Liputan6.com, Jakarta - Negara-negara tergabung dalam Conference of the Parties (COP26) sepakat mengurangi pemakaian ketimbang menghapus batu bara pada KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia.
Sebuah pemilihan kata yang memicu kekecewaan beberapa perwakilan negara, termasuk Presiden COP26 Alok Sharma yang mengatakan "sangat menyesal" atas bagaimana akhir dari negosiasi itu terjadi, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu, 14 November 2021.
Batu bara bertanggung jawab atas sekitar 40 persen emisi CO2 setiap tahun, menjadikannya sentral dalam upaya untuk tetap dalam target 1.5C. Untuk memenuhi tujuan ini, disepakati di Paris pada 2015, emisi global perlu dikurangi sebesar 45 persen pada 2030 dan menjadi hampir nol pada pertengahan abad.
Advertisement
Baca Juga
Pakta iklim Glasgow adalah kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit berencana memangkas batu bara, bahan bakar fosil terburuk untuk gas rumah kaca.
Lalu bagaimana tanggapan emiten batu bara di Indonesia mengenai hal tersebut?
Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam Tbk, Apollonius Andwie C menuturkan, Bukit Asam memiliki visi menjadi perusahaan energi kelas dunia yang peduli lingkungan.
Perseroan menyatakan untuk merealisasikan visi tersebut melakukan ekstensifikasi bisnis dengan hilirisasi batu bara dan masuk ke sektor energi baru terbarukan. Salah satunya dengan membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Sebelumnya Bukit Asam berencana mengembangkan proyek energi baru dan terbarukan (proyek EBT), seperti gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).
Baru-baru ini, PT Bukit Asam Tbk dan Air Products & Chemicals, Inc. (APCI) memastikan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) terus berlanjut.
Hal itu juga ditunjukkan dengan penandatanganan Nota Kesepahaman dengan perusahaan pengolahan gas dan kimia asal Amerika Serikat, Air Products and Chemicals Inc (APCI) di Dubai pada Kamis, 4 November 2021. Penandatangan itu pun disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Investasi mega proyek senilai USD 15 miliar atau setara Rp 210 triliun ini dilakukan dalam bidang industri gasifikasi batu bara dan turunannya.
Kesepakatan investasi besar dan berjangka panjang ini berupa pendirian fasilitas gasifikasi untuk konservasi batu bara bernilai rendah menjadi produk kimia bernilai tambah tinggi seperti methanol, DME (Dimethyl Ether), dan bahan kimia lainnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tanggapan Adaro Energy
Sementara itu, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) melalui anak usahanya Adaro Power mengikuti upaya pemerintah untuk dongkrak pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan.
Presiden Direktur PT Adaro Power, Dharma Djojonegoro menuturkan, pihaknya saat ini aktif mengikuti tender yang digelar oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang berbasis energi baru terbarukan (EBT). Hal itu antara lain biomassa, tenaga angin dan panel surya.
Dharma menuturkan, pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan itu agar memiliki portofolio dengan bauran energi yang seimbang.
“Saat ini, Adaro Power sedang memfinalisasi kontrak untuk peningkatan kapasitas panel surya di Terminal Khusus Batu Bara Kelanis, yang direncanakan akan ditingkatkan dari 130 kWp menjadi 597 kWp,” ujar dia.
Ia menambahkan, pihaknya juga menyediakan tenaga solar untuk Indonesia Bulk Terminal (IBT) yang berpotensi untuk digabungkan dengan panel surya secara hibrid dalam waktu dekat.
“Adaro sangat terbuka untuk berdiskusi dan bermitra dengan pengembang EBT berpengalaman baik dari dalam maupun luar negeri, baik untuk pengembangan proyek baru (greenfield maupun untuk kerja sama dalam akuisisi proyek yang sudah berjalan,” tutur dia.
Advertisement