Liputan6.com, Jakarta Bursa Efek Indonesia (BEI) mendukung perusahan dari berbagai skala dan sektor untuk turut menghimpun pendanaan di pasar modal melalui penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO). Sayangnya, langkah tersebut rupanya juga meloloskan perusahaan yang memiliki kinerja kurang baik. Seperti masih mencatatkan rugi atau untuk pelunasan utang.
Atas kondisi tersebut, pelaku pasar sempat mendesak Bursa untuk hanya mengakomodir pencatatan saham perusahaan yang membukukan laba. Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna menjelaskan langkah itu sempat ditempuh. NAmun seiring berjalannya waktu, prospek perusahaan ke depan juga menjadi pertimbangan pencatatans saham perusahaan.
Baca Juga
"Beberapa tahun yang lalu kita pernah membuat ketentuan wajib laba. Dengan berkembangnya waktu, selain historical, juga bagaimana melihat feature performance," kata Nyoman kepada wartawan di Gedung Bursa, Selasa (13/2/2024).
Untuk saat ini, Nyoman mengatakan Bursa telah melakukan pengelompokan perusahaan berdasarkan papan. Seperti papan utama, papan new economy, papan pengembangan, dan papan akselerasi. Pengelompokkan itu diharapkan memudahkan investor untuk menelaah kondisi fundamental perusahaan tercatat.
Advertisement
Belum Catat Keuntungan
Di sisi lain, hal itu juga sebagai upaya untuk memberikan kesempatan bukan hanya perusahaan yang sudah memperoleh laba. Sebab, menurut Nyoman, ada kondisi-kondisi tertentu yang mengakibatkan perusahaan itu bisa jadi belum membukukan keuntungan.
"Jadi itu makanya kita bagi papannya. Ada utama, new economy, papan pengembangan, dan akselerasi. Kalau umumnya papan akselerasi itu memang kondisinya masih belum membukukan keuntungan," jelas Nyoman.
Nyoman kembali menegaskan, selain faktor historis, Bursa juga mempertimbangkan prospek perusahaan ke depan. Terutama rencana penggunaan dana IPO yang digunakan untuk berbagai keperluan dalam rangka pengembangan perusahaan id masa mendatang.
"Usul (pertimbangkan perusahaan laba untuk IPO) bukan ditolak, kita perhatikan. Tapi kembali lagi kita lihat bahwa yang kita analisis evaluasi itu adalah future prospect. Kita jadikan diperhatikan bagaimana rencana perseroan ke depan, apa tindakan korporasi yang dilakukan untuk boosting nanti prospeknya ke depan," tutup Nyoman.
Belum Waktunya, Penerapan 4 Hari Kerja Sepekan Bikin Kacau Bursa
Baru-baru ini, Jerman tengah melakukan uji coba penerapan empat hari kerja dalam sepekan. Jerman telah memulai masa uji coba masa 4 hari kerja dalam 7 hari untuk 45 perusahaan. Meskipun hari kerjanya berkurang, upah bagi para pekerja di Negeri Panzer tidak mengalami perubahan.
Menyambung itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengusulkan agar pemerintah turut mengadopsi sistem serupa di Indonesia. Alih-alih mendongkrak produktivitas, pemangkasan hari kerja berdampak pada mekanisme perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Komite Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) John C.P. Tambunan menilai penerapan empat hari kerja dalam sepekan belum waktunya diterapkan di Indonesia. Hal itu mengingat Indonesia masih tergolong negara upper middle income country berdasarkan data Bank Dunia. Di mana jumlah pekerja formal sekitar 55,2 juta, lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah pekerja informal sekitar 83,3jt,
"Jadi penerapan 4 hari kerja tidak akan effective diterapkan di Indonesia," kata John kepada Liputan6.com, Selasa (13/2/2024).Lebih spesifik, penerapan empat hari Bursa dalam sepekan berdampak kurang baik untuk Bursa. MEnurutnya, lima hari kerja yang berlaku saat ini dinilai masih kurang dan perlu ada penambahan. Penambahan dimaksudkan untuk menyesuaikan waktu perdagangan bursa luar negeri.
"Karena saat kita libur di hari Sabtu, pasar Amerika masih jalan. Begitu juga kenapa rencananya Bursa mau tambah jam perdagangan, ditambahkan 1 jam di awal agar sama dengan market Singapore dan ditambahkan 1 jam di penutupan untuk rekonsiliasi setelah market Singapore tutup," jelas John.
Â
Advertisement
Dampak 4 Hari Kerja
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Irvan Susandy mengatakan dampak penerapan empat hari kerja dalam sepekan masih perlu dikaji lebih jauh.
Namun secara umum, Irvan menjelaskan jika negara lain punya lima hari kerja atau hari trading, sementara Indonesia hanya punya 4 hari, maka akan ada waktu penyesuaian perkembangan informasi dan trading di negara-negara besar terhadap Indonesia.
"Contoh sederhananya kalau kita libur, sementara bursa lain buka. Kalau global turun saat kita libur, misalnya, maka saat buka kemungkinan turunnya langsung dalam. Tapi untuk dampak keseluruhannya harus dilakukan pengkajian lebih dahulu," kata Irvan.