Liputan6.com, Jakarta - Gelaran pesta demokrasi akbar berupa pemilihan umum (pemilu) 2024 menjadi perhatian pelaku ekonomi dan pasar dalam negeri.
Untuk pemilihan presiden kali ini, diperkirakan berlangsung dua putaran karena diikuti oleh tiga pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres).
Baca Juga
Meski begitu, tidak menutup kemungkinan pemilu selesai dalam satu putaran dengan syarat dan ketentuan berlaku. Gelaran pemilu secara umum memantik kekhawatiran atas ketidakpastian di kalangan pelaku pasar. Sebab, akan terjadi transisi kepemimpinan. Biasanya, hal itu akan diikuti kebijakan makro lainnya sehingga banyak yang memilih untuk wait and see.
Advertisement
"Yang berdampak itu biasanya dalam kasus perubahan pemerintahan itu adalah investasi besar (yang wait and see). Wajar mereka ingin tahu siapa yang akan mengelola negara ini 5-10 tahun ke depan. Jadi pasti akan terjadi penundaan investasi," ujar Direktur Utama Adira Finance, I Dewa Made Susila kepada wartawan di Jakarta, Selasa (13/2/2024).
Ia menilai, penundaan investasi lebih lanjut akan berpengaruh ke ekonomi. Secara spesifik untuk sektor pembiayaan atau multifinance, Made mengatakan, imbas lain dari pemilu dua putaran adalah turunnya daya beli atau konsumsi.
Sebagai gambaran, Made menuturkan, jika orang yang sudah memiliki aset seperti kendaraan baik roda dua maupun roda empat, kemungkinan akan menunda konsumsi atau pembelian barang yang sama atau dalam nilai yang besar.
Sementara untuk masyarakat menengah ke bawah atau yang belum memiliki aset bernilai, konsumsi masih cenderung terjaga ketika daya beli itu ada.
Â
Â
Dampak Ketidakpastian
"Konsumen menengah atas sudah punya mobil (atau semacamnya), biasanya dari kondisi ketidakpastian mereka akan menunda (untuk barang serupa). Kalau konsumen yang belum punya, tidak peduli. Dia pasti beli karena memang nggak punya. Jadi begitu punya daya beli, punya duit, beli," kata Made.
Dengan pemilu berjalan dua putaran, Made menilai dampak ketidakpastian makin besar karena berlangsung lebih lama. Namun, di sisi lain, patut diapresiasi pasar Indonesia tidak volatil negara tetangga seperti Singapura yang mengandalkan pendapatan ai ekspor. Menurut Made, sekitar 55 persen pendapatan RI disumbang dari aktivitas konsumsi.
"Jadi Indonesia itu seperti Amerika. Di mana karena penduduknya banyak, sekitar tiga ratusan, konsumsi dalam negerinya kuat. Jadi menurut saya, kalau (periode kekhawatiran) pendek, walaupun lemah di kuartal I, kita ada 9 bulan untuk ngejar. Nah kalau (pemilu berlangsung) enam bulan, apakah mampu mengejar," imbuh Nyoman.
Advertisement
Pemilu 2024 Jadi Senjata Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Sebelumnya diberitakan, Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia tahun 2023 bisa mencapai 4,5-5,3 persen pada 2023 dan meningkat pada 2024. Prediksi peningkatan pertumbuhan ekonomi di tahun depan didorong oleh 3 faktor.
"Berlanjutnya perbaikan ekonomi pada 2024 terutama didorong oleh permintaan domestik sejalan dengan kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), penyelenggaraan pemilu 2024, dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN)," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers, Kamis (19/10/2023).
Perry mengatakan, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sisi permintaan, Bank Indonesia terus meningkatkan stimulus kebijakan makroprudensial dan akselerasi digitalisasi sistem pembayaran, dengan sinergitas kebijakan fiskal Pemerintah yang semakin erat.
Pada triwulan III 2023, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi swasta, termasuk konsumsi generasi muda, yang meningkat sejalan peningkatan konsumsi di sektor jasa dan keyakinan konsumen yang masih tinggi.
Â
Â
Pertumbuhan Investasi
Disamping itu, pertumbuhan investasi tetap baik didorong berlanjutnya penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN). Sementara, pertumbuhan riil ekspor barang menurun seiring pelemahan permintaan dari negara mitra dagang utama, terutama Tiongkok, dan penurunan harga komoditas, sedangkan ekspor jasa tetap tumbuh tinggi sejalan dengan kenaikan jumlah wisatawan mancanegara.
Koordinasi Kebijakan
Gubernur Bank Indonesia menyampaikan, untuk menjaga stabilitas makrekonomi dan pertumbuhan ekonomi dari dampak rambatan tingginya ketidakpastian global, koordinasi kebijakan Bank Indonesia dan kebijakan fiskal Pemerintah terus ditingkatkan.
Koordinasi pengendalian inflasi dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) juga diperkuat melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah, demikian pula koordinasi dalam akselerasi digitalisasi sistem pembayaran melalui Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Transaksi Pemerintah Pusat dan Daerah (P2DD).
Advertisement