Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) angkat suara terkait rencana Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) untuk hengkang dari PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk (BRIS).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Erdiana Rae menegaskan, hingga saat ini pihaknya belum menerima pengajuan resmi mengenai aksi pelepasan saham BSI oleh BRI dan BNI.
Baca Juga
"Saya belum menerima secara resmi permohonan itu kepada OJK. Walau aksi korporasi seperti ini biasa saja, tetapi OJK punya pertimbangan," kata Dian dalam Konferensi Pers Asesmen Sektor Jasa Keuangan dan Kebijakan OJK Hasil RDK Bulanan Agustus 2023, Selasa (5/9/2023).
Advertisement
Dian menjelaskan, posisi BSI saat ini menjadi bank percontohan dalam skala besar yang masih baru. Sehingga ada beberapa aspek yang masih perlu dipelajari terlebih dahulu sebelum memberi keputusan terkait rencana pelepasan kepemilikan oleh BRI dan BNI.
"Jadi belum tentu kita akan izinkan. Tapi kita akan lihat nanti bagaimana landasan berpikirnya. Saya secara pribadi belum terima informasi apapun baik dari pemegang saham maupun perusahaan," imbuh Dian.
Rencana hengkangnya BRI dan BNI dari daftar pemegang saham BSI sudah mencuat sejak awal tahun ini. BRI belakangan memberi sinyal adanya gelaran aksi korporasi dalam waktu dekat. Hal itu sehubungan dengan baru dipublikasikannya laporan keuangan perusahaan untuk periode enam bulan yang berakhir pada 30 Juni 2023.
Sayangnya, manajemen BRI belum mau menjelaskan lebih detail mengenai aksi korporasi yang akan dilakukan. Namun sebelumnya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengungkapkan bakal ada perubahan struktur pemegang saham di PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS).
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menuturkan, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) perlahan akan mulai keluar dari struktur pemegang saham BSI. Sementara Bank Mandiri tetap akan menjadi pemegang saham pengendali. Pemerintah juga tetap menjadi pemegang saham dwiwarna.
OJK: Kredit Perbankan Tumbuh 7,76 Persen hingga Juni 2023
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae melaporkan, di tengah pelemahan demand global, sektor perbankan Indonesia tetap resilien dengan fungsi intermediasi yang terjaga serta ditopang permodalan yang memadai.
OJK mencatat pada Juni 2023, kredit tumbuh sebesar 7,76 persen yoy menjadi Rp6.656 triliun, dengan pertumbuhan tertinggi pada kredit investasi sebesar 9,60 persen yoy.
"Per jenis kepemilikan, pertumbuhan kredit Bank BUMN tumbuh tertinggi yaitu sebesar 8,30 persen yoy," kata Dian dalam Konferensi Pers RDK Bulanan Juli 2023, Kamis (3/8/2023).
Secara tahunan, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Juni 2023 meningkat menjadi 5,79 persen yoy atau sebesar Rp.8.042 triliun, jika dibandingkan Mei 2023 sebesar 6,55 persen yoy, dengan pertumbuhan terendah pada Tabungan di level 2,97 persen yoy.
OJK pun mendorong kinerja intermediasi dengan tetap menjaga keseimbangan antara pertumbuhan pembiayaan dan terjaganya likuiditas. Likuiditas industri perbankan pada Juni 2023 dalam level yang memadai dengan rasio-rasio likuditas yang terjaga.
Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) turun masing-masing menjadi 119,05 persen dan 26,73 persen, atau tetap jauh di atas treshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Advertisement
Kualitas Kredit Terjaga
OJK menilai kualitas kredit masih terjaga dengan rasio NPL net perbankan stabil di level 0,77 persen dan NPL gross turun menjadi 2,44 persen.
Sementara, pemulihan yang terus berlanjut di sektor riil mendorong penurunan kredit restrukturisasi Covid-19 sebesar Rp11,03 triliun menjadi Rp361,04 triliun dengan jumlah nasabah turun 70 ribu menjadi 1,57 juta nasabah.
Adapun jumlah kredit restrukturisasi Covid-19 yang bersifat targeted (segmen, sektor, industri dan daerah tertentu yang memerlukan periode restrukturisasi kredit/pembiayaan tambahan selama 1 tahun sampai 31 Maret 2024) adalah 45,2 persen dari total porsi kredit restrukturisasi Covid-19 atau sebesar Rp163,3 triliun.
Selanjutnya, risiko pasar juga relatif rendah ditinjau dari Posisi Devisa Neto (PDN) tercatat stabil rendah sebesar 1,50 persen pada Juli 2023, masih jauh di bawah threshold 20 persen.
Kemudian, risiko yang terkait dengan suku bunga juga melandai seiring dengan mulai melandainya yield SBN, karena semakin terbatasnya ruang kenaikan Fed Fund Rate (FFR) di AS.
"Untuk mengantisipasi potensi risiko yang mungkin timbul ke depan, kondisi industri perbankan tercatat cukup resilien dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) industri Perbankan sebesar 25,41 persen," pungkasnya.