Menerka Potensi Soft Landing Ekonomi

Inflasi diprediksi melambat tetapi masih di atas target bank sentral.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Jun 2022, 13:51 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2022, 13:51 WIB
Ilustrasi wall street (Photo by Robb Miller on Unsplash)
Ilustrasi wall street (Photo by Robb Miller on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Peluang terjadinya pendaratan lunak atau soft landing ekonomi masih ada. Hal ini seiring potensi perlambatan inflasi meski tetap di atas target bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed).

Soft landing ini berarti ekonomi tidak bisa naik signifikan tetapi tidak turun tajam. Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, pendaratan keras atau hard landing ekonomi ramai diperkirakan sejumlah pihak. CEO JPMorgan Chase and Co Jamie Dimon prediksi “badai” ekonomi, CEO Tesla Elon Musk memiliki “perasaan sangat buruk” tentang ekonomi.

Selain itu, Larry Fink dari BlackRock Inc yang melihat inflasi yang meningkat selama bertahun-tahun. Presiden Goldman Sachs Group Inc, John Waldron memperingatkan mengenai sejumlah guncangan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke sistem.

"Terlepas dari semua ini, jalur meluncur ke pendaratan lunak mungkin sedikit lebih mudah dari pada sebulan lalu. Untuk menurunkan inflasi tanpa menabrak ekonomi, kita perlu melihat data tumbuh dengan mantap kurang positif tanpa terjun ke bawah,” demikian mengutip riset Ashmore, Minggu (12/6/2022).

Survei manajer pasokan ISM Amerika Serikat terbaru menunjukkan sektor jasa telah melunak secara signifikan. Namun, manufaktur dan layanan tetap di atas level 50 yang menandai perbedaan antara ekspansi dan resesi.

Pasar tenaga kerja AS masih sangat panas tetapi konsisten dengan pembuat kebijakan ekonomi akhirnya melakukan pendaratan lunak.

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Inflasi Bakal Melambat

Ilustrasi wall street (Photo by Patrick Weissenberger on Unsplash)
Ilustrasi wall street (Photo by Patrick Weissenberger on Unsplash)

Pada Jumat, 10 Juni 2022, jumlah pekerjaan sedikit lebih kuat dari diharapkan tetapi menunjukkan pertumbuhan yang sedikit melambat.

Kekhawatiran the Federal Reserve untuk hindari upah yang spiral, dengan gaji lebih tinggi meningkatkan biaya dan permintaan produk sehingga menaikkan harga. Rata-rata pertumbuhan pendapatan pada 2022 masih di atas 5 persen tetapi sedikit rutun dalam dua bulan berturut-turut. Ini angka yang hampir konsisten sehingga akhirnya soft landing.

“Gambaran ini masih konsisten dengan pandangan kami inflasi akan melambat tetapi tetap di atas target bank sentral, pertumbuhan ekonomi harus melambat di bawah pertumbuhan tren tetapi tetap di atas nol, dan pasar akan akhiri tahun ini lebih tinggi,” demikian mengutip riset itu.

Ashmore menilai, soft landing ekonomi masih dimungkinkan tetapi itu melibatkan hal yang menenangkan tidak hanya pasar tenaga kerja Amerika Serikat tetapi juga memastikan tidak hal yang guncang sistem keuangan.

Potensi Kenaikan Inflasi Dongkrak Suku Bunga

(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)
(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)

Sebelumnya, di tengah potensi kenaikan inflasi pada 2022, instrumen saham dinilai menjadi relatif menarik terhadap jenis aset lainnya.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Senin (18/4/2022), probilitas kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) tetap tinggi dan mempengaruhi seluruh pandangan kebijakan global. Hal ini seiring pasar AS mencatat rekor lowongan kerja yang tinggi dengan pembukaan pekerjaan mencapai 11,3 juta hingga Januari 2022.

Di sisi lain, klaim pengangguran terendah dalam 50 tahun dan penurunan tingkat pengangguran menyiratkan pasar tenaga kerja yang panas karena berbagai alasan. Namun, kenaikan upah tidak dapat dihindari.

"Kita mungkin akan melihat tingkat inflasi tinggi lebih permanen dari pada awalnya,” tulis Ashmore.

Oleh karena itu, kemungkinan kenaikan suku bunga di AS tetap tinggi dan mempengaruhi keseluruhan pandangan kebijakan global. “Kami melihat pandangan ini adalah tidak berubah dari sebulan yang lalu,” tulis Ashmore.

Selama siklus inflasi, Ashmore Asset Management Indonesia melihat aset yang ikuti kenaikan inflasi akan lebih baik. Aset seperti properti dan saham secara teori akan meneruskan inflasi menajdi keuntungan dan mendapatkan manfaat.

Ini telah berlaku dengan pasar Indonesia. Hingga Kamis, 14 April 2022, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 9,9 persen year to date (ytd).

IHSG mencapai rekor tertinggi baru didorong dengan penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) GoTo yang berdampak besar terhadap IHSG sehingga mendorong IHSG tetap solid dan ungguli indeks saham global.

"Risiko utama bagi Indonesia selama inflasi tinggi adalah memastikan kelas bawah dan menengah-bawah tidak dipengaruhi oleh harga produk yang lebih tinggi,” tulis Ashmore.

Selanjutnya

Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas
Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas

Pemerintah telah mengumumkan akan memberikan bantuan langsung tunai kepada 23,25 juta penduduk dengan dana Rp 300 ribu per orang dan memastikan harga minyak goreng tinggi tidak akan meningkatkan biaya hidup.

"Pemerintah sejauh ini menandakan kebutuhan pembiayaan yang lebih rendah pada 2023, sebagian besar karena indikator ekonomi makro lebih kuat didorong pendapatan dari harga komoditas yang lebih tinggi,”

Ashmore menilai, hal tersebut juga menempatkan investasi saham menjadi relatif menarik terhadap jenis aset lainnya. Tidak hanya pertumbuhan laba mencerminkan inflasi, tetapi kinerja saham akan menawarkan pertumbuhan yang wajar meski indeks sentuh rekor tertinggi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya