertama dibandingkan negara lainnya.
Adapun koreksi indeks saham acuan yang dialami bursa saham di negara ASEAN antara lain bursa saham Filipina yang tergelincir 12,57 persen ke posisi 7.482,66. Diikuti indeks saham acuan di Thailand yang koreksi 11,60 persen ke posisi 1.550. Kemudian indeks saham SIngapura yang susut 10,53 persen. Hal ini berdasarkan data BEI hingga perdagangan kemarin.
Sedangkan melihat data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jika dilihat dari bursa saham dunia, indeks saham Shanghai alami koreksi terbesar mencapai 24,92 persen. Kemudian indeks saham Jerman turun 19,63 persen, dan indeks saham Hong Kong Hang Seng susut 14,84 persen.
Bursa saham India catatkan kinerja indeks saham positif. Tercatat indeks saham India mampu tumbuh 5,52 persen. Selanjutnya, IHSG alami koreksi 2,5 persen, indeks saham Malaysia turun 5,9 persen, indeks saham S&P 500 yang termasuk indeks acuan AS tergelincir 6,91 persen, indeks saham Australia merosot 8,19 persen.
Selain itu, indeks saham Vietnam terpangkas 8,48 persen, indeks saham Singapura turun 10,53 persen, indeks saham Thailand melemah 11,6 persen, indeks saham Jepang tersungkur 11,8 persen, indeks saham Filipina susut 12,57 persen, indeks saham Prancis merosot 13,44 persen, dan indeks saham Inggris turun 14,35 persen.
Sementara itu, Analis PT Artha Sekuritas Indonesia, Frederik Rasali menuturkan, sentimen eksternal lebih berdampak terhadap laju IHSG. Faktor eksternal itu mulai dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China, kenaikan suku bunga the Federal Reserve atau bank sentral AS. Tercatat the Federal Reserve menaikkan suku bunga acuannya empat kali sepanjang 2018. Suku bunga acuan menjadi 2,25 persen-2,5 persen..
“Perubahan politik global dan ekonomi juga mempengaruhi seperti chairman The Fed berganti dari Janet Yellen kepada Jerome Powell. Mid term election (di AS-red) juga mempengaruhi,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (28/12/2018).
Ia menambahkan, pada Maret 2018 mulai terjadi perubahan global. Hal itu membuat investor asing jual saham di pasar modal Indonesia. Oleh karena didorong sentimen eksternal itu membuat investor asing jual saham. Pada 2018, aksi jual investor asing cukup besar. Tercatat aksi jual investor asing mencapai Rp 51,60 triliun di BEI.
“Kebijakan-kebijakan Powell juga mulai nampak pada Maret. Kalau diperhatikan rupiah melemah terhadap dolar AS pada Maret tersebut,” tutur dia.
Sedangkan sentimen dalam negeri, menurut Frederik cenderung minim. Ia menilai, pemerintah melanjutkan apa yang sudah dicanangkan sejak 2017 seperti pembangunan infrastruktur.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement